ANALISIS
HADIS TENTANG PENTINGNYA PENDIDIKAN AGAMA
(Kajian
Atas Hadis Riwayat Sunan Ibn Majah)
A.
Pendahuluan
Allah sebagai sebaik-baik pencipta mempunyai kehendak penuh atas
apa yang dicipta-Nya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketetapan-Nya,
termasuk dalam hal kelemahan dan
kecerdasan. Ketika Allah berkehendak untuk menjadikan umat-Nya sebagai hamba
yang baik, maka jadilah ia seorang hamba
yang baik, dan begitu pula sebaliknya.
Namun kita harus menyadari bahwa setiap apa yang baik adalah berasal dari Allah
dan apa yang buruk adalah berasal dari masing-masing pribadi.
Manusia sebagai
makhluk individu dan sosial, ialah makhluk yang bertugas dan bertanggung jawab
diatas bumi ini, dalam rangka melaksanakan dua
tugas utama khalīfatullāh, yakni ‘Ibādatullāh (beribadah
kepada Allah) dan ‘Imārotul ardli (membangun diatas bumi). Kesemuanya
itu diarahkan untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut secara maksimal, sholih dan
akrom dalam arti luas, maka manusia membutuhkan alat atau media demi
tercapainya sebuah tujuan. Dalam hal ini maka hanya dengan ilmu manusia dapat
mencapainya. Terlebih ilmu agama yang menjembatani antara kehidupan di dunia
dan di akhirat sehingga mendapat kebahagiaan diantara keduanya, sebagaimana
sabda Rosululloh SAW yang diriwayatkan
oleh Sunan Ibnu Majah: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً
يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ. “ Apabila Allah menghendaki kebaikan terhadap
seseorang maka Allah akan memahamkannya
tentang agama”.
Hadits tersebut
merupakan satu dalil dari beberapa dalil tentang keutamaan ilmu, begitu pula
manusia yang berilmu khususnya ilmu agama. Selanjutnya dalam paper ini penulis
akan mencoba mengupas hadits tersebut dengan menjelaskan, menguraikan, dan
menganalisa matan hadis, mengkaji tematis komprehensif serta kajian secara
konfirmatif dengan petunjuk al-Qur’an. Disamping itu juga penulis ingin
menggali makna universal yang terkandung di dalamnya dan mencoba mengaitkan
dengan realitas kehidupan sekarang ini Sehingga dengan demikian diharapkan
kupasan tersebut nantinya dapat menjadi sebuah refleksi bagi para petualang
ilmu.
B.
Hadist Tentang Pentingnya Pendidikan Agama
حَدَّثَنَا
بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُوْ بِشْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيْدِبْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
Telah menceritakan kepada kami Bakr bin
Khalaf Abu Bisyr berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la
dari Ma'mar
dari Zuhri
dari Sa'id Ibnul
Musayyab dari Abu Hurairah
ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
dikehendaki Allah untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan memberikan pemahaman
kepadanya tentang agama."
C.
Kajian Linguistik
1.
Kata خَيْراً merupakan isim dzat yang
menjadi bagian dari isim jamid. Kata الخَيْر berarti kebaikan[1].
Penggunaan kata الخَيْر menggunakan bentuk nakiroh yang
menunjukkan arti umum yaitu mencakup kebaikan yang sedikit maupun yang banyak,
mengandung arti segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan membawa
manfaat bagi manusia, baik dalam masalah agama maupun urusan duniawi.[2]
Sinonim dari kata الخَيْر di antaranya adalah:
·
Al-hasan/iḥsān: kebaikan yang diberikan melebihi kewajiban, menurut al-Rāghib bermakna dasar segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi, secara bahasa pertama, memberi nikmat
kepada pihak lain, kedua perbuatan baik. Memberi lebih banyak dari pada
yang harus kita beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya kita
ambil. Terhadap seorang hambatercapai saat seseorang memandang dirinya pada
diri orang lain, ia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya.
·
Al-ma‘rūf: kebaikan yang sudah mentradisi di
masyarakat, apa yang dianggap baik oleh syariat
dan akal.
·
Thayyib:
segala sesuatu yang dirasakan enak oleh panca indra maupun jiwa material maupun
immaterial. Bebasnya sesuatu dari segala
yang mengeruhkannya.
·
Birr:
keluasan dalam kebajikan.
·
Al-shāliḥ: kebaikan yang bersifat membangun
(reformatif), aktifitas yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan
terhenti atau menjadi tiada; atau akan diperoleh manfaat dan kesesuaian.[3]
2. يُفَقِّهْهُ
berasal dari kata فَقِهَ-فِقْهًا yang berarti mengerti memahami atau mengerti[4],
dengan disukun huruf Ha’ karena menjadi
jawabnya syarat. menganugerahkan kecerdasan, pengetahuan, dan kefahaman
terhadap urusan Islam (hukum-hukum syar‘i). Faham di sini adalah faham yang membuahkan
amal shalih agar kefahaman dan ilmunya tersebut tidak menjadi bumerang bagi
dirinya. Karena siapa yang tidak mengamalkan ilmu yang telah dipahaminya, ia
termasuk orang yang mendapat murka, sebagaimana yang tersebut dalam hadits
shahih, "Al-Qur'an itu menjadi pembelamu atau yang memberatkanmu."
3. Kata الدِّيْن dalam Al Qur’an hanya disebutkan dalam bentuk
isim mufrod saja, tidak ada mustanna maupun jamak. kata الدِّيْن
disini dipahami sebagai agama Islam. Seperti dalam firman Allah Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi
Allah hanyalah Islam… (Qs. Ali ‘Imran 19 ).
Menurut Lane, kata ad-dīn secara
khusus bermakna agama Islam. Kata-kata sinonim untuk kata ad-dīn adalah
asy-syari’ah (hukum), tauhid (keesaan Allah) dan wara’’
(kehati-hatian). Kata ad-dīn juga berasal dari kata dāna, yang
berarti “dia berhutang”. Ini penting menurut Al-Attas, sebab manusia berhutang
kepada Allah bagi eksistensi dan penopang kehidupannya. Seorang mukmin akan
menyadari bahwa ruhnya telah mengakui (rububiyah) Allah sebelum
kehadirannya di bumi.[5]
Tafaqquh fi ad-dīn dalam arti luas bukan
berarti menitikberatkan ‘ulūm ad-dīn dan mengesampingkan ‘ulūm ad-dunyā, seperti yang terjadi di
Indonesia paska penjajahan kolonial Belanda yang menyudutkan kaum Muslimin ke satu sudut
pandang yang hanya menitikberatkan pada kehidupan ukhrowi. Sehingga mulai
muncul dikotomi antara ‘ulūm ad-dīn dan ‘ulūm ad-dunyā.[6]
Tafaqquh fi ad-dīn dipahami
secara sempit dan terbatas pada apa yang dimaksud dengan ‘ulūm ad-dīn.
Pemahaman ini
secara ekslusif tidak pernah dikorelasikan dengan pemahaman ad-dīn itu sendiri secara utuh, meskipun secara
terpisah ad-dīn telah dipahami
sebagai wadl’un Ilāhiyun sa’iqun li dzawu ‘uquli as-salimah illā mā liuwa
khoirun lahum fi dunyāhum wa akhirotihim (ketentuan Ilahi yang mendorong
siapapun yang berakal sehat, untuk berbuat sesuatu yang baik bagi mereka di
dunia dan akhirat).[7]
Bila ad-dīn dipahami seperti itu, maka
berarti ‘ulūm ad-dīn
secara luas adalah ilmu- ilmu yang mempunyai kaitan langsung atau tidak
langsung dengan ketentuan Ilahi, menyangkut urusan duniawi maupun ukhrowi.
Kemudian bila ketentuan Ilahi tersebut mendorong bagi para pemikir kearah
pencapaian sesuatu yang baik di dunia dan di akhirat mereka, maka mengapa dalam
konteks ilmu-ilmu duniawi lalu diisolasikan dari klasifikasi ‘ulūm ad-dīn?
Persepsi dikotomis seperti itu mengakibatkan
dinamika ilmiyah dalam Islam cenderung lemah atau stagnan.[8]
D. Kajian Tematis Komprehensif
Kajian tematis
komprehensif yaitu kajian hadis dengan mempertimbangkan teks-teks hadis lain
yang memiliki tema yang relevan dengan tema hadis yang bersangkutan untuk
memperoleh pemahaman yang komprehensif. Ada beberapa hadis yang relevan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah. Diantaranya adalah,
a)
Hadis
al Tirmidzi Tentang Motivasi Belajar
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي
صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ أبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ
حَسَنٌ [9]
Artinya: Mahmud bin Ghailan
menceritakan kepada kami, Abu Usamah menceritakan kepada kami dari Al-A’masi
dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah berkata : Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa
berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya
jalan ke surga. (HR. AL- Tirmidzi)[10]
Hadis di atas
memberikan motivasi orang yang berupaya menuntut ilmu baik ilmu agama maupun
ilmu umum dimudahkan jalannya masuk surga yakni diberikan pertolongan jalan
masuk surga, dengan cara mengamalkan ilmunya itu dalam bentuk amal saleh. Kedua
ilmu agama dan umum bisa dijadikan jalan masuk surga. Ilmu umum seperti
biologi, ilmu alam, astronomi, geologi, kimia dan vulkanologi misalnya dapat
mengenal kekuasaan Allah dan mempertebal tauhid serta keimanan kepada Sang Pencipta.
Demikian juga ilmu agama yang diamalkan mempunyai makna yang sangat tinggi
untuk mendekatkan diri kepada Allah.[11]
b)
Hadis
al Tirmidzi Tentang Kesuksesan Ilmu
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَـا
مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَـافِيْـهَـا إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالاَهُ
وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَـلِّـمٌ .(رواه الترمدي
وقال: حديث حسن)
Artinya: dari Abu Hurairah r.a. berkata: aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “ ingatlah, bahwa dunia ini terkutuk, dan semua yang
ada di dalamnya terkutuk, kecuali dzikrullah dan sesuatu yang dicintaiNya,
orang alim (orang yang berilmu) dan orang yang belajar ilmu”. (HR. Al- Turmudzi
dan dia berkata hadis ini hasan).[12]
Hadis ini sama
sekali tidak mencela dunia dan tidak melarang manusia mencari dunia, tidak
melarang pencari ilmu atau pengajarnya mencari dunia, akan tetapi justru
membimbing manusia mencari dunia dengan cara yang baik dan membelanjakannya ke jalan yang baik pula. Cara yang baik dan
jalan yang baik yakni jalan yang diridlai Allah atau yang diperbolehkan dalam
hukum syara’. Dalam bahasa hadis harta dunia yang disertai ingat kepada
Allah dan yang mendekatinya. Hadis diatas juga membimbing manusia mencari harta
dunia dengan cara mempelajari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya.[13]
Boleh saja
seorang pelajar ilmu atau pengajarnya
dengan tujuan untuk mendepatkan pekerjaan dunia atau mencari rezeki yang
halal yang diriddlai Allah. Harta yang halal itu digunakan untuk mencukupi
kehidupannya, sehingga bisa melaksanakan perintah Allah dengan baik. Inilah yang disebut sebagai
seorang yang sukses dunia akhirat.[14]
c) Hadis Riwayat Muslim Tentang Ilmu bermanfaat
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ
الله عَنْهُ أَن رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَـانُ
انْـقَـطَـعَ عَـمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ
يُنْـتُفَـعُ بِهِ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُولَهُ .
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a.
berkata: Rasulullah SAW bersabda “Apabila manusia itu meninggal dunia maka
terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kepadanya”. (HR. Muslim)[15]
d) Hadis Riwayat al-Bukhari Tentang Mempelajari
Al-Qur’an
عَنْ
عُثْمَانَ – رضى الله عنه- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ
«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ» رواه البخاري
Artinya: “Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran
dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no.
5028)
Materi pembelajaran Al-Qur’an adalah materi yang paling agung di
antara sekian materi pembelajaran, karena seluruh mata pelajaran menginduk dan
merajuk pada Al-Qur’an. Semua materi pelajaran baik agama maupun umum sains dan
teknologi bersumberkan dari Al-Qur’an. [16]
e)
Hadis Sunan Abi Dawud Tentang Ulama Pewaris Nabi
وَإِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ
“Dan
sesungguhnya ulama itu pewaris nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah
mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Para nabi mewariskan ilmu. Barangsiapa
yang mengambilnya, dia telah mengambil (mendapatkan) keberuntungan yang
banyak.”Sunan Abi Dawud, no. 3641, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
menshahihkannya.
E.
Kajian Konfirmatif
Kajian
konfirmatif ini menegaskan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an
sebagai sumber tertinggi ajaran. Sebagaimana sering disebutkan bahwa hadis itu
merupakan catatan tentang kehidupan Rasulullah SAW, maka salah satu fungsinya
ia menjelaskan atau menjadi contoh bagaimana melaksanakan ajaran al-Qur’an.
Kalau al-Qur’an itu lebih bersifat konsep, maka hadis lebih bersifat
operasional dan praktis.[17]
Jadi dalam kaitannya al-Qur’an, hadis merupakan penjelasan praktis terhadap
beberapa ayat al-Qur’an yang masih umum dan teoritis.
Ayat-ayat
al-Qur’an yang mengkonfirmasikan tentang pentingnya ilmu agama adalah sebagai
berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä #sÎ)
@Ï% öNä3s9
(#qßs¡¡xÿs? Îû
ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù
Ëx|¡øÿt
ª!$# öNä3s9
( #sÎ)ur @Ï%
(#râà±S$# (#râà±S$$sù
Æìsùöt ª!$#
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur
(#qè?ré& zOù=Ïèø9$#
;M»y_uy 4
ª!$#ur $yJÎ/
tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz
ÇÊÊÈ
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
( Qs. Al Mujaadalah
11 )
ÎA÷sã spyJò6Åsø9$#
`tB âä!$t±o
4 `tBur |N÷sã
spyJò6Åsø9$# ôs)sù
uÎAré& #Zöyz
#ZÏW2 3
$tBur ã2¤t
HwÎ) (#qä9'ré&
É=»t6ø9F{$# ÇËÏÒÈ
269. Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah). (Qs. Al Baqarah 269 )
$tBur c%x.
tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9
Zp©ù!$2 4
wöqn=sù txÿtR
`ÏB Èe@ä.
7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB
×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9
Îû Ç`Ïe$!$#
(#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs%
#sÎ) (#þqãèy_u
öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9
crâxøts ÇÊËËÈ
122. Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. ( Qs. At- Taubah 122 )
Pada ayat di atas Allah SWT memberikan penjelasan secara eksplisit tentang tujuan pendidikan Islam yakni agar dapat mengajarkan kepada kelompok
masyarakat tempat mereka hidup dan bersosialisasi, nilai tujuan tersebut agar masyarakat dapat menjaga diri mereka baik secara
individual maupun kelompok.
F.
Analisis Realitas Historis
Dilihat dari macam-macam
hadits ahad berdasar derajatnya hadis tentang pentingnya pendidikan agama ini adalah
shohīh lidzātihi (shohih dengan sendirinya). Shohīh lidzātihi
adalah hadits yang rowinya: Adil, hafalannya kuat, sanadnya bersambung, terbebas
dari kejanggalan & kecacatan. Hadis ini dilatarbelakangi oleh ayat-ayat
yang berkenaan dengan anjuran untuk memperdalam ilmu agama. Karena secara jelas
penulis belum menemukan asbāb al-wurūd dari hadis ini. Jadi penulis
mengaitkan asbāb al-wurūd dengan asbabun nuzul yang sama persis
kaitannya secara tekstual maupun kontekstual.
Ibnu Abu Hatim
mengetengahkan sebuah hadis melalui Ikrimah yang menceritakan, bahwa ketika
diturunkan firman-Nya berikut ini, yaitu, "Jika kalian tidak berangkat
untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih."
(Q.S. At-Taubah 39). Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak
berangkat ke medan perang, mereka berada di daerah badui (pedalaman) karena
sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan
komentarnya, "Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di
daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu."
Kemudian turunlah firman-Nya yang menyatakan, "Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)." (Q.S.
At-Taubah 122). Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lainnya melalui
Abdullah bin Ubaid bin Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum
mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila Rasulullah
SAW mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka
meninggalkan Nabi SAW di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka
turunlah firman Allah SWT yang paling atas tadi. (yaitu surah At-Taubah ayat
122).
G.
Analisis Generalisasi
Tujuan pendidikan secara
filosofis berdasarkan pemahaman dari ayat di atas
maupun hadis Rasulullah SAW yang sedang dikaji
memberikan penjelaskan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang disempurnakan
dengan akal oleh Allah SWT yang merupakan potensi
dasar manusia, dengan potensi dasar tersebut manusia diharuskkan untuk menuntut
ilmu melalui proses pendidikan. Oleh karena itu tujuan meninti jalan ilmu pada
hakikatnya adalah agar manusia dapat lebih mengenal dirinya dalam artian memanusiakan
manusia, agar ia benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi.[18]
Nilai penting lainnya dari memahami hadis di
atas adalah bahwa dalam meniti jalan menuntut ilmu terdapat proses pendewasaan
jasmani dan rohani.[19] Yakni
bahwa selain tujuan filosofis terdapat pula tujuan insidental yaitu
meningkatkan kecerdasan motorik, emosional, intelektual dan spiritual,[20]
sebab dalam meniti jalan menuntut ilmu dibutuhkan ketenangan dan kesabaran
dalam menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan dalam belajar. Sebab kesuksesan
seorang penuntut ilmu terletak dalam kesabarannya menghadapi berbagai bentuk
kesulitan, kesusahan, dan keletihan dalam mengarungi proses pendidikan.
Ada tiga hal penting yang disebutkan dalam
hadis di atas, yaitu keutamaan ilmu agama, hakikat pemberi adalah Allah dan
sebagian umat teguh pendirian dalam kebenaran. Hadis di atas menggambarkan
betapa pentingnya materi keagamaan yang harus dipelajari dan dipahami oleh
setiap muslim. Setiap anak didik beragama
dan orang beragama harus paham ajaran agamanya. Tidak boleh seorang
mengaku beragama, tetapi tidak paham atas ajaran agamanya. Dalam hadis di atas
memotivasi agar orang islam memahami ajaran agamanya. Orang yang baik adalah
orang yang paham agamanya. Orang yang tidak paham ajaran agamanya berarti
terhalang kebaikan. Tujuan orang beragama adalah ingin mencapai kebaikan atau
kebahagiaan dunia dan akhirat.[21]
Orang-orang yang diberikan kebaikan oleh Allah
diantaranya:[22]
a)
Dibukanya
pintu amal sebelum kematian menjelang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah
akan jadikan ia beramal.” Dikatakan, “Apakah dijadikan beramal itu?” Beliau bersabda,
“Allah bukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya, sehingga
orang-orang yang berada di sekitarnya ridla kepadanya.” (HR Ahmad dan Al Hakim
dari Amru bin Al Hamq).
b)
Dipercepat sanksinya di dunia. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila Allah menginginkan kebaikan
kepada hambaNya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila
Allah menginginkan keburukan kepada hambaNya, Allah akan membiarkan dosanya (di
dunia) sampai Allah membalasnya pada hari kiamat.” (HR At Tirmidzi dan Al
Hakim dari Anas bin Malik).
Namun kita tidak diperkenankan untuk meminta
kepada Allah agar dipercepat sanksi kita di dunia, karena kita belum tentu
mampu menghadapinya. “Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah menjenguk seseorang dari kaum muslimin yang telah kurus
bagaikan anak burung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah
kamu berdo’a dengan sesuatu atau kamu memintanya?” Ia berkata, “Ya, aku
berdo’a, “Ya Allah siksa yang kelak Engkau berikan kepadaku di akhirat
segerakanlah untukku di dunia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Subhanallah, kamu tidak akan mampu itu. Mengapa kamu tidak berkata,
“Ya Allah berikan kepada kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan dan
peliharalah kami dari adzab Neraka.” Maka orang itupun berdo’a dengannya. Allah
pun menyembuhkannya.” (HR Muslim).
c)
Diberikan cobaan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah
akan memberinya musibah.” (HR Ahmad dan Al Bukhari dari Abu Hurairah). Cobaan
pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu janji Allah: “Sungguh, Kami
akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan.” (QS Al Baqarah: 155). Cobaan itu untuk menggugurkan dosa
dan mengangkat derajat. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada
jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak
mempunyai dosa.” (HR Ahmad dengan sanad yang hasan).
d)
Difaqihkan dalam agama
e)
Diberikan kesabaran. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang diberikan dengan sesuatu yang
lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al Bukhari dan Muslim). Kesabaran
dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala,
demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah
Allah dan menjauhi laranganNya amat membutuhkan kesabaran. Karena Iblis dan balatentaranya
tak pernah diam untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. “Tidak ada yang
diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan
tidak ada yang diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang
besar.” (QS Fushilat: 35).
Ilmu agama dan kebaikan keduanya harus
diusahakan melalui proses pembelajaran di samping pemberian Allah SWT. Dengan
demikian, setiap anak didik harus selalu berusaha memahami ajaran agama itu.
Memahami ilmu agama dalam bahasa hadis tersebut menggunakan kata yufaqqihu
fi al-dīn, dari kata ini muncul pemahaman tentang keutamaan
mempelajari ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Yang menjadi
permasalahan disini, apakah dengan mempelajari ilmu agama saja (akhirat) setiap
muslim akan diberikan kebaikan oleh Allah? Pendapat ini memisahkan antara ilmu
agama dan ilmu dunia. Padahal ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim
adalah ilmu yang diperlukan dan dituntut oleh agama dan dunianya. Dengan kata
lain yang telah di singgung di atas bahwa ulūm ad-dīn secara luas adalah ilmu- ilmu yang mempunyai
kaitan langsung atau tidak langsung dengan ketentuan Ilahi, menyangkut urusan
duniawi maupun ukhrowi. Karena dengan mempelajari ilmu agama saja dalam artian
ilmu akhirat setiap muslim tidak akan berkembang dan semakin ketinggalan.
Sungguh beruntung
sekali seseorang yang bisa mendapat hal tersebut. Dirinya bisa mempelajari,
memahami dan mengamalkan ilmunya. Sungguh, ilmu syar’i inilah yang menjadi
warisan dari para nabi Allah. Jika seseorang mampu meraupnya, sungguh dia telah
mendapat keberuntungan yang melimpah ruah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Rahimahullah dalam kitab Majmu’ fatawa:
“Setiap amalan yang dilakukan seorang hamba yang tidak berbentuk ketaatan,
ibadah dan amalan saleh maka amalan tersebut merupakan amalan yang batil, sebab
dunia ini terlaknat dan terlaknat segala isinya kecuali sesuatu yang dilakukan
karena Allah, meskipun amalan batil itu menyebabkan seorang meraih kepemimpinan
dan harta, maka seorang pemimpin bisa menjadi Firaun, dan seorang yang gila
harta bisa menjadi Qarun.”.[23]
Maka dengan menuntut ilmu, memahami dan
mengamalkannya akan menjadikan seorang hamba yang masuk kedalam kelompok yang
akan meraih ridha-Nya, dan selamat dari kemurkaan dan siksa-Nya. Sebab
orang yang tidak memahami perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang faqih dan
bukan pula seorang yang menuntut ilmu, sehingga tepat jika ia disifati sebagai
orang yang tidak dikehendaki kebaikan untuknya. Ini merupakan penjelasan yang
terang yang menunjukkan keutamaan para ulama dibanding seluruh manusia.
H.
Kritik Praksis
Realitas sekarang ini menunjukkan masih banyak
terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam hal memahami hadis di atas. Pandangan
orang islam yang mensakralkan ilmu agama tanpa peduli dengan adanya ilmu dunia.
Orang islam sibuk menghabiskan waktu dengan beribadah dan urusan keduniawian
dinomor duakan, bahkan mereka percaya bahwa dengan membekali dirinya dengan
ilmu agama sudah cukup untuk membekali hidup di dunia dan akhirat nantinya.
Padahal tanpa disadari kebanyakan orang muslim masih menempatkan diri dalam
ketertinggalannya.
Kelemahan umat Islam terdapat pada banyak sisi
kehidupan, baik pribadi atau masyarakat. Boleh dikatakan di semua sisi
kehidupan. Di antaranya yang bisa disebutkan di sini adalah:
Lemah Aqidah: Aqidah adalah pegangan hidup yang utama dan
menjadi fondasi untuk lahirnya imānul ‘amīq (keimanan yang
mendalam). Aqidah yang kuat hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya
penolong dari kesulitan hidup dan permasalahnnya. Tidak takut mati, apalagi
takut miskin. Sebab seorang yang mengimani Allah Ta’ala sebagai pengatur hidup
akan merasa aman dan tentram hatinya ketika menyandarkan dirinya kepada pemilik
kehidupan itu sendiri. Berbeda dengan orang yang aqidahnya lemah, dia lebih
takut dengan ancaman makhluk dibanding azab Allah Ta’ala. Seperti yang terjadi
saat ini, umat Islam (khususnya para pemimpinnya) lebih takut dengan ‘azab’
yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya dibanding azab dari Rabb
mereka. Begitu juga ketika sepasang manusia berzina, mereka lebih takut hamil
dibanding takut kepada Allah Ta’ala.
Berbeda dengan Sumayyah, seorang wanita yang
mati syahid dan menjadi syahid pertama dalam Islam. Dia tetap memegang teguh
agama tauhid walau mengalami penyiksaan yang membuatnya dibunuh secara keji. Berbeda
dengan Bilal bin Rabbah, seorang sahabat nabi yang disiksa dengan ditindih batu
besar pada siang yang amat panas, agar ia mau keluar dari agama Islam dan
kembali mengakui ketuhanan kolektif Arab jahiliyah. Tetapi dia tetap dalam
keimanannya, dan mengatakan; “ahad .. ahad .. ahad … . Berbeda dengan
Masyithah, seorang wanita pelayan di istana Fir’aun yang tetap teguh menyembah
Allah Ta’ala dan menolak pengakuan ketuhanan Fir’aun. Dia bersama keluarganya
direbus hidup-hidup untuk mempertahankan aqidahnya.
Lemah Ekonomi: Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kaum
Muslimin benar-benar merasakan baldatun thayyibatun (negeri
yang makmur). Sampai-sampai Srigala menyusu kepada Domba, padahal domba
adalah mangsa Srigala. Saat itu, pemerintah kesulitan mencari faqir miskin
untuk menerima zakat, akhirnya harta zakat disalurkan ke negeri-negeri non
muslim. Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, dia pernah keluar dari istana
sambil menatap langit yang sedang mendung: “Ya Allah, turunkanlah hujan di
mana Engkau mau. Jika Kau turunkan di Barat maka itu adalah negeri kami, jika
Kau turunkan di Timur itu juga negeri kami”. Apa yang dikatakannya
melambangkan kemakmuran negeri Islam yang merata dan begitu luas. Sehingga dua
khalifah ini termasuk deretan para khalifah yang paling sering disebut namanya
setelah empat khulafā’ur rasyidīn.
Kemandirian ekonomi adalah salah satu penopang
kekuatan, dan Islam sangat menekankan hal itu. Seorang yang berhutang biasanya
akan mengalami penurunan kekuatan. Daya kritis, kemandirian, dan sebagainya
akan mudah didikte oleh orang yang memberinya hutang. Begitu pula dalam tingkat
negara. Negara-negara miskin kebanyakan negara muslim mudah sekali dikendalikan
oleh kekuatan asing yang menjadi donor bagi dana pembangunan negerinya.
Lemah Propaganda: Dunia
propaganda, melalui media elektronik seperti TV, Radio, dan internet, atau
media cetak seperti majalah dan buku, ternyata telah melampaui batas fungsinya
sebagai jendela informasi bagi manusia. Saat ini sarana ini telah dijadikan
alat untuk memojokkan Islam dan kaum Muslimin. Media Barat telah menggiring
opini dunia untuk menyebutnya sebagai teroris, agama pedang, penindas
kaum wanita, dan sebagainya. Begitu kuat jaringan mereka, satu sama lain saling
membantu.
Orang shalih bisa jadi buruk lantaran
diberitakan buruk, dan orang jahat bisa menjadi pahlawan karena diberitakan
sebagai pahlawan. Inilah keajaiban propaganda. Dan, sayangnya tidak sedikit
umat Islam yang terpukau oleh media mereka dan termakan oleh isu dan hasutan
yang mereka buat. Kita selalu meng-iya-kan kata mereka. Persis yang Al Quran
katakan:
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh
mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan
perkataan mereka. (QS. Al Munafiqun 63)
Sementara, di sisi umat Islam sendiri mereka
lemah. Belum ada kantor berita umat Islam yang menjadi media rujukan utama
sebagai penyeimbang, jangankan secara internasional, secara nasional pun belum
ada, sekali pun ada hanya menjangkau lapisan yang sangat ekslusif dan
terbatas. Akhirnya tidak ada
pilihan lain akhirnya mereka menjadikan media barat sebagai rujukan, walau
mereka telah tahu bahwa media tersebut tidak akan pernah objektif dan adil
ketika berhadapan dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Direndahkan: Direndahkan Ini merupakan efek domino
yang otomatis dari kebodohan dan kelemahan, sebab tidak ada orang bodoh dan
lemah yang memiliki wibawa dan kehormatan. Dunia berbicara, mereka ramai
menyalahkan pemerintah Indonesia ketika kasus di Timor Timur (sekarang Timor
Leste), bahkan mereka mengintervensi sehingga provinsi ini lepas dari Indonesia.
Ada pun Papua pun sedang mengalami hal yang sama. Begitu mudahnya negeri muslim
diobok-obok oleh kekuatan asing.
Ketika kedung kembar WTC (World Trade Center)
ditabrak oleh dua pesawat yang tidak jelas siapa pelakunya. Bahkan, CIA tidak
berani memastikan. Namun, Amerika Serikat dengan kesombongannya langsung
menyalahkan pemerintah Taliban di Afghanistan, sebuah negeri miskin dan
terbelakang. Afghanistan diserang oleh tentara Amerika Serikat tanpa peduli
protes dunia muslim dan yang masih punya nurani kemanusiaan. Begitu pula yang
terjadi Iraq, Presidennya dijatuhkan oleh kekuatan negara lain, bukan
kekuatan yang berasal dari rakyatnya sendiri. Umat Islam dunia juga tidak
berkutik.
Jalur Gaza akhir 2008 dan awal 2009. Negara
Zionis Israel menyerang Gaza sebuah kota kecil yang hanya dijaga oleh milisi
mujahidin HAMAS yang tidak seberapa banyak. Umat Islam yang setengah miliar di
Timur Tengah, diacak-acak oleh kebiadaban tentara Zionis Israel di sana. Mereka
hanya menonton dan menangis, paling jauh demonstrasi. Bahkan mayoritas umat ini
tidak peduli karena sibuk dengan dunianya masing-masing. Kemana umat Islam?
Kemana pemimpin kaum Muslimin? Kemana Al Mu’tashim abad modern? Kemana satu
setengah miliar umat Islam?
Rasulullah SAW bersabda: “Hampir
datang masanya bangsa-bangsa mengerumuni kalian sebagaimana mengerumuni makanan
di atas meja makan.” Ada yang bertanya: “Apakah saat itu kita sedikit?” Beliau
menjawab: “Justru saat itu kalian banyak, tetapi laksana buih di lautan.
Allah telah mencabut rasa takut dalam dada musuh-musuh kalian terhadap kalian,
sedangkan Allah telah melemparkan ke dalam hati kalian penyakit Al Wahn,”
Ada yang bertanya: “Apakah Al Wahn?” Beliau menjawab: “Cinta dunia
dan takut mati!” (HR. Ibnu Majah)
Perpecahan: Seharusnya perbedaan dapat dijadikan khazanah
yang baik. Islam tidak mencela perbedaan tetapi membenci perpecahan. Dan,
perbedaan belum tentu berpecah, sedangkan berpecah sudah pasti berbeda.
Namun demikian, walau perbedaan itu pasti ada dan ini sudah diisyaratkan
jauh-jauh hari, Islam tetaplah mencela perpecahan dan mengaharamkannya di
antara kaum Muslimin.
Inilah penyakit yang mengerikan sebab dia
menghancurkan dari dalam seperti kanker yang menggerogoti tubuh manusia.
Sesungguhnya umat Islam tidak pernah takut akan ancaman dari luar karena mereka
sudah mengantisipasi dengan semangat Jihād fī Sabīlillāh. Tetapi yang
justru dikhawatiri adalah hancurnya umat islam dari dalam, yakni ketidakmampuan
mereka dalam meredam perselisihan dan mengolah perbedaan. Akhirnya, musuh-musuh
Islam bertepuk tangan sementara kita sibuk bercakaran.
Demikianlah penyakit umat islam kontemporer dan
kita harus tersadari olehnya. Tentunya harus dicarikan solusi yang jitu dengan tanpa
melahirkan penyakit baru. Ringkasnya, sebagaimana kata Imam Malik RA
yang pernah mengatakan: “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara
pertama kali ia dijayakan genarasi awalnya.” Yaitu dengan iman,
ilmu, ukhuwah islamiyah yang solid, dan rūhul jihādiah (semangat
juang) yang tidak terputus. Sehingga umat Islam menjadi cerdas tidak bodoh,
kuat tidak lemah, berwibawa tidak direndahkan, dan solid tidak berpecah.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan hadis yang diriwayatkan oleh
Sunan Ibnu Majah tentang
pentingnya pendidikan agama ini dapat disimpulkan bahwa dengan menuntut ilmu agama,
memahami dan mengamalkannya akan menjadikan seorang hamba yang masuk kedalam
kelompok yang akan meraih ridha Allah, dan selamat dari kemurkaan dan
siksa-Nya. Sebab orang yang tidak memahami perkara agamanya, dia bukanlah
seorang yang faqih dan bukan pula seorang yang menuntut ilmu, sehingga tepat
jika ia disifati sebagai orang yang tidak dikehendaki kebaikan untuknya. Dengan
kata lain orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka akan dipahamkan
dalam ilmu agama.
Ilmu agama diartikan sebagai ketentuan Ilahi yang mendorong siapapun yang
berakal sehat, untuk berbuat sesuatu yang baik bagi mereka di dunia dan
akhirat. Jadi tidak cukup hanya mempelajari ilmu syari’ (akhirat) saja dengan
mengesampingkan ilmu dunia. Karena ilmu agama dan ilmu dunia mempunyai keterkaitan
untuk menunjang kehidupan manusia untuk mendapatkan kategori kebaikan dari
Allah termasuk yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Daftar
Pustaka
Barnadib,
Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
Bisri, Adib dan
Munawir A. Fatah, Al- Bisri KamusIndonesia-Arab Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Progessif, 1999.
http://HADIS/Keutamaan%20Ilmu%20Dan%20Menuntut%20Ilmu%20Agama%20-%20Ahlussunnah
%20Sukabumi.htm
Khamdan, dkk, Studi
Hadis Teori dan Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan), Yogyakarta:
Idea Press Yogyakarta, 2012.
Khon,
Abdul Majid, Hadis Tarbawi, Jakarta: Kencana, 2012
Mahfudh,
Sahal, Nuansa Fiqh Sosial Yogyakarta : Lkis, 2012
Mastuhu, Menata
Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 Yogyakarta: Safiria
Insani Press, 2003
Muhamed, Yasien,
Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, Jakarta: Penerbit Mizan,
1997.
Nurdin, Ali, Qur’anic Society; Menelusuri Konsep
Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, Jakarta: Erlangga, 2006.
Suharsono.
Melejitkan IQ, IE & IS, Jakarta: Insani Press, 2001.
Zuhri, Muh., Telaah
Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta : LESFI, 2003
[1]Adib Bisri dan
Munawir A. Fatah, Al- Bisri KamusIndonesia-Arab Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Progessif, 1999), hlm. 182.
[2]
Ali Nurdin, Qur’anic
Society; Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
Erlangga, 2006), hlm. 176.
[4] Adib Bisri dan
Munawir A. Fatah, Al- Bisri…, hlm. 574.
[5] Yasien
Muhamed, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, (Jakarta: Penerbit
Mizan, 1997), hlm. 23-24.
[6] Sahal Mahfudh,
Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta : Lkis, 2012) hlm. 325 – 326.
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.
[10] Khamdan, dkk, Studi
Hadis Teori dan Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan), (Yogyakarta:
Idea Press Yogyakarta, 2012), hlm. 172-173.
[11] Abdul Majid
Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana, 2012), Hlm. 178-179.
[12] Ibid…,
hlm. 171.
[13] Ibid…,
hlm. 174.
[14] Ibid…,
hlm. 174.
[15] Ibid…,
hlm. 126-127.
[16] Ibid…,
hlm. 13.
[17] Muh. Zuhri, Telaah
Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta : LESFI, 2003), hlm.
65
[18]Mastuhu, Menata
Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 (Yogyakarta: Safiria
Insani Press, 2003), hlm.136.
[19] Sutari Imam
Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Andi Offset, 1993),
hlm. 28.
[20] Suharsono. Melejitkan
IQ, IE & IS (Jakarta: Insani Press, 2001), hlm. 108.
[21] Abdul Majid
Khon, Hadis Tarbawi…, hlm. 22.
[22]
http://laillanm.blogspot.com/2013/07/mereka-yang-diinginkan-kebaikan.html
[23]http://HADIS/Keutamaan%20Ilmu%20Dan%20Menuntut%20Ilmu%20 Agama %20-
%20Ahlussunnah %20Sukabumi.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar