Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab
(Telaah Epistemologis)
A.
Pendahuluan
Pada
dasarnya pada
era modern atau dalam masyarakat yang tengah memasuki proses modernisasi saat
ini ternyata pendidikan mampu memberikan suatu link yang terbaik antara
modernisasi yang dialami pada individu-individu dengan yang terjadi dalam
lingkungan sosio-kulturalnya. Ditegaskan Saqib, masyarakat modern telah
menyadari bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai satu instrumen penting yang
sangat diperlukan dalam proses perubahan sistem sosial, ekonomi, dan
politiknya. Karenanya, pendidikan memiliki prioritas utama dalam program
modernisasi. Dengan mengecualikan pandangan yang pemisif, Saqib mengungkapkan,
ternyata banyak sarjana yang meyakini bahwa “pendidikan merupakan kunci pembuka
pintu modernisasi”.[1]
Kebutuhan kaum cendekiawan untuk mencari
informasi dengan membanding-bandingkan berbagai faktor pendorong bagi
perkembangan pemakaian bahasa Arab di Nusantara ini serta kendala-kendalanya
maka kelihatan jelas bahwa faktor agama masih jauh lebih dominan dibanding
dengan faktor-faktor lainnya, seperti ekonomi, sosioal budaya serta faktor
akademik. Artinya, meskipun bahasa Arab sudah dinyatakan sebagai bahasa resmi
sejak tahun 1973 oleh UNESCO sebagai bahasa Internasional, ternyata motif kuat
untuk belajar bahasa Arab masih terfokus pada agama.
Bukti lainnya bahwa dorongan untuk belajar
bahasa Arab bertumpu pada faktor agama adalah masuknya bahasa Arab di Nusantara
berkaitan erat atau bersamanaan dengan masuknya Islam. Tidak berlebihan kalau
dikatakan bahwa di belahan dunia mana saja hanya mengenal bahasa Arab karena
datangnya Islam. Bahkan faktor agama ini yang diuji dengan kepentingan duniawi,
yakni sosial, politik dan ekonomi sehingga terkenal bahwa bahasa Arab justru
rusak karena masuknya orang 'Ajam ke dalam Islam, sejak zaman Nabi
Muhammad saw., yang mana kerusakan itu dikenal dengan lahn.[2] Mereka
yang ingin menjaga bahasa Arab umumnya adalah yang punya kepedulian tinggi
terhadap agama Islam.
Memang tidak bisa diingkari bahwa kepedulian
terhadap nuansa agama masih belum bisa mendorong untuk belajar bahasa Arab dan
mempergunakannya dengan aktif. Terbukti
digunakannya bahasa Arab di Nusantara ini dengan pasif sejak masuknya Islam,
sehingga lagi-lagi bukan hanya bahasanya yang mengalami kecampuran dengan
bahasa lain, tetapi tulisan Arab digunakan pula untuk menulis bahasa Latin atau
Melayu dan Jawa. Kemudian dikenallah tulisan pegon dengan huruf Arab. Tulisan
Arab justru yang terseret untuk memenuhi kebutuhan bahasa lokal, bukannya Islam
yang menarik agar mempelajari bahasa Arab melalui tulisannya. Melalui jenis
tulisan ini diharapkan muncul motif baru untuk mempelajari bahasa Arab. Suatu
proses halus dalam membangun citra bahasa Arab. Barangkali karena begitu
halusnya sehingga proses itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap upaya
pengembangan pemakaian bahasa Arab.
Bahasa Arab berperan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Sejarah dan dunia ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak bisa melupakan peran bahasa Arab dalam mewarisi dan
mengembangkan ilmu pengetahuan pada saat-saat kritis. Selama berabad-abad yang
lalu bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa ilmu. Sayang sekali dalam
pertemuan forum-forum ilmiah antar pakar Islam di dunia Islam bahasa Arab masih
belum berfungsi secara penuh. Bahasa Inggris dan Prancis masih dominan untuk
menjembatani pertemuan fikiran sesama umat Islam.[3] Fenomena ini
akan membangkitkan kesadaran bahwa umat Islam belum bisa memakai bahasanya
sendiri, bahasa kitab sucinya.
Sayangnya, upaya
pembaharuan pendidikan bahasa Arab yang dilakukan selama ini belum menjangkau
pada sasaran yang lebih strategis, karena masih terbatas pada bagaimana
menyusun suatu “kurikulum pendidikan bahasa Arab yang layak dan akomodatif
untuk diterapkan”, dan kurang menjangkau pada sasaran yang lebih komprehensif
dan mendasar bagi rancang bangun sistem pendidikan bahasa Arab yang handal,
yakni melalui pembongkaran (dekonstruksi) dan kemudian dilanjutkan dengan
merekonstruksi bangunan epistemologisnya.
B.
Epistemologi
dalam Cabang Filsafat
Pembaharuan
ataupun pengembangan pendidikan Islam dalam perspektif dekonstruksi dan
rekonstruksi bangunan epistemologinya ini tidak bisa tidak
akan membawa pada mengemukanya perbedaan dan keragaman pandangan dan alternasi,
yang bisa jadi jika terkontrol akan menghasilkan “resiko-resiko” dan
konsekuensi-konsekuensi tertentu yang mungkin saja tidak kita harapkan. Ini
dikarenakan epistemologi sebagai bagian dari filsafat ilmu yang memiliki
wilayah bahasan mengenai hakikat ilmu pengetahuan, berupaya mengungkapkan
refleksi manusia terhadap realitas dengan berfondasikan atas metafisika.
Sedangkan pandangan manusia atas realitas tidak sama, maka konsepsi
epistemologipun menjadi berlainan. Di barat sekalipun, dikenal berbagai konsep
epistemologi menurut aliran filsafat yang mendasarinya.[4]
Epistemologi,
menurut Amin Abdullah, mempunyai tiga persoalan pokok yang menjadi wilayah kajiannya,
yakni (1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? (2) Apakah sifat dasar
pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, dan
kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa
yang kelihatan (phenomena/appearence) versus hakekat (noumena/essence).
(3) Apakah pengetahuan kita benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat
membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal mengkaji kebenaran atau
verifikasi.[5] Ringkasnya, ada tiga
masalah pokok yang berkaitan dengan epistemologi ini, yaitu: (1) Filsafat,
yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran
pengetahuan, (2) metode, sebagai metode bertujuan mengantar manusia untuk
memperoleh pengetahuan, dan (3) sistem, sebagai suatu sistem bertujuan
memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.[6]
Sementara
menurut Anna Poedjiadi, secara etimologis, istilah epistemologis berasal dari
kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan. Menurutnya, senada dengan
Amin Abdullah, cabang filsafat ini berfungsi untuk menjawab tiga problem pokok;
1) problem tentang “asal”. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah
datangnya sumber pengetahuan yang benar, dan bagaimana kita dapat
mengetahuinya? 2) problem tentang penampilan (appearence) dan realita.
Apakah hakekat pengetahuan itu? Apakah ada dunia riil di luar akal kita?
Bagaimana kita dapat mengetahuinya? dan 3) problem verifikasi. Apakah validitas
pengatahuan? Bagaimana dapat kita bedakan benar dan salah?[7]
Pada tataran epistemologi dalam
pengembangan pendidikan bahasa Arab terbagi menjadi dua, yaitu metode
tradisional dan modern. Metode tradisional memahami pengembangan ilmu bahasa
dengan metode aqliyah (pengkajian ilmiah-rasional) dan naqliyyah
(kontemplasi transformatif). Sedangkan metode modern dalam pengambangan ilmu
bahasa dengan metode ilmiah berdasarkan paham rasionalisme (Rene Descartes),
intuisme (Bergson), empirisme (Thomas Hobes), dan fenomenolisme (Immanuel Kant.
Metode ilmiah yang dimaksud adalah penelitian bahasa Arab dengan pengkajian
rasional (deduktif) dan pengkajian empiris (induktif).[8]
Filsafat sangat diperlukan dalam
pengembangan berbagai disiplin ilmu, karena ia bukan saja mempunyai pertautan
dengan segenap ilmu, melainkan lebih dari itu, ia bersangkut paut dengan seluruh
ilmu pengetahuan dan ia adalah sumber informasi yang lengkap mengenai tumbuh
dan berkembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun juga bersumber dari
filsafat. Lebih tegas dikatakan Prof. Dr. A. De Troe, tidak mungkin manusia
melakukan suatu tindakan tanpa bantuan filsafat, karena ia merupakan hati
nurani segenap kegiatan ilmiah sebagai suatu kegiatan yang dilakukan manusia
secara sistematis dan metodologis.[9]
Antara filsafat dengan ilmu merupakan satu kesatuan bangunan ilmu dimana yang
pertama sebagai basis yang kedua. Karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah
induk ilmu, sebab di atas basis filsafat itu dapat dibangun berbagai bangunan
ilmu yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ilmu-ilmu tersebut
merupakan akibat spesifikasi obyek bahasan masing-masing sebagai jabaran dari
obyek filsafat.[10]
C.
Realitas dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab
Pendidikan
bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian) hingga
perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di
lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius
untuk memajukan sistem dan mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat
orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut:[11]
1)
Orientasi Religius, yaitu belajar
bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrū’).
Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca),
dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
2)
Orientasi Akademik, yaitu belajar
bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimā’,
kalām, qirā’ah, dan kitābah). Orientasi ini cenderung menempatkan
bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara
akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan
Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program Pascasarjana
dan lembaga ilmiah lainnya.
3)
Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau
pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (muḥādatsah) dalam
bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk
melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dan sebagainya.
4)
Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar
bahasa Arab untuk memahami dan menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi
kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dsb. Orientasi ini,
antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di
negara-negara Barat.
Pendidikan
Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai UIN, IAIN,
STAIN, dan sebagian PTAI swasta. Hanya saja, disiplin keilmuan ini masih
tergolong “miskin” sumber daya manusia dan sumber-sumber studi (referensi).
Sementara ini, yang penulis ketahui dengan melakukan pengamatan secara langsung
tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat adalah PBA FITK Yogyakarta yang agak
memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Yogyakarta yang masih miskin
SDM, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan kualitas SDM dan
memperkaya referensi sebagai basis pembelajaran, penelitian dan pengembangan
ilmu-ilmu bahasa Arab. Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal,
koran Arab, media dan sebagainya), PBA UIN Yogyakarta kurang memberikan native
speaker dan koran-koran berbahasa Arab.
Kurikulum PBA
pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan hasil “ijtihad institusional”
masing-masing, bukan merupakan “ijtihad struktural”. Sejauh ini belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai
pentingnya kerjasama atau networking antar PBA untuk merumuskan
epistemologi, arah kebijakan, dan kurikulum PBA secara lebih luas dan
komprehensif. Meskipun PBA FITK menjadi semacam “lokomotif atau kiblat” bagi
PBA-PBA lainnya, antara lain karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi
banding bagi PBA-PBA lainnya, namun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui
kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab,
sains, teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.
Dalam
masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang dialamatkan kepada
dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA kurang memiliki
kemandirian dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga daya saing mereka
rendah dibandingkan dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu
dibenahi dengan memberikan aneka “keterampilan plus”, seperti: keterampilan
berbahasa Arab dan Inggris aktif (berbicara dan menulis), keterampilan mengoperasikan berbagai aplikasi komputer, keterampilan
meneliti, keterampilan manajerial, dan keterampilan sosial.
D.
Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab:
Problem Epistemologi
Menurut ‘Abd
al-Shabūr Syāhīn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada
berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan
bahasa Arab fuṣḥa di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai
berkurang frekuensi dan proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa Arab ‘āmmiyah
atau dialek lokal (al-lahajāt al-maḥalliyah).[12]
Dewasa ini,
terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan baru, yaitu, pertama,
munculnya fenomena al-fush’amiyyah, campuran ragam fuṣḥa dan ‘āmmiyah. Gejala ini
merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena terjadi degramatisasi
atau pengeleminasian beberapa gramatika (qawā’id). Kaedah-kaedah
bahasa yang baku kurang diperhatikan, sementara pembelajaran qawā’id
pada umumnya tidak efektif. Kultur fuṣ’amiyyah lebih dominan dari padi
kultur akademik yang memegang teguh kaedah-kaedah berbahasa Arab.[13]
Kedua, masih menurut Syāhīn,
realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan pada tantangan globalisasi, tepatnya
tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat, termasuk penyebarluasan bahasa
Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang tidak sampai menggatikan
bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi penggunaan minat belajar bahasa
Arab di kalangan generasi muda.
Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan
akidah, akhlak, dan penjauhan generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran
Islam melalui pencitraan buruk terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama
terjadi kampanye besar-besaran atas nama globalisasi untuk menyebarkan dan
menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel dengan kemajuan
teknologi.[14]
Farîd
al-Anshârî menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme (al-isti’mār
al-‘awlamī al-jadīd) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam dewasa ini
memang dimaksudkan untuk “membunuh karakter dan identitas budaya”, terutama
Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik
menyangkut kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya,
terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Negara Adidaya ini seringkali
mencampuri urusan dalam negara-negara Islam, baik melalui “intervensi
langsung” maupun melalui operasi agen-agen rahasianya yang terkenal lihai dan
licin. Salah satu agenda yang “diselundupkan” ke dunia Arab adalah penghilangan
atau pendangkalan identitas bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber-sumber
ajaran Islam dari sistem pendidikan di dunia Islam, dan sekularisasi dalam
berbagai aspek kehidupan.[15]
Selain ada
upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga pendidikan
di dunia Islam juga mulai digeser, meskipun belum sampai digantikan oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk
pembelajaran sains. Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama
sepakbola, yang disiarkan dari Barat (liga Inggris, Spanyol, Italia, Perancis,
atau Belanda) sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula, mata
acara atau program tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak
dipengaruhi oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan materialistik.[16]
Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa Arab secara serius
menjadi menurun.
Selain itu,
studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga mengalami disori- entasi:
tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini, antara lain, terlihat pada struktur
program kurikulum PBA yang bermuatan beberapa mata kuliah yang tampaknya tidak
semuanya revelan dengan visi dan misi PBA. Antara satu mata kuliah dengan lainnya terkesan kurang saling melengkapi dan
memperkuat basis dan kerangka keilmuan. Sebagai contoh kasus, ketika
membelajarkan insyā’, penulis masih banyak disibukkan dengan urusan
pembenahan dan pembekalan kaedah-kaedah nahwu dan sharaf, di samping penguatan
pola berpikir logis. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran nahwu dan sharaf
belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang seharusnya dipecahkan dalam
perkuliahan itu. Pada saat yang sama, fakta ini juga menunjukkan bahwa para
mahasiswa belum banyak menerima latihan (tadrībāt naḥwiyyah atau ṣarfiyyah)
yang jika dikembangkan semestinya membuat mereka terlatih menyusun kalimat baku
secara baik dan benar.
Orientasi studi
bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih mendua dan
setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi keilmuan. Keduanya
memang perlu dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya perlu
dijadikan sebagai fokus: apakah bahasa Arab diposisikan sebagai studi
keterampilan yang berorientasi kepada pemahiran mahasiswa dalam empat
keterampilan bahasa secara mumpuni. Ataukah bahasa Arab diposisikan sebagai
disiplin ilmu yang berorientasi kepada penguasaan tidak hanya kerangka
epistemologinya, melainkan juga substansi dan metodologinya.
Selain itu,
kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di madrasah dan lembaga
pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu. Ketidakmenentuan ini dapat
dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan
antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemahiran berbahasa)
dan tujuan sebagai alat untuk menguasai pengetahuan yang lain yang menggunakan
bahasa Arab. Kedua, dari segi jenis bahasa Arab yang dipelajari, apakah
bahasa Arab klasik, bahasa Arab modern/kontemporer, atau bahasa Arab pasaran. Ketiga,
dari segi metode, tampaknya ada keagamangan antara mengikuti perkembangan dan mempertahankan metode lama.
Sumber-sumber
dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan kita juga masih relatif
kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh
minimnya perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan
pendidikan bahasa Arab; dan juga disebabkan oleh kurangnya hubungan
lintas-universitas atau lembaga pendidikan dalam bentuk kerjasama ilmiah kita
dengan perguruan tinggi di Timur Tengah, sehingga kita tidak banyak mendapat
pasokan sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian kebahasaaraban. Selain itu,
penting juga ditegaskan, bahwa perhatian negara-negara Arab dalam bentuk
penyediaan sumber belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk
negara-negara berkembang seperti Indonesia, relatif masih kurang.[17]
E.
Strategi dan Pendekatan
Strategi pembelajaran bahasa Arab
adalah suatu cara yang dipilih dan digunakan oleh seorang pengajar dalam
menyampaikan materi bahasa Arab untuk memudahkan siswa dalam menerima dan
memahami materi bahasa Arab tersebut, karena bahasa Arab memiliki
prinsip-prinsip dan karakteristik yang cukup khas. Strategi pembelajaran bahasa Arab
yang meliputi pembelajaran unsur bahasa Arab (aṣwat, mufradat, tarakib)
dan strategi pembelajaran keterampilan bahasa ( istimā’, kalam,
qirā’ah,dan kitābah).[18]
1.
Strategi
pembelajaran mufradat (kosakata), siswa bisa menerjemahkan bentuk-bentuk
mufradāt juga mampu
menggunakannya dalam jumlah (kalimat) dengan benar.
2.
Strategi
pembelajarn naḥwu (tata bahasa), pengguna bahasa mampu menyampaikan
ungkapan bahasa dan mampu memahaminya dengan baik dan benar dalam bentuk
tulisan (membaca dan menulis dengan benar) maupun dalam bentuk ucapan (bicara
dengan benar).
3.
Strategi
pembelajaran istimā’ (Mendengar)
adalah sarana petama yang digunakan manusia untuk berhubungan dengan sesama
dalam tahapan-tahapan kehidupannya.
4.
Strategi
pembelajaran kalām (berbicara), kemampuan
untuk menyususn kata-kata yang baik dan jelas untuk mengungkapkan
pikiran-pikirannya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
5.
Strategi
pembelajaran qirā’ah (membaca),
merupakan kegiatan yang meliputi semua bentuk-bentuk berpikir, memberi
penilaian, memberi keputusan, menganalisis dan mencari pemecahan masalah.
6.
Strategi
pembelajaran kitābah (menulis) yang
berpusat pada tiga hal, yaitu kemampuan menulis dengan tulisan yang benar,
memperbaiki khat, dan kemampuan mengungkapkan pikiran secara jelas dan
detail.
Terdapat beberapa pendekatan
pembelajarn bahasa Arab, diantaranya adalah:[19]
1.
Pendekatan
humanistik (al-madkhal al-insāni), pendekatan
yang memberikan perhatian kepada pembelajar sebagai manusia, tidak
menganggapnya sebagai benda yang merekam seperangkat pengetahuan.
2.
Pendekatan
teknik (al-madkhal al-taqanni), pendekatan yang berdasar pada pemanfaatan
media pembelajaran dan teknik-teknik pendidikan.
3.
Pendekatan
analisis dan non analisis (al-madkhal al-tahlīli wa ghoiru al-tahlīli),
pendekatan analisis didasarkan pada seperangkat ungkapan0ungkapan dan
asumsi-asumsi kkebahasaan dan sosiolinguistics. Sedang pendekatan non analisis
didasarkan pada konsep psycholinguistics dan konsep pendidikan bukan
pada konsep kebahasaan.
4.
Pendekatan
komunikatif (al-madkhal al-ittishāli), pengajaran yang dilandasi oleh teori
komunikatif atau fungsi bahasa.
F.
Rekonstruksi Epistemologi Pendidikan
Bahasa Arab
Gagasan
pengembangan perspektif epistemologis ini dipertimbangkan oleh Mastuhu akan
membawa kita ke keadaan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, a)
mengapa kita perlu mencari paradigma model pendidikan baru? Hal ini berarti
mewajibkan kita untuk mengadakan identifikasi problematika pendidikan saat ini
dalam semua perspektifnya, b) bagaimana, pandangan kita mengenai “pendidikan”.
Apakah ia merupakan suatu bidang studi yang selalu dalam proses menyempurnakan
dirinya; jadi merupakan kesinambungan dari berbagai teori atau konsep
pendidikan yang terus semakin disempurnakan sesuai dengan perubahan dan
tantangan yang dihadapinya dan mengentisipasinya, ataukah ia merupakan suatu
bidang studi alternatif yang sepenuhnya dapat menggantikan teori lama yang kita anggap
sudah tidak relevan lagi dengan tantangan zamannya. Dalam hal ini, demikian
ungkap Mastuhu, teori atau konsep model pendidikan alternatif
yang baru tidak memiliki keterkaitan dengan konsep lama, dan c) model
pendidikan, yang bagaimana yang kita perlukan kini mendatang?[20]
Secara akademis, rekonstruksi pendidikan bahasa Arab saat
ini sangat diperlukan. Ini dilatarbelakangi bahwa aktifitas pendidikan bahasa
Arab sampai saat ini adalah proses pendidikan yang berhenti di tempat, tidak
ada langkah, pemikiran, serta alternatif, atau gagasan segar dalam menciptakan
pendidikan bahasa Arab untuk dijadikan bahasa reformasi kultural dan struktural.
Hal ini menjadikan bahasa Arab selalu terbelakang serta terlepas dari konteks
sebenarnya.[21]
1.
Prospek Pendidikan Bahasa Arab
Setiap tantangan pasti memberikan
peluang dan prospek jika kita berusaha untuk menghadapi tantangan itu dengan
berpikir positif (al-tafkīr al-ījābī) dan bersikap penuh kesungguhan dan
kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi pendidikan bahasa Arab. Menurut penulis, ada beberapa
prospek studi bahasa Arab di masa depan yang dapat diraih, jika para penggiat
dan peminat studi bahasa Arab secara bersama-sama mau dan mampu menekuninya dan
mengubah tantangan menjadi peluang.
Pertama, peluang untuk
pengembangan bahasa Arab semakin terbuka, karena seseorang yang menguasai
bahasa Arab dapat dipastikan memiliki modal dasar untuk mendalami dan
mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan studi ilmu-ilmu
keislaman seperti: fiqh, tafsir, hadits, sejarah Islam, filsafat Islam, dan
sebagainya, dengan merevitalisasi penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi
sumber-sumber aslinya. Dengan kata lain, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai
alat dan modal hidup untuk mencari dan memperoleh yang lain di luar bahasa
Arab, baik itu ilmu maupun keterampilan berkomunikasi lisan.
Kedua,
pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga pengajar bahasa Arab yang
profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan akademik dan
profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan yang
sederajat adalah lulusan Pendidikan Bahasa Arab, bukan lulusan BSA (Bahasa dan
Sastra Arab) atau lainnya, meskipun belakangan ini ada kecenderungan lulusan
BSA mengambil Program Akta Mengajar (Akta IV) untuk memperoleh kompetensi dan
kewenangan menjadi guru.
Ketiga,
penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi
pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan
metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju.Melalui
penggiatan penelitian, tentu saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada
gilirannya komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih tercerahkan. Oleh
karena yang selama ini menjadi hambatan setidak-tidaknya kurang mengundang
minat menelitiadalah rendahnya dana penelitian, maka dipandang penting pimpinan
UIN “mewajibkan” setiap dosen untuk meneliti atau menulis karya-karya akademik
yang relevan dengan bidang keilmuannya. Kebijakan “wajib meneliti” ini, tentu
saja, harus dibarengi dengan pemberian “insentif” (ujrah) yang memadai:
membuat khusyu’, tekun, dan menikmati proses penelitiannya.
Keempat,
intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik mengenai keilmuan
dan keislaman ke dalam bahasa Indonesiaatau sebaliknya. Profesi ini cukup
menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemah relatif belum mendapat
apresiasi yang sewajarnya.Menarik dicatat bahwa salah satu faktor yang
mempercepat kemajuan peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan penerjemahan
besar-besaran, terutama pada masa Hârûn al-Rasyīd (786-809
M) dan al-Ma’mūn (786-833
M).Gerakan penerjemahan
itu disosialisasikan dengan ditunjang oleh adanya pusat riset dan pendidikan
seperti Bait al-Ḥikmah
(Wisma Kebijaksanaan).
Kelima,
intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar, termasuk melalui
Departemen Luar Negeri, agar “pos-pos” yang bernuansa atau berbasis bahasa Arab
dapat diisi oleh lulusan PBA, yang meminati karir di bidang diplomasi dan
politik. Jika program peminatan atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa
Arab dapat dikembangkan, makna peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi
alumni pendidikan bahasa Arab menjadi lebih terbuka dan kompetetif. Oleh karena
itu, pembenahan internal, terutama penjaminan mutu akademik dan peningkatan
kapasitas dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang mengabdikan diri pada
Pendidikan Bahasa Arab mutlak harus “didisiplinkan”, baik dari segi keilmuan
maupun kesejahteraan.
Keenam,
pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Kita selama ini
masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan teknologi,
sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum mendapat
sentuhan “modernitas” yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Karena
itu, tenaga yang menekuni bidang ini perlu dihasilkan atau dimiliki oleh
Pendidikan Bahasa Arab. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi
dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan
dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau
performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value)
dan daya tarik tersendiri.
Ketujuh, sudah saatnya
Pendidikan Bahasa Arab melahirkan karya-karya akademik (hasil-hasil penelitian,
teori-teori baru, buku, media, dan sebagainya) yang dapat memberikan pencerahan
masyarakat. “Lahan”
pemikiran pendidikan bahasa Arab sejauh ini belum “tergarap” dengan baik,
sehingga dalam hal ini kita masih “miskin” produktivitas keilmuan. Menurut Maḥmûd
Fahmī Ḥijāzī, studi bahasa Arab masih terus
memerlukan karya terutama di bidang pengembangan kosakata dan istilah-istilah
modern, ensiklopedi, bank istilah sains dan teknologi, dan sebagainya, sehingga
bahasa Arab tidak dianggap sebagai bahasa yang tidak mampu beradaptasi dengan
perkembangan ilmu dan teknologi.[22]
2. Pemikiran Baru dalam Pendidikan Bahasa Arab
Bentuk pengajaran bahasa Arab yang
memberikan pemahaman atas peran dan fungsi bahasa itu sendiri, yakni bahasa
sebagai media komunikasi, bahasa sebagai alat mengkaji sejarah, bahasa sebagai
sumber dan kunci lahirnya pengetahuan, peradaban dan seterusnya adalah pendidikan
bahasa Arab ramah realitas. Untuk merealisasiakan pembelajaran bahasa Arab yang
ramah realitas, setidaknya yang diperhatikan, yakni pendidik dan peserta didik,
sumber atau materi pembelajaran, metode pembelajaran, media, dan evaluasi
pembelajaran.
Setidaknya ada lima langkah yang perlu
dilakukan dalam merekonstruksi pendidikan bahasa Arab sekaligus sebagai upaya
mengembangkan kurikulum pendidikan bahasa Arab ramah realitas: 1) Mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi
yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi pada setiap jenjang pendidikan dan
unit pendidikan, 2) teori kurikulum tentang konten, haruslah berubah dari teori
yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori,
dan generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur,
proses, dan keterampilan yang harus dimiliki generasi muda, 3) teori belajar
ang dignakan dalam kurikulum pendidikan bahasa Arab haruslah memperhatikan
keragaman agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang didasarkan pada
teks-teks normatif dan historis, juga secara adil melihat dalam sisi gelap dan
sisi terang agama, 4) proses belajar yang dikembangkan haruslah berdasarkan
proses yang memiliki tingkat isomorphisme yang tinggi dengan kenyataan
sosial, 5) evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek
kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang
dikembankan.[23]
Penciptaan kondisi yang memaksa harus berbahasa
Arab adalah suatu rekayasa. Rekayasa
ini perlu dimaksimalkan sehingga keterpaksaan itu menjadi suatu kebiasaan yang
menarik. Rekayasa maksimal ini merupakan kendali pengembangan bahasa Arab. Agar
rekayasa tersebut tidak menjadi momok yang menakutkan dan terkesan memaksa,
maka harus diimbangi dengan upaya menjadikan bahasa Arab itu mudah, yakni
penyusunan strategi menjadikan bahasa Arab sangat mudah dipahami dan mudah pula
dipergunakan. Ini yang dimaksud dengan program pemasyarakatan
bahasa Arab dengan efektif dan efisien. Motif agama sudah tidak lagi dominan
sebagai alasan mempelajari bahasa Arab, yang justru menjadikan pasif dalam
berbahasa Arab. To the point saja: Belajar bahasa Arab alasannya adalah
karena memang mau memakainya secara aktif. Oleh karena itu bahasa Arab harus
dikondisikan menjadi bahasa yang dipakai dengan sendirinya secara otomatis,
biasa dan mudah, dengan pedoman bahwa "students learn to understand the
language by listening to a great deal of it and that they learn to speak is by
speaking it".[24]
Kesimpulan
Dari uraian penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa banyak persoalan dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang
perlu dihadapi, disikapi, dan dicarikan solusinya secara akademik dalam
batas-batas tertentu. Isu pencitraan buruk terhadap bahasa Arab, penggantian fuṣḥâ
dengan āmmiyah, rendahnya minat dan motivasi sebagian peserta
didik dalam belajar bahasa Arab seharusnya menyadarkan kita semua bahwa kita
masih harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal untuk kemajuan
pendidikan bahasa Arab di Indonesia.
Tantangan internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus kita jadikan
sebagai peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan menjanjikan
bagi peminat dan penggiat studi bahasa Arab di masa depan. Epistemologi
keilmuan dan kurikulum perlu dibenahi dan diorientasikan kepada pembentukan
kamahiran yang kompetitif di era global ini. Semua itu menuntut banyak pihak
untuk bersinergi dalam menyatukan visi, misi, arah kebijakan dan pengembangan yang
dilandasi oleh kajian akademik yang mendalam. Selama lembaga pendidikan Islam
masih eksis, prospek pendidikan bahasa Arab tetap akan cerah dan menjadi daya
tarik tersendiri.
Dalam membentuk tradisi keilmuan bahasa Arab yang dinamis, termasuk tradisi
melakukan penelitian, dan upaya serius dari pemerintah (Depag maupun Diknas)
untuk lebih peduli dan berkomitmen untuk memayungi kebijakan-kebijakan tentang
pendidikan bahasa Arab di Indonesia yang lebih menguatkan posisi bahasa Arab. Tantangan
internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus kita jadikan sebagai
peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan menjanjikan bagi
peminat studi bahasa Arab di masa depan.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam: Pengantar
Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
Al-Dakhīl, Hamd
ibn Nāshir, Maqālāt wa Ᾱra’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Riyādh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994.
Al-Anshārī, Farîd, “Ishlāh al-Ta’līm wa Azmah al-Lughah al-‘Arabiyyah
fi al-‘Ᾱlam al-Islāmī,” diakses dari Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus 2007.
Alim, Moh. Ghufron Zainal, Bahasa Arab sebagai
Alternatif Bahasa Komunika-si Antar Umat Islam, dalam Qimah, Surabaya:
Fakultas Adab, Edisi III/1990.
At-Thanthawi, Muhammad, Nasy'at an-Nahwi wa
Tarīkh Asyhari an Nuhat, Al- Maktabah al-Faishaliyah, 1997.
Bisri Mustofa dan Abdul Hamid, Metode dan Strategi
Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: UIN-Maliki Press, Cet.
IV. 2012.
Hijāzī, Mahmūd Fahmī, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi
al-‘Ashr al-Hadīts: Qadhāyā wa Musykilāt, Kairo: Dār Qubā’, Cet. I. 1998.
Manshūr ibn Shālih al-Yūsuf, “al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Tahaddiyat
al-‘Ashr”, diakses dari http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23
Oktober 2007.
Milal, A. Dzo'ul, Sistem Pengajaran Bahasa
Inggris di Pondok Modern Gontor dan di Basic English Course Pare, dalam Qualita
Ahsana, Surabaya: Lemlit IAIN Sunan Ampel, Vol. VI.
Mujib, Fathul, Rekonstruksi Penddikan Bahasa Arab: dari
Pendekatan Konvensional ke Integratif Humanis, Yogyakarta: Pedagogia, 2010.
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIPRESS, 1993.
Nugraha,
Chaeru, “Integrasi Metode Tradisional dan Modern dalam Penelitian Bahasa
Arab”, diakkses dari http://pustaka.unpad.ac.id/archives/84305/ 28 Desember 2013.
Poedjiadi, Anna, Sejarah dan Filsafat Sains, Bandung: IKIP Bandung, 1987.
Saqib,
Ghulam Nabi, Modernization of Education, Lahore: Islamic Book Service,
1983.
Suhono, Anton, “Pendidikan dan Epistemologi: Suatu Gagasan dan
Sorotan” dalam AMW Pranaka dan Anton Bakker, Epistemologi Kebudayaan dan
Pendidikan, Yogyakarta: Kelompok Studi Filsafat
Yogyakarta, 1979.
Syāhīn, ‘Abd al-Shabûr, “al-Tahaddiyât al-lati
Tuwâjihu al-Lughah al-‘Arabiyyah”, dalam al-Tuwaijirî (Ed.), al-Lughah
al-‘Arabiyyah… ila aina?, Rabath: Isesco, 2006.
_______Abd
al-Shabūr, “al-Tahaddiyāt
al-lati Tuwājihu al-Lughah al-‘Arabiyyah”, dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm.,
25 Juli 2007.
[1] Ghulam Nabi
Saqib, Modernization of Education, (Lahore: Islamic Book Service, 1983),
hlm. 12.
[2]Muhammad at-Thanthawi, Nasy'at an-Nahwi wa
Tarikh Asyhari an Nuhat (Al- Maktabah al-Faishaliyah, 1997), hlm. 9.
[3]Moh. Ghufron Zainal Alim, Bahasa Arab sebagai Alternatif
Bahasa Komunikasi Antar Umat Islam, dalam Qimah, (Surabaya: Fakultas
Adab, Edisi III/1990), hlm. 15.
[4]Anton Suhono, “Pendidikan dan Epistemologi: Suatu Gagasan dan Sorotan”
dalam AMW Pranaka dan Anton Bakker, Epistemologi Kebudayaan dan Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Studi Filsafat Yogyakarta, 1979), hlm. 132.
[5]M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 243.
[6]Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hlm. 3.
[8] Chaeru Nugraha, “Integrasi Metode Tradisional dan Modern dalam
Penelitian Bahasa Arab”, diakkses dari http://pustaka.unpad.ac.id/archives/84305/ 28
Desember 2013.
[9]Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta:
SIPRESS, 1993), hlm. 43.
[10]Ibid,..
[11]Fathul Mujib, Rekonstruksi Penddikan Bahasa Arab: dari Pendekatan
Konvensional ke Integratif Humanis, (Yogyakarta: Pedagogia, 2010), hlm.
84-85.
[12] Baca ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, “al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah
al-‘Arabiyyah”, dalam al-Tuwaijirî (Ed.), al-Lughah al-‘Arabiyyah… ila aina?,
(Rabath: Isesco, 2006).
[13] Bandingkan Abd al-Shabûr Syâhîn, “al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah
al-‘Arabiyyah”, dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.
[15] Farîd al-Anshârî, “Ishlâh al-Ta’lîm wa Azmah al-Lughah al-‘Arabiyyah fi
al-‘Âlam al-Islâmî,” diakses dari Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm,
20 Agustus 2007.
[16] Manshûr ibn
Shâlih al-Yûsuf, “al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Tahaddiyat al-‘Ashr”,
diakses dari http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober
2007.
[17] Hamd
ibn Nâshir al-Dakhîl, Maqâlât wa Âra’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah,
(Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994), Cet. IV, hlm. 83.
[18] Bisri Mustofa dan Abdul Hamid, Metode dan Strategi Pembelajaran Bahasa
Arab, (Malang: UIN-Maliki Press, 2012), hlm. 68-101.
[20] Mastuhu,
“Menggagas Epistemologi Islam dalam Upaya Menemukan Paradigma Pendidikan Islam
Alternatif”, dalam Ahmad Tafsier (ed). Epistemologi…,hlm. 45.
[22]Mahmûd Fahmî Hijâzî, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadîts:
Qadhâyâ wa Musykilât, (Kairo: Dâr Qubâ’, 1998), Cet. I, hlm. 79.
[24]A. Dzo'ul Milal, Sistem Pengajaran Bahasa
Inggris di Pondok Modern Gontor dan di Basic English Course Pare, dalam Qualita
Ahsana (Surabaya: Lemlit IAIN Sunan Ampel, Vol. VI No. 3 Desember2004), hlm
15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar