Rabu, 03 Desember 2014

Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Telaah Epistemologis)


Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab
(Telaah Epistemologis)
A.    Pendahuluan
Pada dasarnya pada era modern atau dalam masyarakat yang tengah memasuki proses modernisasi saat ini ternyata pendidikan mampu memberikan suatu link yang terbaik antara modernisasi yang dialami pada individu-individu dengan yang terjadi dalam lingkungan sosio-kulturalnya. Ditegaskan Saqib, masyarakat modern telah menyadari bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai satu instrumen penting yang sangat diperlukan dalam proses perubahan sistem sosial, ekonomi, dan politiknya. Karenanya, pendidikan memiliki prioritas utama dalam program modernisasi. Dengan mengecualikan pandangan yang pemisif, Saqib mengungkapkan, ternyata banyak sarjana yang meyakini bahwa “pendidikan merupakan kunci pembuka pintu modernisasi”.[1]
Kebutuhan kaum cendekiawan untuk mencari informasi dengan membanding-bandingkan berbagai faktor pendorong bagi perkembangan pemakaian bahasa Arab di Nusantara ini serta kendala-kendalanya maka kelihatan jelas bahwa faktor agama masih jauh lebih dominan dibanding dengan faktor-faktor lainnya, seperti ekonomi, sosioal budaya serta faktor akademik. Artinya, meskipun bahasa Arab sudah dinyatakan sebagai bahasa resmi sejak tahun 1973 oleh UNESCO sebagai bahasa Internasional, ternyata motif kuat untuk belajar bahasa Arab masih terfokus pada agama.
Bukti lainnya bahwa dorongan untuk belajar bahasa Arab bertumpu pada faktor agama adalah masuknya bahasa Arab di Nusantara berkaitan erat atau bersamanaan dengan masuknya Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa di belahan dunia mana saja hanya mengenal bahasa Arab karena datangnya Islam. Bahkan faktor agama ini yang diuji dengan kepentingan duniawi, yakni sosial, politik dan ekonomi sehingga terkenal bahwa bahasa Arab justru rusak karena masuknya orang 'Ajam ke dalam Islam, sejak zaman Nabi Muhammad saw., yang mana kerusakan itu dikenal dengan lahn.[2] Mereka yang ingin menjaga bahasa Arab umumnya adalah yang punya kepedulian tinggi terhadap agama Islam.
Memang tidak bisa diingkari bahwa kepedulian terhadap nuansa agama masih belum bisa mendorong untuk belajar bahasa Arab dan mempergunakannya dengan aktif. Terbukti digunakannya bahasa Arab di Nusantara ini dengan pasif sejak masuknya Islam, sehingga lagi-lagi bukan hanya bahasanya yang mengalami kecampuran dengan bahasa lain, tetapi tulisan Arab digunakan pula untuk menulis bahasa Latin atau Melayu dan Jawa. Kemudian dikenallah tulisan pegon dengan huruf Arab. Tulisan Arab justru yang terseret untuk memenuhi kebutuhan bahasa lokal, bukannya Islam yang menarik agar mempelajari bahasa Arab melalui tulisannya. Melalui jenis tulisan ini diharapkan muncul motif baru untuk mempelajari bahasa Arab. Suatu proses halus dalam membangun citra bahasa Arab. Barangkali karena begitu halusnya sehingga proses itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap upaya pengembangan pemakaian bahasa Arab.
Bahasa Arab berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sejarah dan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa melupakan peran bahasa Arab dalam mewarisi dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada saat-saat kritis. Selama berabad-abad yang lalu bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa ilmu. Sayang sekali dalam pertemuan forum-forum ilmiah antar pakar Islam di dunia Islam bahasa Arab masih belum berfungsi secara penuh. Bahasa Inggris dan Prancis masih dominan untuk menjembatani pertemuan fikiran sesama umat Islam.[3] Fenomena ini akan membangkitkan kesadaran bahwa umat Islam belum bisa memakai bahasanya sendiri, bahasa kitab sucinya.
Sayangnya, upaya pembaharuan pendidikan bahasa Arab yang dilakukan selama ini belum menjangkau pada sasaran yang lebih strategis, karena masih terbatas pada bagaimana menyusun suatu “kurikulum pendidikan bahasa Arab yang layak dan akomodatif untuk diterapkan”, dan kurang menjangkau pada sasaran yang lebih komprehensif dan mendasar bagi rancang bangun sistem pendidikan bahasa Arab yang handal, yakni melalui pembongkaran (dekonstruksi) dan kemudian dilanjutkan dengan merekonstruksi bangunan epistemologisnya.
B.     Epistemologi dalam Cabang Filsafat
Pembaharuan ataupun pengembangan pendidikan Islam dalam perspektif dekonstruksi dan rekonstruksi bangunan epistemologinya ini tidak bisa tidak akan membawa pada mengemukanya perbedaan dan keragaman pandangan dan alternasi, yang bisa jadi jika terkontrol akan menghasilkan “resiko-resiko” dan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang mungkin saja tidak kita harapkan. Ini dikarenakan epistemologi sebagai bagian dari filsafat ilmu yang memiliki wilayah bahasan mengenai hakikat ilmu pengetahuan, berupaya mengungkapkan refleksi manusia terhadap realitas dengan berfondasikan atas metafisika. Sedangkan pandangan manusia atas realitas tidak sama, maka konsepsi epistemologipun menjadi berlainan. Di barat sekalipun, dikenal berbagai konsep epistemologi menurut aliran filsafat yang mendasarinya.[4]
Epistemologi, menurut Amin Abdullah, mempunyai tiga persoalan pokok yang menjadi wilayah kajiannya, yakni (1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? (2) Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearence) versus hakekat (noumena/essence). (3) Apakah pengetahuan kita benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal mengkaji kebenaran atau verifikasi.[5] Ringkasnya, ada tiga masalah pokok yang berkaitan dengan epistemologi ini, yaitu: (1) Filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan, (2) metode, sebagai metode bertujuan mengantar manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan (3) sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.[6]
Sementara menurut Anna Poedjiadi, secara etimologis, istilah epistemologis berasal dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan. Menurutnya, senada dengan Amin Abdullah, cabang filsafat ini berfungsi untuk menjawab tiga problem pokok; 1) problem tentang “asal”. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya sumber pengetahuan yang benar, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya? 2) problem tentang penampilan (appearence) dan realita. Apakah hakekat pengetahuan itu? Apakah ada dunia riil di luar akal kita? Bagaimana kita dapat mengetahuinya? dan 3) problem verifikasi. Apakah validitas pengatahuan? Bagaimana dapat kita bedakan benar dan salah?[7]
Pada tataran epistemologi dalam pengembangan pendidikan bahasa Arab terbagi menjadi dua, yaitu metode tradisional dan modern. Metode tradisional memahami pengembangan ilmu bahasa dengan metode aqliyah (pengkajian ilmiah-rasional) dan naqliyyah (kontemplasi transformatif). Sedangkan metode modern dalam pengambangan ilmu bahasa dengan metode ilmiah berdasarkan paham rasionalisme (Rene Descartes), intuisme (Bergson), empirisme (Thomas Hobes), dan fenomenolisme (Immanuel Kant. Metode ilmiah yang dimaksud adalah penelitian bahasa Arab dengan pengkajian rasional (deduktif) dan pengkajian empiris (induktif).[8]
Filsafat sangat diperlukan dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu, karena ia bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu, melainkan lebih dari itu, ia bersangkut paut dengan seluruh ilmu pengetahuan dan ia adalah sumber informasi yang lengkap mengenai tumbuh dan berkembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun juga bersumber dari filsafat. Lebih tegas dikatakan Prof. Dr. A. De Troe, tidak mungkin manusia melakukan suatu tindakan tanpa bantuan filsafat, karena ia merupakan hati nurani segenap kegiatan ilmiah sebagai suatu kegiatan yang dilakukan manusia secara sistematis dan metodologis.[9] Antara filsafat dengan ilmu merupakan satu kesatuan bangunan ilmu dimana yang pertama sebagai basis yang kedua. Karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah induk ilmu, sebab di atas basis filsafat itu dapat dibangun berbagai bangunan ilmu yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ilmu-ilmu tersebut merupakan akibat spesifikasi obyek bahasan masing-masing sebagai jabaran dari obyek filsafat.[10]
C.    Realitas dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian) hingga perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut:[11]
1)      Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrū’). Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
2)      Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimā’, kalām, qirā’ah, dan kitābah). Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
3)      Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (muādatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dan sebagainya.
4)      Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dsb.  Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai UIN, IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta. Hanya saja, disiplin keilmuan ini masih tergolong “miskin” sumber daya manusia dan sumber-sumber studi (referensi). Sementara ini, yang penulis ketahui dengan melakukan pengamatan secara langsung tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat adalah PBA FITK Yogyakarta yang agak memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Yogyakarta yang masih miskin SDM, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan kualitas SDM dan memperkaya referensi sebagai basis pembelajaran, penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu bahasa Arab. Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab, media dan sebagainya), PBA UIN Yogyakarta kurang memberikan native speaker dan koran-koran berbahasa Arab.
Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan hasil “ijtihad institusional” masing-masing, bukan merupakan “ijtihad struktural”. Sejauh ini belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai pentingnya kerjasama atau networking antar PBA untuk merumuskan epistemologi, arah kebijakan, dan kurikulum PBA secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA FITK menjadi semacam “lokomotif atau kiblat” bagi PBA-PBA lainnya, antara lain karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi banding bagi PBA-PBA lainnya, namun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab, sains, teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA kurang memiliki kemandirian dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga daya saing mereka rendah dibandingkan dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu dibenahi dengan memberikan aneka “keterampilan plus”, seperti: keterampilan berbahasa Arab dan Inggris aktif (berbicara dan menulis), keterampilan mengoperasikan berbagai aplikasi komputer, keterampilan meneliti, keterampilan manajerial, dan keterampilan sosial.
D.    Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab: Problem Epistemologi
Menurut ‘Abd al-Shabūr Syāhīn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa Arab fuṣa di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa Arab ‘āmmiyah atau dialek lokal (al-lahajāt al-maalliyah).[12]
Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan baru, yaitu, pertama, munculnya fenomena al-fush’amiyyah, campuran ragam fuṣa dan ‘āmmiyah. Gejala ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena terjadi degramatisasi atau pengeleminasian  beberapa gramatika (qawā’id). Kaedah-kaedah bahasa yang baku kurang diperhatikan, sementara pembelajaran qawā’id pada umumnya tidak efektif. Kultur fuṣ’amiyyah lebih dominan dari padi kultur akademik yang memegang teguh kaedah-kaedah berbahasa Arab.[13]
Kedua, masih menurut Syāhīn, realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan pada tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat, termasuk penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang tidak sampai menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi penggunaan minat belajar bahasa Arab di kalangan generasi muda.
Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas nama globalisasi untuk menyebarkan dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel dengan kemajuan teknologi.[14]
Farîd al-Anshârî menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme (al-isti’mār al-‘awlamī al-jadīd) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam dewasa ini memang dimaksudkan untuk “membunuh karakter dan identitas budaya”, terutama Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik menyangkut kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Negara Adidaya ini seringkali mencampuri  urusan dalam negara-negara Islam, baik melalui “intervensi langsung” maupun melalui operasi agen-agen rahasianya yang terkenal lihai dan licin. Salah satu agenda yang “diselundupkan” ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan identitas bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber-sumber ajaran Islam dari sistem pendidikan di dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan.[15]
Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser, meskipun belum sampai digantikan oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran sains. Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepakbola, yang disiarkan dari Barat (liga Inggris, Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda) sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula, mata acara atau program tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan materialistik.[16] Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi menurun.
Selain itu, studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga mengalami disori- entasi: tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini, antara lain, terlihat pada struktur program kurikulum PBA yang bermuatan beberapa mata kuliah yang tampaknya tidak semuanya revelan dengan visi dan misi PBA. Antara satu mata kuliah dengan lainnya terkesan kurang saling melengkapi dan memperkuat basis dan kerangka keilmuan. Sebagai contoh kasus, ketika membelajarkan insyā’, penulis masih banyak disibukkan dengan urusan pembenahan dan pembekalan kaedah-kaedah nahwu dan sharaf, di samping penguatan pola berpikir logis. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran nahwu dan sharaf belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang seharusnya dipecahkan dalam perkuliahan itu. Pada saat yang sama, fakta ini juga menunjukkan bahwa para mahasiswa belum banyak menerima latihan (tadrībāt nawiyyah atau ṣarfiyyah) yang jika dikembangkan semestinya membuat mereka terlatih menyusun kalimat baku secara baik dan benar.
Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih mendua dan setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi keilmuan. Keduanya memang perlu dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya perlu dijadikan sebagai fokus: apakah bahasa Arab diposisikan sebagai studi keterampilan yang berorientasi kepada pemahiran mahasiswa dalam empat keterampilan bahasa secara mumpuni. Ataukah bahasa Arab diposisikan sebagai disiplin ilmu yang berorientasi kepada penguasaan tidak hanya kerangka epistemologinya, melainkan juga substansi dan metodologinya.
Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di madrasah dan lembaga pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu. Ketidakmenentuan ini dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) dan tujuan sebagai alat untuk menguasai pengetahuan yang lain yang menggunakan bahasa Arab. Kedua, dari segi jenis bahasa Arab yang dipelajari, apakah bahasa Arab klasik, bahasa Arab modern/kontemporer, atau bahasa Arab pasaran. Ketiga, dari segi metode, tampaknya ada keagamangan antara mengikuti perkembangan dan mempertahankan metode lama.
Sumber-sumber dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan kita juga masih relatif kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan pendidikan bahasa Arab; dan juga disebabkan oleh kurangnya hubungan lintas-universitas atau lembaga pendidikan dalam bentuk kerjasama ilmiah kita dengan perguruan tinggi di Timur Tengah, sehingga kita tidak banyak mendapat pasokan sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian kebahasaaraban. Selain itu, penting juga ditegaskan, bahwa perhatian negara-negara Arab dalam bentuk penyediaan sumber belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, relatif masih kurang.[17]
E.     Strategi dan Pendekatan
Strategi pembelajaran bahasa Arab adalah suatu cara yang dipilih dan digunakan oleh seorang pengajar dalam menyampaikan materi bahasa Arab untuk memudahkan siswa dalam menerima dan memahami materi bahasa Arab tersebut, karena bahasa Arab memiliki prinsip-prinsip dan karakteristik yang cukup khas. Strategi pembelajaran bahasa Arab yang meliputi pembelajaran unsur bahasa Arab (aṣwat, mufradat, tarakib) dan strategi pembelajaran keterampilan bahasa ( istimā’, kalam, qirā’ah,dan kitābah).[18]
1.      Strategi pembelajaran mufradat (kosakata), siswa bisa menerjemahkan bentuk-bentuk mufradāt juga mampu menggunakannya dalam jumlah (kalimat) dengan benar.
2.      Strategi pembelajarn naḥwu (tata bahasa), pengguna bahasa mampu menyampaikan ungkapan bahasa dan mampu memahaminya dengan baik dan benar dalam bentuk tulisan (membaca dan menulis dengan benar) maupun dalam bentuk ucapan (bicara dengan benar).
3.      Strategi pembelajaran istimā (Mendengar) adalah sarana petama yang digunakan manusia untuk berhubungan dengan sesama dalam tahapan-tahapan kehidupannya.
4.      Strategi pembelajaran kalām (berbicara), kemampuan untuk menyususn kata-kata yang baik dan jelas untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
5.      Strategi pembelajaran qirā’ah (membaca), merupakan kegiatan yang meliputi semua bentuk-bentuk berpikir, memberi penilaian, memberi keputusan, menganalisis dan mencari pemecahan masalah.
6.      Strategi pembelajaran kitābah (menulis) yang berpusat pada tiga hal, yaitu kemampuan menulis dengan tulisan yang benar, memperbaiki khat, dan kemampuan mengungkapkan pikiran secara jelas dan detail.
Terdapat beberapa pendekatan pembelajarn bahasa Arab, diantaranya adalah:[19]
1.      Pendekatan humanistik (al-madkhal al-insāni), pendekatan yang memberikan perhatian kepada pembelajar sebagai manusia, tidak menganggapnya sebagai benda yang merekam seperangkat pengetahuan.
2.      Pendekatan teknik (al-madkhal al-taqanni), pendekatan yang berdasar pada pemanfaatan media pembelajaran dan teknik-teknik pendidikan.
3.      Pendekatan analisis dan non analisis (al-madkhal al-tahlīli wa ghoiru al-tahlīli), pendekatan analisis didasarkan pada seperangkat ungkapan0ungkapan dan asumsi-asumsi kkebahasaan dan sosiolinguistics. Sedang pendekatan non analisis didasarkan pada konsep psycholinguistics dan konsep pendidikan bukan pada konsep kebahasaan.
4.      Pendekatan komunikatif (al-madkhal al-ittishāli), pengajaran yang dilandasi oleh teori komunikatif atau fungsi bahasa.
F.     Rekonstruksi Epistemologi Pendidikan Bahasa Arab
Gagasan pengembangan perspektif epistemologis ini dipertimbangkan oleh Mastuhu akan membawa kita ke keadaan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, a) mengapa kita perlu mencari paradigma model pendidikan baru? Hal ini berarti mewajibkan kita untuk mengadakan identifikasi problematika pendidikan saat ini dalam semua perspektifnya, b) bagaimana, pandangan kita mengenai “pendidikan”. Apakah ia merupakan suatu bidang studi yang selalu dalam proses menyempurnakan dirinya; jadi merupakan kesinambungan dari berbagai teori atau konsep pendidikan yang terus semakin disempurnakan sesuai dengan perubahan dan tantangan yang dihadapinya dan mengentisipasinya, ataukah ia merupakan suatu bidang studi alternatif yang sepenuhnya dapat menggantikan teori lama yang kita anggap sudah tidak relevan lagi dengan tantangan zamannya. Dalam hal ini, demikian ungkap Mastuhu, teori atau konsep model pendidikan alternatif yang baru tidak memiliki keterkaitan dengan konsep lama, dan c) model pendidikan, yang bagaimana yang kita perlukan kini mendatang?[20]
Secara akademis, rekonstruksi pendidikan bahasa Arab saat ini sangat diperlukan. Ini dilatarbelakangi bahwa aktifitas pendidikan bahasa Arab sampai saat ini adalah proses pendidikan yang berhenti di tempat, tidak ada langkah, pemikiran, serta alternatif, atau gagasan segar dalam menciptakan pendidikan bahasa Arab untuk dijadikan bahasa reformasi kultural dan struktural. Hal ini menjadikan bahasa Arab selalu terbelakang serta terlepas dari konteks sebenarnya.[21]
1.      Prospek Pendidikan Bahasa Arab
Setiap tantangan pasti memberikan peluang dan prospek jika kita berusaha untuk menghadapi tantangan itu dengan berpikir positif (al-tafkīr al-ījā) dan bersikap penuh kesungguhan dan kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi pendidikan bahasa Arab. Menurut penulis, ada beberapa prospek studi bahasa Arab di masa depan yang dapat diraih, jika para penggiat dan peminat studi bahasa Arab secara bersama-sama mau dan mampu menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang.
Pertama, peluang untuk pengembangan bahasa Arab semakin terbuka, karena seseorang yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki  modal dasar untuk mendalami dan mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan studi ilmu-ilmu keislaman seperti: fiqh, tafsir, hadits, sejarah Islam, filsafat Islam, dan sebagainya, dengan merevitalisasi penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumber-sumber aslinya. Dengan kata lain, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai alat dan modal hidup untuk mencari dan memperoleh yang lain di luar bahasa Arab, baik itu ilmu maupun keterampilan berkomunikasi lisan.
Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga pengajar bahasa Arab yang profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan akademik dan profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan yang sederajat adalah lulusan Pendidikan Bahasa Arab, bukan lulusan BSA (Bahasa dan Sastra Arab) atau lainnya, meskipun belakangan ini ada kecenderungan lulusan BSA mengambil Program Akta Mengajar (Akta IV) untuk memperoleh kompetensi dan kewenangan menjadi guru.
Ketiga, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju.Melalui penggiatan penelitian, tentu saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih tercerahkan. Oleh karena yang selama ini menjadi hambatan setidak-tidaknya kurang mengundang minat menelitiadalah rendahnya dana penelitian, maka dipandang penting pimpinan UIN “mewajibkan” setiap dosen untuk meneliti atau menulis karya-karya akademik yang relevan dengan bidang keilmuannya. Kebijakan “wajib meneliti” ini, tentu saja, harus dibarengi dengan pemberian “insentif” (ujrah) yang memadai: membuat khusyu’, tekun, dan menikmati proses penelitiannya.
Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik mengenai keilmuan dan keislaman ke dalam bahasa Indonesiaatau sebaliknya. Profesi ini cukup menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemah relatif belum mendapat apresiasi yang sewajarnya.Menarik dicatat bahwa salah satu faktor yang mempercepat kemajuan peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan penerjemahan besar-besaran, terutama pada masa Hârûn al-Rasyīd (786-809 M) dan al-Ma’mūn (786-833 M).Gerakan penerjemahan itu disosialisasikan dengan ditunjang oleh adanya pusat riset dan pendidikan seperti Bait al-ikmah (Wisma Kebijaksanaan).
Kelima, intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar, termasuk melalui Departemen Luar Negeri, agar “pos-pos” yang bernuansa atau berbasis bahasa Arab dapat diisi oleh lulusan PBA, yang meminati karir di bidang diplomasi dan politik. Jika program peminatan atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa Arab dapat dikembangkan, makna peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi alumni pendidikan bahasa Arab menjadi lebih terbuka dan kompetetif. Oleh karena itu, pembenahan internal, terutama penjaminan mutu akademik dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang mengabdikan diri pada Pendidikan Bahasa Arab mutlak harus “didisiplinkan”, baik dari segi keilmuan maupun kesejahteraan.
Keenam, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Kita selama ini masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan teknologi, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum mendapat sentuhan “modernitas” yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Karena itu, tenaga yang menekuni bidang ini perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik tersendiri.
Ketujuh, sudah saatnya Pendidikan Bahasa Arab melahirkan karya-karya akademik (hasil-hasil penelitian, teori-teori baru, buku, media, dan sebagainya) yang dapat memberikan pencerahan masyarakat. “Lahan” pemikiran pendidikan bahasa Arab sejauh ini belum “tergarap” dengan baik, sehingga dalam hal ini kita masih “miskin” produktivitas keilmuan. Menurut Maḥmûd Fahmī Ḥijāzī, studi bahasa Arab masih terus memerlukan karya terutama di bidang pengembangan kosakata dan istilah-istilah modern, ensiklopedi, bank istilah sains dan teknologi, dan sebagainya, sehingga bahasa Arab tidak dianggap sebagai bahasa yang tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu dan teknologi.[22]
2.      Pemikiran Baru dalam Pendidikan Bahasa Arab
Bentuk pengajaran bahasa Arab yang memberikan pemahaman atas peran dan fungsi bahasa itu sendiri, yakni bahasa sebagai media komunikasi, bahasa sebagai alat mengkaji sejarah, bahasa sebagai sumber dan kunci lahirnya pengetahuan, peradaban dan seterusnya adalah pendidikan bahasa Arab ramah realitas. Untuk merealisasiakan pembelajaran bahasa Arab yang ramah realitas, setidaknya yang diperhatikan, yakni pendidik dan peserta didik, sumber atau materi pembelajaran, metode pembelajaran, media, dan evaluasi pembelajaran.
Setidaknya ada lima langkah yang perlu dilakukan dalam merekonstruksi pendidikan bahasa Arab sekaligus sebagai upaya mengembangkan kurikulum pendidikan bahasa Arab ramah realitas: 1) Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi pada setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan, 2) teori kurikulum tentang konten, haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, dan generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan yang harus dimiliki generasi muda, 3) teori belajar ang dignakan dalam kurikulum pendidikan bahasa Arab haruslah memperhatikan keragaman agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang didasarkan pada teks-teks normatif dan historis, juga secara adil melihat dalam sisi gelap dan sisi terang agama, 4) proses belajar yang dikembangkan haruslah berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphisme yang tinggi dengan kenyataan sosial, 5) evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembankan.[23]
Penciptaan kondisi yang memaksa harus berbahasa Arab adalah suatu rekayasa. Rekayasa ini perlu dimaksimalkan sehingga keterpaksaan itu menjadi suatu kebiasaan yang menarik. Rekayasa maksimal ini merupakan kendali pengembangan bahasa Arab. Agar rekayasa tersebut tidak menjadi momok yang menakutkan dan terkesan memaksa, maka harus diimbangi dengan upaya menjadikan bahasa Arab itu mudah, yakni penyusunan strategi menjadikan bahasa Arab sangat mudah dipahami dan mudah pula dipergunakan. Ini yang dimaksud dengan program pemasyarakatan bahasa Arab dengan efektif dan efisien. Motif agama sudah tidak lagi dominan sebagai alasan mempelajari bahasa Arab, yang justru menjadikan pasif dalam berbahasa Arab. To the point saja: Belajar bahasa Arab alasannya adalah karena memang mau memakainya secara aktif. Oleh karena itu bahasa Arab harus dikondisikan menjadi bahasa yang dipakai dengan sendirinya secara otomatis, biasa dan mudah, dengan pedoman bahwa "students learn to understand the language by listening to a great deal of it and that they learn to speak is by speaking it".[24]











Kesimpulan

Dari  uraian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak persoalan dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi, disikapi, dan dicarikan solusinya secara akademik dalam batas-batas tertentu. Isu pencitraan buruk terhadap bahasa Arab, penggantian fuṣḥâ dengan āmmiyah, rendahnya minat dan motivasi sebagian peserta didik dalam belajar bahasa Arab seharusnya menyadarkan kita semua bahwa kita masih harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal untuk kemajuan pendidikan bahasa Arab di Indonesia.
            Tantangan internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus kita jadikan sebagai peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan menjanjikan bagi peminat dan penggiat studi bahasa Arab di masa depan. Epistemologi keilmuan dan kurikulum perlu dibenahi dan diorientasikan kepada pembentukan kamahiran yang kompetitif di era global ini. Semua itu menuntut banyak pihak untuk bersinergi dalam menyatukan visi, misi, arah kebijakan dan pengembangan yang dilandasi oleh kajian akademik yang mendalam. Selama lembaga pendidikan Islam masih eksis, prospek pendidikan bahasa Arab tetap akan cerah dan menjadi daya tarik tersendiri.
            Dalam membentuk tradisi keilmuan bahasa Arab yang dinamis, termasuk tradisi melakukan penelitian, dan upaya serius dari pemerintah (Depag maupun Diknas) untuk lebih peduli dan berkomitmen untuk memayungi kebijakan-kebijakan tentang pendidikan bahasa Arab di Indonesia yang lebih menguatkan posisi bahasa Arab. Tantangan internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus kita jadikan sebagai peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan menjanjikan bagi peminat studi bahasa Arab di masa depan.










Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.

Al-Dakhīl, Hamd ibn Nāshir, Maqālāt wa Ᾱra’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Riyādh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994.

Al-Anshā, Farîd, “Ishlāh al-Ta’līm wa Azmah al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ᾱlam al-Islāmī,” diakses dari  Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus 2007.

Alim, Moh. Ghufron Zainal, Bahasa Arab sebagai Alternatif Bahasa Komunika-si Antar Umat Islam, dalam Qimah, Surabaya: Fakultas Adab, Edisi III/1990.

At-Thanthawi, Muhammad, Nasy'at an-Nahwi wa Tarīkh Asyhari an Nuhat, Al- Maktabah al-Faishaliyah, 1997.

Bisri Mustofa dan Abdul Hamid, Metode dan Strategi Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: UIN-Maliki Press, Cet. IV. 2012.

Hijā, Mahmūd Fahmī, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadīts: Qadhāyā wa Musykilāt, Kairo: Dār Qubā’, Cet. I. 1998.

Manshūr ibn Shālih al-Yūsuf, “al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Tahaddiyat al-‘Ashr”,  diakses dari http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober 2007.

Milal, A. Dzo'ul, Sistem Pengajaran Bahasa Inggris di Pondok Modern Gontor dan di Basic English Course Pare, dalam Qualita Ahsana, Surabaya: Lemlit IAIN Sunan Ampel, Vol. VI.

Mujib, Fathul, Rekonstruksi Penddikan Bahasa Arab: dari Pendekatan Konvensional ke Integratif Humanis, Yogyakarta: Pedagogia, 2010.

Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIPRESS, 1993.

Nugraha, Chaeru, “Integrasi Metode Tradisional dan Modern dalam Penelitian Bahasa Arab”, diakkses dari  http://pustaka.unpad.ac.id/archives/84305/ 28 Desember 2013.

Poedjiadi, Anna, Sejarah dan Filsafat Sains, Bandung: IKIP Bandung, 1987.

Saqib, Ghulam Nabi, Modernization of Education, Lahore: Islamic Book Service, 1983.
Suhono, Anton, “Pendidikan dan Epistemologi: Suatu Gagasan dan Sorotan” dalam AMW Pranaka dan Anton Bakker, Epistemologi Kebudayaan dan Pendidikan, Yogyakarta: Kelompok Studi Filsafat Yogyakarta, 1979.

Syāhīn, ‘Abd al-Shabûr, “al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah al-‘Arabiyyah”, dalam al-Tuwaijirî (Ed.), al-Lughah al-‘Arabiyyah… ila aina?, Rabath: Isesco, 2006.

_______Abd al-Shabūr, “al-Tahaddiyāt al-lati Tuwājihu al-Lughah al-‘Arabiyyah”, dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.



[1] Ghulam Nabi Saqib, Modernization of Education, (Lahore: Islamic Book Service, 1983), hlm. 12.
[2]Muhammad at-Thanthawi, Nasy'at an-Nahwi wa Tarikh Asyhari an Nuhat (Al- Maktabah al-Faishaliyah, 1997), hlm. 9.
[3]Moh. Ghufron Zainal Alim, Bahasa Arab sebagai Alternatif Bahasa Komunikasi Antar Umat Islam, dalam Qimah, (Surabaya: Fakultas Adab, Edisi III/1990), hlm. 15.
[4]Anton Suhono, “Pendidikan dan Epistemologi: Suatu Gagasan dan Sorotan” dalam AMW Pranaka dan Anton Bakker, Epistemologi Kebudayaan dan Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Studi Filsafat Yogyakarta, 1979), hlm. 132.
[5]M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 243.
[6]Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hlm. 3.
[7]Anna Poedjiadi, Sejarah dan Filsafat Sain,s (Bandung: IKIP Bandung, 1987), hlm. 5.
[8] Chaeru Nugraha, “Integrasi Metode Tradisional dan Modern dalam Penelitian Bahasa Arab”, diakkses dari  http://pustaka.unpad.ac.id/archives/84305/ 28 Desember 2013.
[9]Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), hlm. 43.
[10]Ibid,..
[11]Fathul Mujib, Rekonstruksi Penddikan Bahasa Arab: dari Pendekatan Konvensional ke Integratif Humanis, (Yogyakarta: Pedagogia, 2010), hlm. 84-85.
[12] Baca ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, “al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah al-‘Arabiyyah”, dalam al-Tuwaijirî (Ed.), al-Lughah al-‘Arabiyyah… ila aina?, (Rabath: Isesco, 2006).
[13] Bandingkan Abd al-Shabûr Syâhîn, “al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah al-‘Arabiyyah”, dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.
[14] Syâhîn, “al-Tahaddiyât…” dalam http://www.isesco.org.ma 25 Juli 2007.
[15] Farîd al-Anshârî, “Ishlâh al-Ta’lîm wa Azmah al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Âlam al-Islâmî,” diakses dari  Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus 2007.
[16] Manshûr ibn Shâlih al-Yûsuf, “al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Tahaddiyat al-‘Ashr”,  diakses dari http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober 2007.
[17] Hamd ibn Nâshir al-Dakhîl, Maqâlât wa Âra’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994), Cet. IV, hlm. 83.
[18] Bisri Mustofa dan Abdul Hamid, Metode dan Strategi Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: UIN-Maliki Press, 2012), hlm. 68-101.
[19] Ibid.., hlm. 11-15.
[20] Mastuhu, “Menggagas Epistemologi Islam dalam Upaya Menemukan Paradigma Pendidikan Islam Alternatif”, dalam Ahmad Tafsier (ed). Epistemologi…,hlm. 45.
[21]Fathul Mujib, Rekonstruksi…, hlm. 73-74.
[22]Mahmûd Fahmî Hijâzî, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadîts: Qadhâyâ wa Musykilât, (Kairo: Dâr Qubâ’, 1998), Cet. I, hlm. 79.
[23]Fathul Mujib, Rekonstruksi …, hlm. 93-94.
[24]A. Dzo'ul Milal, Sistem Pengajaran Bahasa Inggris di Pondok Modern Gontor dan di Basic English Course Pare, dalam Qualita Ahsana (Surabaya: Lemlit IAIN Sunan Ampel, Vol. VI No. 3 Desember2004), hlm 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar