Rabu, 03 Desember 2014

ANALISIS HADIS TENTANG PENTINGNYA PENDIDIKAN AGAMA (Kajian Atas Hadis Riwayat Sunan Ibn Majah)



ANALISIS HADIS TENTANG PENTINGNYA PENDIDIKAN AGAMA
(Kajian Atas Hadis Riwayat Sunan Ibn Majah)

A.    Pendahuluan
Allah sebagai sebaik-baik pencipta mempunyai kehendak penuh atas apa yang dicipta-Nya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketetapan-Nya, termasuk dalam hal  kelemahan dan kecerdasan. Ketika Allah berkehendak untuk menjadikan umat-Nya sebagai hamba yang baik, maka jadilah  ia seorang hamba yang baik, dan begitu  pula sebaliknya. Namun kita harus menyadari bahwa setiap apa yang baik adalah berasal dari Allah dan apa yang buruk adalah berasal dari masing-masing pribadi.
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, ialah makhluk yang bertugas dan bertanggung jawab diatas bumi ini, dalam rangka melaksanakan dua  tugas utama khalīfatullāh, yakni ‘Ibādatullāh (beribadah kepada Allah) dan ‘Imārotul ardli (membangun diatas bumi). Kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut secara maksimal, sholih dan akrom dalam arti luas, maka manusia membutuhkan alat atau media demi tercapainya sebuah tujuan. Dalam hal ini maka hanya dengan ilmu manusia dapat mencapainya. Terlebih ilmu agama yang menjembatani antara kehidupan di dunia dan di akhirat sehingga mendapat kebahagiaan diantara keduanya, sebagaimana sabda Rosululloh SAW  yang diriwayatkan oleh Sunan Ibnu Majah:     مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ. “ Apabila Allah menghendaki kebaikan terhadap seseorang  maka Allah akan memahamkannya tentang agama”.
Hadits tersebut merupakan satu dalil dari beberapa dalil tentang keutamaan ilmu, begitu pula manusia yang berilmu khususnya ilmu agama. Selanjutnya dalam paper ini penulis akan mencoba mengupas hadits tersebut dengan menjelaskan, menguraikan, dan menganalisa matan hadis, mengkaji tematis komprehensif serta kajian secara konfirmatif dengan petunjuk al-Qur’an. Disamping itu juga penulis ingin menggali makna universal yang terkandung di dalamnya dan mencoba mengaitkan dengan realitas kehidupan sekarang ini Sehingga dengan demikian diharapkan kupasan tersebut nantinya dapat menjadi sebuah refleksi bagi para petualang ilmu.
B.     Hadist Tentang Pentingnya Pendidikan Agama
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُوْ بِشْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيْدِبْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
Telah menceritakan kepada kami Bakr bin Khalaf Abu Bisyr berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Ma'mar dari Zuhri dari Sa'id Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa dikehendaki Allah untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan memberikan pemahaman kepadanya tentang agama."
C.    Kajian Linguistik
1.      Kata خَيْراً merupakan isim dzat yang menjadi bagian dari isim jamid. Kata الخَيْر  berarti kebaikan[1]. Penggunaan kata الخَيْر menggunakan bentuk nakiroh yang menunjukkan arti umum yaitu mencakup kebaikan yang sedikit maupun yang banyak, mengandung arti segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan membawa manfaat bagi manusia, baik dalam masalah agama maupun urusan duniawi.[2] Sinonim dari kata الخَيْر di antaranya adalah:
·         Al-hasan/iḥsān: kebaikan yang diberikan melebihi kewajiban, menurut al-Rāghib bermakna dasar segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi, secara bahasa pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, kedua perbuatan baik. Memberi lebih banyak dari pada yang harus kita beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya kita ambil. Terhadap seorang hambatercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain, ia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya.
·         Al-marūf: kebaikan yang sudah mentradisi di masyarakat, apa yang dianggap baik oleh syariat dan akal.
·         Thayyib: segala sesuatu yang dirasakan enak oleh panca indra maupun jiwa material maupun immaterial.  Bebasnya sesuatu dari segala yang mengeruhkannya.
·         Birr: keluasan dalam kebajikan.
·         Al-shāliḥ: kebaikan yang bersifat membangun (reformatif), aktifitas yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada; atau akan diperoleh manfaat dan kesesuaian.[3]
2.      يُفَقِّهْهُ  berasal dari kata فَقِهَ-فِقْهًا yang berarti mengerti memahami atau mengerti[4], dengan disukun huruf Ha’  karena menjadi jawabnya syarat. menganugerahkan kecerdasan, pengetahuan, dan kefahaman terhadap urusan Islam (hukum-hukum syari). Faham di sini adalah faham yang membuahkan amal shalih agar kefahaman dan ilmunya tersebut tidak menjadi bumerang bagi dirinya. Karena siapa yang tidak mengamalkan ilmu yang telah dipahaminya, ia termasuk orang yang mendapat murka, sebagaimana yang tersebut dalam hadits shahih, "Al-Qur'an itu menjadi pembelamu atau yang memberatkanmu."
3.      Kata الدِّيْن dalam Al Qur’an hanya disebutkan dalam bentuk isim mufrod saja, tidak ada mustanna maupun jamak. kata الدِّيْن disini dipahami sebagai agama Islam. Seperti dalam firman Allah Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam(Qs. Ali ‘Imran 19 ).
Menurut Lane, kata ad-dīn secara khusus bermakna agama Islam. Kata-kata sinonim untuk kata ad-dīn adalah asy-syari’ah (hukum), tauhid (keesaan Allah) dan wara’’ (kehati-hatian). Kata ad-dīn juga berasal dari kata dāna, yang berarti “dia berhutang”. Ini penting menurut Al-Attas, sebab manusia berhutang kepada Allah bagi eksistensi dan penopang kehidupannya. Seorang mukmin akan menyadari bahwa ruhnya telah mengakui (rububiyah) Allah sebelum kehadirannya di bumi.[5]
Tafaqquh fi ad-dīn dalam arti luas bukan berarti menitikberatkan ‘ulūm ad-dīn dan mengesampingkan ‘ulūm ad-dunyā, seperti yang terjadi di Indonesia paska penjajahan kolonial Belanda yang menyudutkan kaum Muslimin ke satu sudut pandang yang hanya menitikberatkan pada kehidupan ukhrowi. Sehingga mulai muncul dikotomi antara ‘ulūm ad-dīn dan ‘ulūm ad-dunyā.[6]
Tafaqquh fi ad-dīn dipahami secara sempit dan terbatas pada apa yang dimaksud dengan ‘ulūm ad-dīn. Pemahaman ini secara ekslusif tidak pernah dikorelasikan dengan pemahaman ad-dīn itu sendiri secara utuh, meskipun secara terpisah ad-dīn telah dipahami sebagai wadl’un Ilāhiyun sa’iqun li dzawu ‘uquli as-salimah illā mā liuwa khoirun lahum fi dunyāhum wa akhirotihim (ketentuan Ilahi yang mendorong siapapun yang berakal sehat, untuk berbuat sesuatu yang baik bagi mereka di dunia dan akhirat).[7]
Bila ad-dīn dipahami seperti itu, maka berarti ‘ulūm ad-dīn secara luas adalah ilmu- ilmu yang mempunyai kaitan langsung atau tidak langsung dengan ketentuan Ilahi, menyangkut urusan duniawi maupun ukhrowi. Kemudian bila ketentuan Ilahi tersebut mendorong bagi para pemikir kearah pencapaian sesuatu yang baik di dunia dan di akhirat mereka, maka mengapa dalam konteks ilmu-ilmu duniawi lalu diisolasikan dari klasifikasi ‘ulūm ad-dīn?  Persepsi dikotomis seperti itu mengakibatkan dinamika ilmiyah dalam Islam cenderung lemah atau stagnan.[8]
D.    Kajian Tematis Komprehensif
Kajian tematis komprehensif yaitu kajian hadis dengan mempertimbangkan teks-teks hadis lain yang memiliki tema yang relevan dengan tema hadis yang bersangkutan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Ada beberapa hadis yang relevan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah. Diantaranya adalah,
a)      Hadis al Tirmidzi Tentang Motivasi Belajar
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ أبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ [9]
Artinya: Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Abu Usamah menceritakan kepada kami dari Al-A’masi dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah berkata : Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. (HR. AL- Tirmidzi)[10]
Hadis di atas memberikan motivasi orang yang berupaya menuntut ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum dimudahkan jalannya masuk surga yakni diberikan pertolongan jalan masuk surga, dengan cara mengamalkan ilmunya itu dalam bentuk amal saleh. Kedua ilmu agama dan umum bisa dijadikan jalan masuk surga. Ilmu umum seperti biologi, ilmu alam, astronomi, geologi, kimia dan vulkanologi misalnya dapat mengenal kekuasaan Allah dan mempertebal tauhid serta keimanan kepada Sang Pencipta. Demikian juga ilmu agama yang diamalkan mempunyai makna yang sangat tinggi untuk mendekatkan diri kepada Allah.[11]
b)      Hadis al Tirmidzi Tentang Kesuksesan Ilmu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَـا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَـافِيْـهَـا إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَـلِّـمٌ .(رواه الترمدي وقال: حديث حسن)
Artinya: dari Abu Hurairah r.a. berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ ingatlah, bahwa dunia ini terkutuk, dan semua yang ada di dalamnya terkutuk, kecuali dzikrullah dan sesuatu yang dicintaiNya, orang alim (orang yang berilmu) dan orang yang belajar ilmu”. (HR. Al- Turmudzi dan dia berkata hadis ini hasan).[12]
Hadis ini sama sekali tidak mencela dunia dan tidak melarang manusia mencari dunia, tidak melarang pencari ilmu atau pengajarnya mencari dunia, akan tetapi justru membimbing manusia mencari dunia dengan cara yang baik dan membelanjakannya ke  jalan yang baik pula. Cara yang baik dan jalan yang baik yakni jalan yang diridlai Allah atau yang diperbolehkan dalam hukum syara’. Dalam bahasa hadis harta dunia yang disertai ingat kepada Allah dan yang mendekatinya. Hadis diatas juga membimbing manusia mencari harta dunia dengan cara mempelajari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya.[13]
Boleh saja seorang pelajar ilmu atau pengajarnya  dengan tujuan untuk mendepatkan pekerjaan dunia atau mencari rezeki yang halal yang diriddlai Allah. Harta yang halal itu digunakan untuk mencukupi kehidupannya, sehingga bisa melaksanakan perintah Allah  dengan baik. Inilah yang disebut sebagai seorang yang sukses dunia akhirat.[14]
c)     Hadis Riwayat Muslim Tentang Ilmu bermanfaat
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَن رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَـانُ انْـقَـطَـعَ عَـمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْـتُفَـعُ بِهِ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُولَهُ .
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kepadanya”. (HR. Muslim)[15]
d)     Hadis  Riwayat al-Bukhari Tentang Mempelajari Al-Qur’an
عَنْ عُثْمَانَ – رضى الله عنه- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ» رواه البخاري
Artinya: “Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5028)
Materi pembelajaran Al-Qur’an adalah materi yang paling agung di antara sekian materi pembelajaran, karena seluruh mata pelajaran menginduk dan merajuk pada Al-Qur’an. Semua materi pelajaran baik agama maupun umum sains dan teknologi bersumberkan dari Al-Qur’an. [16]
e)      Hadis Sunan Abi Dawud Tentang Ulama Pewaris Nabi
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya ulama itu pewaris nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Para nabi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil (mendapatkan) keberuntungan yang banyak.”Sunan Abi Dawud, no. 3641, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya.
E.     Kajian Konfirmatif
Kajian konfirmatif ini menegaskan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran. Sebagaimana sering disebutkan bahwa hadis itu merupakan catatan tentang kehidupan Rasulullah SAW, maka salah satu fungsinya ia menjelaskan atau menjadi contoh bagaimana melaksanakan ajaran al-Qur’an. Kalau al-Qur’an itu lebih bersifat konsep, maka hadis lebih bersifat operasional dan praktis.[17] Jadi dalam kaitannya al-Qur’an, hadis merupakan penjelasan praktis terhadap beberapa ayat al-Qur’an yang masih umum dan teoritis.
Ayat-ayat al-Qur’an yang mengkonfirmasikan tentang pentingnya ilmu agama adalah sebagai berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Qs. Al Mujaadalah 11 )
ÎA÷sムspyJò6Åsø9$# `tB âä!$t±o 4 `tBur |N÷sムspyJò6Åsø9$# ôs)sù uÎAré& #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 3 $tBur ㍞2¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÏÒÈ  
269. Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Qs. Al Baqarah 269 )
$tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ  
122. Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. ( Qs. At- Taubah 122 )
Pada ayat di atas Allah SWT memberikan penjelasan secara eksplisit tentang tujuan pendidikan Islam yakni agar dapat mengajarkan kepada kelompok masyarakat tempat mereka hidup dan bersosialisasi, nilai tujuan tersebut agar masyarakat dapat menjaga diri mereka baik secara individual maupun kelompok.
F.     Analisis Realitas Historis
Dilihat dari macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya hadis tentang pentingnya pendidikan agama ini adalah shohīh lidzātihi (shohih dengan sendirinya). Shohīh lidzātihi adalah hadits yang rowinya: Adil, hafalannya kuat, sanadnya bersambung, terbebas dari kejanggalan & kecacatan. Hadis ini dilatarbelakangi oleh ayat-ayat yang berkenaan dengan anjuran untuk memperdalam ilmu agama. Karena secara jelas penulis belum menemukan asbāb al-wurūd dari hadis ini. Jadi penulis mengaitkan asbāb al-wurūd dengan asbabun nuzul yang sama persis kaitannya secara tekstual maupun kontekstual.
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ikrimah yang menceritakan, bahwa ketika diturunkan firman-Nya berikut ini, yaitu, "Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih." (Q.S. At-Taubah 39). Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka berada di daerah badui (pedalaman) karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya, "Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu." Kemudian turunlah firman-Nya yang menyatakan, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)." (Q.S. At-Taubah 122). Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lainnya melalui Abdullah bin Ubaid bin Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila Rasulullah SAW mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabi SAW di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka turunlah firman Allah SWT yang paling atas tadi. (yaitu surah At-Taubah ayat 122).
G.    Analisis Generalisasi
Tujuan pendidikan secara filosofis berdasarkan pemahaman dari ayat di atas maupun hadis Rasulullah SAW yang sedang dikaji memberikan penjelaskan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang disempurnakan dengan akal oleh Allah SWT yang merupakan potensi dasar manusia, dengan potensi dasar tersebut manusia diharuskkan untuk menuntut ilmu melalui proses pendidikan. Oleh karena itu tujuan meninti jalan ilmu pada hakikatnya adalah agar manusia dapat lebih mengenal dirinya dalam artian memanusiakan manusia, agar ia benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi.[18]
Nilai penting lainnya dari memahami hadis di atas adalah bahwa dalam meniti jalan menuntut ilmu terdapat proses pendewasaan jasmani dan rohani.[19] Yakni bahwa selain tujuan filosofis terdapat pula tujuan insidental yaitu meningkatkan kecerdasan motorik, emosional, intelektual dan spiritual,[20] sebab dalam meniti jalan menuntut ilmu dibutuhkan ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan dalam belajar. Sebab kesuksesan seorang penuntut ilmu terletak dalam kesabarannya menghadapi berbagai bentuk kesulitan, kesusahan, dan keletihan dalam mengarungi proses pendidikan.
Ada tiga hal penting yang disebutkan dalam hadis di atas, yaitu keutamaan ilmu agama, hakikat pemberi adalah Allah dan sebagian umat teguh pendirian dalam kebenaran. Hadis di atas menggambarkan betapa pentingnya materi keagamaan yang harus dipelajari dan dipahami oleh setiap muslim. Setiap anak didik beragama  dan orang beragama harus paham ajaran agamanya. Tidak boleh seorang mengaku beragama, tetapi tidak paham atas ajaran agamanya. Dalam hadis di atas memotivasi agar orang islam memahami ajaran agamanya. Orang yang baik adalah orang yang paham agamanya. Orang yang tidak paham ajaran agamanya berarti terhalang kebaikan. Tujuan orang beragama adalah ingin mencapai kebaikan atau kebahagiaan dunia dan akhirat.[21]
Orang-orang yang diberikan kebaikan oleh Allah diantaranya:[22]
a)      Dibukanya pintu amal sebelum kematian menjelang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan jadikan ia beramal.” Dikatakan, “Apakah dijadikan beramal itu?” Beliau bersabda, “Allah bukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridla kepadanya.” (HR Ahmad dan Al Hakim dari Amru bin Al Hamq).
b)      Dipercepat sanksinya di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hambaNya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hambaNya, Allah akan membiarkan dosanya (di dunia) sampai Allah membalasnya pada hari kiamat.” (HR At Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik).
Namun kita tidak diperkenankan untuk meminta kepada Allah agar dipercepat sanksi kita di dunia, karena kita belum tentu mampu menghadapinya. “Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjenguk seseorang dari kaum muslimin yang telah kurus bagaikan anak burung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu berdo’a dengan sesuatu atau kamu memintanya?” Ia berkata, “Ya, aku berdo’a, “Ya Allah siksa yang kelak Engkau berikan kepadaku di akhirat segerakanlah untukku di dunia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Subhanallah, kamu tidak akan mampu itu. Mengapa kamu tidak berkata, “Ya Allah berikan kepada kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan dan peliharalah kami dari adzab Neraka.” Maka orang itupun berdo’a dengannya. Allah pun menyembuhkannya.” (HR Muslim). 
c)      Diberikan cobaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR Ahmad dan Al Bukhari dari Abu Hurairah). Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu janji Allah: “Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (QS Al Baqarah: 155). Cobaan itu untuk menggugurkan dosa dan mengangkat derajat. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR Ahmad dengan sanad yang hasan).
d)      Difaqihkan dalam agama
e)      Diberikan kesabaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang diberikan dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al Bukhari dan Muslim). Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala, demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya amat membutuhkan kesabaran. Karena Iblis dan balatentaranya tak pernah diam untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. “Tidak ada yang diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidak ada yang diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushilat: 35).
Ilmu agama dan kebaikan keduanya harus diusahakan melalui proses pembelajaran di samping pemberian Allah SWT. Dengan demikian, setiap anak didik harus selalu berusaha memahami ajaran agama itu. Memahami ilmu agama dalam bahasa hadis tersebut menggunakan kata yufaqqihu fi al-dīn, dari kata ini muncul pemahaman tentang keutamaan mempelajari ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Yang menjadi permasalahan disini, apakah dengan mempelajari ilmu agama saja (akhirat) setiap muslim akan diberikan kebaikan oleh Allah? Pendapat ini memisahkan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Padahal ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim adalah ilmu yang diperlukan dan dituntut oleh agama dan dunianya. Dengan kata lain yang telah di singgung di atas bahwa ulūm ad-dīn secara luas adalah ilmu- ilmu yang mempunyai kaitan langsung atau tidak langsung dengan ketentuan Ilahi, menyangkut urusan duniawi maupun ukhrowi. Karena dengan mempelajari ilmu agama saja dalam artian ilmu akhirat setiap muslim tidak akan berkembang dan semakin ketinggalan.
Sungguh beruntung sekali seseorang yang bisa mendapat hal tersebut. Dirinya bisa mempelajari, memahami dan mengamalkan ilmunya. Sungguh, ilmu syar’i inilah yang menjadi warisan dari para nabi Allah. Jika seseorang mampu meraupnya, sungguh dia telah mendapat keberuntungan yang melimpah ruah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam kitab Majmu’ fatawa: “Setiap amalan yang dilakukan seorang hamba yang tidak berbentuk ketaatan, ibadah dan amalan saleh maka amalan tersebut merupakan amalan yang batil, sebab dunia ini terlaknat dan terlaknat segala isinya kecuali sesuatu yang dilakukan karena Allah, meskipun amalan batil itu menyebabkan seorang meraih kepemimpinan dan harta, maka seorang pemimpin bisa menjadi Firaun, dan seorang yang gila harta bisa menjadi Qarun.”.[23]
Maka dengan menuntut ilmu, memahami dan mengamalkannya akan menjadikan seorang hamba yang masuk kedalam kelompok yang akan meraih ridha-Nya, dan selamat dari kemurkaan dan siksa-Nya. Sebab orang yang tidak memahami perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang faqih dan bukan pula seorang yang menuntut ilmu, sehingga tepat jika ia disifati sebagai orang yang tidak dikehendaki kebaikan untuknya. Ini merupakan penjelasan yang terang yang menunjukkan keutamaan para ulama dibanding seluruh manusia.
H.    Kritik Praksis
Realitas sekarang ini menunjukkan masih banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam hal memahami hadis di atas. Pandangan orang islam yang mensakralkan ilmu agama tanpa peduli dengan adanya ilmu dunia. Orang islam sibuk menghabiskan waktu dengan beribadah dan urusan keduniawian dinomor duakan, bahkan mereka percaya bahwa dengan membekali dirinya dengan ilmu agama sudah cukup untuk membekali hidup di dunia dan akhirat nantinya. Padahal tanpa disadari kebanyakan orang muslim masih menempatkan diri dalam ketertinggalannya.
Kelemahan umat Islam terdapat pada banyak sisi kehidupan, baik pribadi atau masyarakat. Boleh dikatakan di semua sisi kehidupan. Di antaranya yang bisa disebutkan di sini adalah:
Lemah Aqidah: Aqidah adalah pegangan hidup yang utama dan menjadi fondasi untuk lahirnya  imānul ‘amīq (keimanan yang mendalam). Aqidah yang kuat hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya penolong dari kesulitan hidup dan permasalahnnya. Tidak takut mati, apalagi takut miskin. Sebab seorang yang mengimani Allah Ta’ala sebagai pengatur hidup akan merasa aman dan tentram hatinya ketika menyandarkan dirinya kepada pemilik kehidupan itu sendiri. Berbeda dengan orang yang aqidahnya lemah, dia lebih takut dengan ancaman makhluk dibanding azab Allah Ta’ala. Seperti yang terjadi saat ini, umat Islam (khususnya para pemimpinnya) lebih takut dengan ‘azab’ yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya dibanding azab dari Rabb mereka. Begitu juga ketika sepasang manusia berzina, mereka lebih takut hamil dibanding takut kepada Allah Ta’ala.
Berbeda dengan Sumayyah, seorang wanita yang mati syahid dan menjadi syahid pertama dalam Islam. Dia tetap memegang teguh agama tauhid walau mengalami penyiksaan yang membuatnya dibunuh secara keji. Berbeda dengan Bilal bin Rabbah, seorang sahabat nabi yang disiksa dengan ditindih batu besar pada siang yang amat panas, agar ia mau keluar dari agama Islam dan kembali mengakui ketuhanan kolektif Arab jahiliyah. Tetapi dia tetap dalam keimanannya, dan mengatakan; “ahad .. ahad .. ahad … . Berbeda dengan Masyithah, seorang wanita pelayan di istana Fir’aun yang tetap teguh menyembah Allah Ta’ala dan menolak pengakuan ketuhanan Fir’aun. Dia bersama keluarganya direbus hidup-hidup untuk mempertahankan aqidahnya.
Lemah Ekonomi: Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kaum Muslimin benar-benar merasakan baldatun thayyibatun (negeri yang  makmur). Sampai-sampai Srigala menyusu kepada Domba, padahal domba adalah mangsa Srigala. Saat itu, pemerintah kesulitan mencari faqir miskin untuk menerima zakat, akhirnya harta zakat disalurkan ke negeri-negeri non muslim. Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, dia pernah keluar dari istana sambil menatap langit yang sedang mendung: “Ya Allah, turunkanlah hujan di mana Engkau mau. Jika Kau turunkan di Barat maka itu adalah negeri kami, jika Kau turunkan di Timur itu juga negeri kami”. Apa yang dikatakannya melambangkan kemakmuran negeri Islam yang merata dan begitu luas. Sehingga dua khalifah ini termasuk deretan para khalifah yang paling sering disebut namanya setelah empat khulafā’ur rasyidīn.
Kemandirian ekonomi adalah salah satu penopang kekuatan, dan Islam sangat menekankan hal itu. Seorang yang berhutang biasanya akan mengalami penurunan kekuatan. Daya kritis, kemandirian, dan sebagainya akan mudah didikte oleh orang yang memberinya hutang. Begitu pula dalam tingkat negara. Negara-negara miskin kebanyakan negara muslim mudah sekali dikendalikan oleh kekuatan asing yang menjadi donor bagi dana pembangunan negerinya.
Lemah Propaganda: Dunia propaganda, melalui media elektronik seperti TV, Radio, dan internet, atau media cetak seperti majalah dan buku, ternyata telah melampaui batas fungsinya sebagai jendela informasi bagi manusia. Saat ini sarana ini telah dijadikan alat untuk memojokkan Islam dan kaum Muslimin.  Media Barat telah menggiring opini dunia  untuk menyebutnya sebagai teroris, agama pedang, penindas kaum wanita, dan sebagainya. Begitu kuat jaringan mereka, satu sama lain saling membantu.
Orang shalih bisa jadi buruk lantaran diberitakan buruk, dan orang jahat bisa menjadi pahlawan karena diberitakan sebagai pahlawan. Inilah keajaiban propaganda. Dan, sayangnya tidak sedikit umat Islam yang terpukau oleh media mereka dan termakan oleh isu dan hasutan yang mereka buat. Kita selalu meng-iya-kan kata mereka. Persis yang Al Quran katakan:
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. (QS. Al Munafiqun 63)
Sementara, di sisi umat Islam sendiri mereka lemah. Belum ada kantor berita umat Islam yang menjadi media rujukan utama sebagai penyeimbang, jangankan secara internasional, secara nasional pun belum ada, sekali pun ada hanya menjangkau lapisan yang sangat ekslusif dan terbatas. Akhirnya  tidak ada pilihan lain akhirnya mereka menjadikan media barat sebagai rujukan, walau mereka telah tahu bahwa media tersebut tidak akan pernah objektif dan adil ketika berhadapan dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Direndahkan: Direndahkan Ini merupakan efek domino yang otomatis dari kebodohan dan kelemahan, sebab tidak ada orang bodoh dan lemah yang memiliki wibawa dan kehormatan. Dunia berbicara, mereka ramai menyalahkan pemerintah Indonesia ketika kasus di Timor Timur (sekarang Timor Leste), bahkan mereka mengintervensi sehingga provinsi ini lepas dari Indonesia. Ada pun Papua pun sedang mengalami hal yang sama. Begitu mudahnya negeri muslim diobok-obok oleh kekuatan asing.
Ketika kedung kembar WTC (World Trade Center) ditabrak oleh dua pesawat yang tidak jelas siapa pelakunya. Bahkan, CIA tidak berani memastikan. Namun, Amerika Serikat dengan kesombongannya langsung menyalahkan pemerintah Taliban di Afghanistan, sebuah negeri miskin dan terbelakang. Afghanistan diserang oleh tentara Amerika Serikat tanpa peduli protes dunia muslim dan yang masih punya nurani kemanusiaan. Begitu pula yang terjadi Iraq,  Presidennya dijatuhkan oleh kekuatan negara lain, bukan kekuatan yang berasal dari rakyatnya sendiri. Umat Islam dunia juga tidak berkutik.
Jalur Gaza akhir 2008 dan awal 2009. Negara Zionis Israel menyerang Gaza sebuah kota kecil yang hanya dijaga oleh milisi mujahidin HAMAS yang tidak seberapa banyak. Umat Islam yang setengah miliar di Timur Tengah, diacak-acak oleh kebiadaban tentara Zionis Israel di sana. Mereka hanya menonton dan menangis, paling jauh demonstrasi. Bahkan mayoritas umat ini tidak peduli karena sibuk dengan dunianya masing-masing. Kemana umat Islam? Kemana pemimpin kaum Muslimin? Kemana Al Mu’tashim abad modern? Kemana satu setengah miliar umat Islam?
Rasulullah SAW bersabda: “Hampir datang masanya bangsa-bangsa mengerumuni kalian sebagaimana mengerumuni makanan di atas meja makan.” Ada yang bertanya: “Apakah saat itu kita sedikit?” Beliau menjawab: “Justru saat itu kalian  banyak, tetapi laksana buih di lautan. Allah telah mencabut rasa takut dalam dada musuh-musuh kalian terhadap kalian, sedangkan Allah telah melemparkan ke dalam hati kalian penyakit Al Wahn,” Ada yang bertanya: “Apakah Al Wahn?” Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati!” (HR. Ibnu Majah)
Perpecahan: Seharusnya perbedaan dapat dijadikan khazanah yang baik. Islam tidak mencela perbedaan tetapi membenci perpecahan. Dan, perbedaan belum tentu berpecah, sedangkan berpecah sudah pasti  berbeda. Namun demikian, walau perbedaan itu pasti ada dan ini sudah diisyaratkan jauh-jauh hari, Islam tetaplah mencela perpecahan dan mengaharamkannya di antara kaum Muslimin.
Inilah penyakit yang mengerikan sebab dia menghancurkan dari dalam seperti kanker yang menggerogoti tubuh manusia. Sesungguhnya umat Islam tidak pernah takut akan ancaman dari luar karena mereka sudah mengantisipasi dengan semangat Jihād fī Sabīlillāh. Tetapi yang justru dikhawatiri adalah hancurnya umat islam dari dalam, yakni ketidakmampuan mereka dalam meredam perselisihan dan mengolah perbedaan. Akhirnya, musuh-musuh Islam bertepuk tangan sementara kita sibuk bercakaran.
Demikianlah penyakit umat islam kontemporer dan kita harus tersadari olehnya. Tentunya harus dicarikan solusi yang jitu dengan tanpa melahirkan penyakit baru. Ringkasnya, sebagaimana kata Imam Malik RA yang pernah mengatakan: “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara pertama kali  ia dijayakan  genarasi awalnya.” Yaitu dengan iman, ilmu, ukhuwah islamiyah yang solid, dan rūhul jihādiah (semangat juang) yang tidak terputus. Sehingga umat Islam menjadi cerdas tidak bodoh, kuat tidak lemah, berwibawa tidak direndahkan, dan solid tidak berpecah.










Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan penjelasan hadis yang diriwayatkan oleh Sunan Ibnu Majah tentang pentingnya pendidikan agama ini dapat disimpulkan bahwa dengan menuntut ilmu agama, memahami dan mengamalkannya akan menjadikan seorang hamba yang masuk kedalam kelompok yang akan meraih ridha Allah, dan selamat dari kemurkaan dan siksa-Nya. Sebab orang yang tidak memahami perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang faqih dan bukan pula seorang yang menuntut ilmu, sehingga tepat jika ia disifati sebagai orang yang tidak dikehendaki kebaikan untuknya. Dengan kata lain orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka akan dipahamkan dalam ilmu agama.
Ilmu agama diartikan sebagai ketentuan Ilahi yang mendorong siapapun yang berakal sehat, untuk berbuat sesuatu yang baik bagi mereka di dunia dan akhirat. Jadi tidak cukup hanya mempelajari ilmu syari’ (akhirat) saja dengan mengesampingkan ilmu dunia. Karena ilmu agama dan ilmu dunia mempunyai keterkaitan untuk menunjang kehidupan manusia untuk mendapatkan kategori kebaikan dari Allah termasuk yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.








Daftar Pustaka

Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1993.

Bisri, Adib dan Munawir A. Fatah, Al- Bisri KamusIndonesia-Arab Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progessif, 1999.


http://HADIS/Keutamaan%20Ilmu%20Dan%20Menuntut%20Ilmu%20Agama%20-%20Ahlussunnah %20Sukabumi.htm

Khamdan, dkk, Studi Hadis Teori dan Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan), Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2012.

Khon, Abdul Majid, Hadis Tarbawi, Jakarta: Kencana, 2012

Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial Yogyakarta : Lkis, 2012

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003

Muhamed, Yasien, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, Jakarta: Penerbit Mizan, 1997.

Nurdin,  Ali, Qur’anic Society; Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, Jakarta: Erlangga, 2006.

Suharsono. Melejitkan IQ, IE & IS, Jakarta: Insani Press, 2001.

Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta : LESFI, 2003




[1]Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Al- Bisri KamusIndonesia-Arab Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progessif, 1999), hlm. 182.
[2] Ali Nurdin, Qur’anic Society; Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 176.
[3] Ibid…, hlm. 165-197.
[4] Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Al- Bisri…, hlm. 574.
[5] Yasien Muhamed, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997), hlm. 23-24.
[6] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta : Lkis, 2012) hlm.  325 – 326.
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.

[10] Khamdan, dkk, Studi Hadis Teori dan Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan), (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2012), hlm. 172-173.
[11] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana, 2012), Hlm. 178-179.
[12] Ibid…, hlm. 171.
[13] Ibid…, hlm. 174.
[14] Ibid…, hlm. 174.
[15] Ibid…, hlm. 126-127.
[16] Ibid…, hlm. 13.
[17] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta : LESFI, 2003), hlm. 65
[18]Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), hlm.136.
[19] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 28.
[20] Suharsono. Melejitkan IQ, IE & IS (Jakarta: Insani Press, 2001), hlm. 108.
[21] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi…, hlm. 22.
[22] http://laillanm.blogspot.com/2013/07/mereka-yang-diinginkan-kebaikan.html
[23]http://HADIS/Keutamaan%20Ilmu%20Dan%20Menuntut%20Ilmu%20 Agama %20- %20Ahlussunnah %20Sukabumi.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar