Rabu, 03 Desember 2014

Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid



A.    Pendahuluan
Dalam konteks Islam, hermeneutika sebagai sekumpulan metode, teori dan kefilsafatan yang terfokus pada problem pemahaman teks, sebenarnya telah muncul pada masa-masa awal ketika teks al-Qur’an dirasakan sulit dipahami dan problematik, yang dengan demikian harus dijelaskan, diterjemah, dan diinterpretasikan agar dapat dipahami. Problem hermeneutika menjadi semakin rumit setelah Nabi Muhammad SAW wafat karena tidak ada lagi otoritas tunggal untuk menjelaskan al-Qur’an, dan kaum muslimin telah berkenalan dengan berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban lain.
Dalam perjalanan sejarah, para ilmuan muslim menerapkan hermeneutika dalam pengertian yang sejalan dengan perkembangan disiplin ini pada masa mereka masing-masing untuk memahami sebuah teks suci yang mereka imani, al-Qur’an. Dalam perjalanan sejarah pula, perkembangan hermeneutika al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu-ilmu Islam (utamanya teori hukum Islam (Uṣūl Al-fiqh), filsafat dan sufisme) dan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Oleh karena itu, hermeneutika al-Qur’an tidak hanya termasuk dalam apa yang disebut secara tradisional sebagai ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Ia telah menjelma menjadi bidang multi dan interdisipliner. Hakikat interdisipliner dari disiplin ini nampak sangat jelas dalam hermeneutika al-Qur’an kontemporer, di mana penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas tidak bisa diabaikan. Teori hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu contoh yang trend di masa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan menguraikan sedikit penjelasan tentang biografi Nasr Hamid Abu Zaid, teori, gagasan dan aplikasi penafsirannya.
B.     Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang dilontarkannya  di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni.[1] Nasr Hamid di lahirkan di desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga yang religious. Bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwān Al-Muslimīn dan pernah dipenjara menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak Mesir, dia mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal al-Qur’an di kuttāb ketika dia berusia empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal keseluruhan al-Qur’an pada usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil “Syaikh Nashr” oleh anak-anak di desanya.[2]
Ketika Al-Ikhwān Al-Muslimīn menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki cabang hampir di setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada 1954, pada usia sebelas tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum diperkenankan mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk memasukkannya dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan diperkenankan untuk menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar anggota itulah maka Abu Zaid pun pernah dijebloskan dipenjara selama satu hari dan dilepaskan karena dia masih dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran Syayyid Quthb dalam bukunya Al-Islām wa Al-‘Adālah Al-Ijtimā’iyyyah (Islam dan Keadilan Sosial), khususnya penekanannya pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan Islam. Pada masa remajanya, dia biasa mengumandangkan adzan di masjid dan tak jarang sebagai imam shalat,[3] hal yang biasanya di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.[4]
Abu Zaid menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thantha pada 1960, dia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan awalnya ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab, jurnal pemimpin Amīn Al-Khūlī. Dua artikel pentingnya saat itu adalah “Hawl Adab Al-‘Ummal wa Al-Fallahin” (tentang Sastra Buruh dan Petani)[5] dan “Azmah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir).[6] Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi ketika keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai mengkritik  Al-Ikhwān Al-Muslimīn, kendatipun dia tidak mengekspresikan kritiknya itu dalam tulisan-tulisan awalnya.[7]
Pada 1968, Abu Zaid mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja. Dia menyelesaikan studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat sebagai asisten dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para asisten dosen baru untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktor, dia merubah bidangnya dari murni linguistic dan kritik sastra menjadi studi Islam, khususnya studi al-Qur’an. Abu Zaid sebenarnya enggan untuk mengambil subjek ini, mengingat pengalaman Muhammad Ahmad Khalafallah yang mengalami problem serius karena dia menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi al-Qur’an dalam disertasinya. Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia melakukan studi tentang al-Qur’an dan problem interpretasi dan hermeneutika.[8]
Pada 1975, Abu Zaid mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan studi selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar MA dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo dengan tesis yang berjudul Al-Ittijāh Al-Aqlī fi Al-Tafsīr: Dirāsah fi Qadhiyyat Al-Majāz fi Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut Mu’tazillah), dan dipublikasikan pada 1982. Setelah itu, dia diangkat menjadi dosen.[9]
Selama periode 1976-1978, Abu Zaid mengajar bahasa Arab untuk orang-orang Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah artikel “Al-Hirminiyūṭīqā wa mu’dhilat Tafsīr Al-Naṣṣ” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks), yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab.[10]
Pada 1981, Abu Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul Falsafah Al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl Al-Qur’an ‘inda Muhy Al Dīn ibnu ‘Arabī (Filsafat Takwil: Studi Hermeneutika Al-Qur’an Muhy Al-Din ibnu ‘Arabi) yang dipublikasikan pada 1983. Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di mana dia mendapatkan penghargaan ‘Abd Al-‘Azīz Al-Ahwānī untuk Humanitas karena konsernya pada humanitas dan budaya Arab.
Selama 1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat produktif baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zaid menyelesaikan bukunya Mafhūm Al-Naṣṣ: Dirāsah fī Al-Ulūm Al-Qur’ān (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu-ilmu Al-Qur’an) dan menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd Al-Khithāb Al-Dīnī (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat dalam buku terakhir ini dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.[11]
Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk dipromosikan mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Diantaranya sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitāb al-Dīnī yang diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di dunia Islam. Namun di tahun ini dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu, dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di masjid ‘Amr bin ‘Aṣ menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di-amin-kan oleh para khatib lainnya di masjid-masjid pada hari jum’at berikutnya, Mesir pun heboh. Dan apada akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti’nāf Kairo” menyatakan Abu Zayd murtad.[12]
Setelah diusir dari Mesir dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis Ulama al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya keputusan dari Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga telah menyatakan ia murtad, maka kemudian pindah ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama dengan istrinya. Sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 19995 sampai sekarang (data pada tahun 2008).[13]
Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhūm al-Na: Dirāsah fī `Ulūm al-Qur’ān (Konsep Teks: Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykāliyyāt al-Qirā’ah wa Aliyāt al-Ta’wīl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl al-Qur’ān `inda Ibn `Arabī (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imām al-Syāfi’i wa Ta`sīs al-Aidiulujiyyah al-Wasaiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittijā al-`Aqli fi at-Tafsī(Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithāb al-Dīnī (Kritik Wacana Agama), dan lain-lain. Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on Islam.
C.    Teori dan Gagasan Nasr Hamid Abu Zaid
1.      Konsep Wahyu dan Teks Al-Qur’an
Abu Zaid selalu memulai diskusi tentang tekstualitas al-Qur’an dengan mengkaji perdebatan klasik antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalām Allāh). Isu ini berkaitan dengan diskusi tentang asal-usul basasa dan ‘ke-tak-terciptaan’ al-Qur’an. Abu Zaid menyebutkan dua teori tentang asal-usul bahasa itu. Teori pertama, yang didukung oleh Asy’ariyah, mengatakan bahwa bahasa adalah pemberian Tuhan kepada manusia, dan bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ditentukan oleh Tuhan. Hubungan ini bersifat ilahiyah. Dari poin ini, disimpulkan bahwa kata-kata Allah tidaklah tercipta, namun merupakan salah satu sifat-Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kata-kata Allah adalah abadi sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam Tablet Terjaga (Al-Lawh Al-Mahfūzh).[14]
Yang kedua adalah teori Mu’tazilah yang beragumen bahwa bahasa adalah konvensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang hubungan antara suara suatu kata dengan maknanya. Bahasa tidaklah merajuk secara langsung kepada realitas aktual; namun, realitas dipahami. Dikonseptualisasi, dan disimbolisasi melalui suatu sistem suara. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan dan, dengan demikian, tidak abadi. Al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang dikandungnya haruslah dipahami dalam sinaran konteks itu.[15]
Menurut Abu Zaid, pendapat Mu’tazilah tentang hakikat al-Qur’an ini lebih sesuai dengan pengertian modern tentang teks yang menganggap semua teks, termasuk teks al-Qur’an, sebagai sebuah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Alih-alih mengadopsi teori Asy’ariyah, Abu Zaid lebih mendukung teori Mu’tazilah. Menurutnya, teori Mu’tazilah tentang asal-usul bahasa dan hubungannya dengan teks suci adalah teori yang paling rasional. Teori ini menekankan pada manusia sebagai tujuan teks dan sasaran pesan-pesannya.[16]
Abu Zaid meyakini bahwa problem pokok hermeneutika al-Qur’an bukanlah problem tentang keberagaman interpretasi, namun adanya perbedaan konsep tentang hakikat teks, yang pada akhirnya melahirkan keberagaman interpretasi. Keberagaman interpretasi secara natural tidak terhindarkan, namun interpretasi itu seharusnya didasarkan atas konsep objektif tentang teks.[17]
Teks al-Qur’an sebagai pesan berarti masyarakat yang menjadi sasarannya adalah seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa yang sama dengan teks, dan yang terkait dengan peradaban di mana bahasa tersebut dianggap sebagai sentralnya.[18] Kerena itu, penelusuran konsep teks oleh Nasr Hamid ini sesungguhnya bertujuan untuk pertama, menulusuri relasi dan kontak sistematis (al-alaqat al-murakkabat) antara teks dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks tersebut. Kedua, teks sebagai bentuk dan kebudayaan.[19] Pada tujuan yang kedua ini, pembahasan konsep teks difokuskan kepada aspek-aspek yang terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi, tepatnya masalah historitas, otoritas, otoritas, dan konteks.[20]
Kenyataan yang menunjukkan bahwa teks al-Qur’an senantiasa mempunyai hubungan dialektika dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan merupakan hal nyata yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks al-Qur’an dibentuk oleh realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga teks al-Qur’an berperan dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan dari al-Qur’an itu sendiri. Jadi proses keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan. Oleh karena  proses inilah, lalu Nasr Hamid mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (muntij al-tsaqāfi). Ide dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi al-Qur’an adalah Tuhan, akan tetapi ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut tersejarahkan dan termanusiakan oleh “intervensi” budaya dalam bingkai sistem bahasa.[21]
2.      Teori Interpretasi Teks
Pembahasan tentang al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa dilepaskan dari kesadaran seorang penafsir mengenai al-Qur’an sebagai teks linguistik yang memiliki karakteristik sendiri. Menurut Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang tampak terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi.[22] Gambaran penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil. Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui, yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah.[23] Sedangkan, ta’wil adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’nā dan magzā.[24] Ma’nā merupakan dalālah (arti) yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik (ma’āni al-naḥwi).[25] Sedangkan magzā menunjukkan pada makna dalam konteks sosio-historis.[26] Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan dengan kuat, magzā selalu mengikuti ma’nā begitu pula sebaliknya.
Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara dalam proses ta’wil tidak selalu membutuhkan medium tafsirah, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental –intelektual dalam menemukan asal mula “gejala”.[27] Hal ini menunjukkan bahwa ta’wil bisa dijalankan atas dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda.
Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbāb al-nuzūl merupakan bukti bahwa teks al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Analisis terhadap teks al-Qur’an dan tradisi otentik Nabi SAW. Menurut latar belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyarakat yang pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu, masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya mereka sendiri.[28] Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap pesan dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang berbeda pula.
Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut.[29] Bahasa teks al-Qur’an pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan tidak berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi signifikasi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna tanpa akhir. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus-menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa.
Untuk itu dibutuhkan suatu model analisis yang membedakan pembacaan zaman sekarang dengan masa klasik. Masyarakat kontemporer tidak lagi sekedar melakukan pembacaan yang bersifat pengulangan-pengulangan, repetitive, namun lebih kepada upaya untuk menemukan proggresivitas tradisi secara lebih terbuka. Model analisis alternative tersebut bagi Nasr Abu Zaid adalah “metode analisis wacana”. Untuk itu Nasr menyatakan:
(“Suatu tradisi tidaklah akan dapat diperbarui dengan hanya (menggunakan pembacaan) yang bersifat pengulangan-pengulangan) dan taqlid semata-mata, akan tetapi hanya dapat diperbarui dengan menelaah, mengkaji dan menganalisisnya seiring dengan semakin berkembangnya metode-metode yang ada. Kemampuan nalar manusia secara epistemologis akan dapat menangkap apa yang sebelumnya belum diketahui.
Selanjutnya ia mengatakan juga:
(metode yang semakin banyak dan progresif,mengharuskan diadakannya pembaharuan dan pembacaan ulang terhadap masa lampau untuk menyingkap apa yang dalam tradisi sebelumnya belum mungkin untuk disingkap).[30]
Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa interpretasi teks dapat dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun demikian, Nasr memberikan catatan penting sebelum penafsir melakukan interpretasi. Beberapa teori kontemporer memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirā’ah gair al-bariah).[31] Hubungan antara teks dengan pengarang , masa dan realitas yang memproduk teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks. Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses interpretasi.
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh penafsir adalah pembacaan tendensius (al-qirāah al-mugridah).[32] Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir.[33] Pembacaan tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena sejak awal penafsir memiliki kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala macam horizon subjektif yang beredar di otaknya.
Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari ideologi-ideologi yang ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal ini Nasr membuat pemisahan dua dimensi. Makna dalam teks, yaitu antara dalālah dan magzā. Pembedaan antara dalālah dan magzā harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak tunduk pada ideologi pengkaji secara serampangan dan vulgar.[34] Secara tegas Nasr menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan gerak teks (harakah al-naṣṣ) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang memungkinkan untuk membantu mengungkap makna teks.
Aktivitas intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya bertujuan untuk menyingkap fakta-fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya, maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi subjek.[35] Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya akan melahirkan klaim bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang dihasilkan itu sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan.
Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan yang disebut al-qirā’ah al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirā’ah al-muntijah yang ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara ma’nā dan magzā, tapi dalam hal ini Nasr menggunakandialektika antara istilah dalālah dan magzā. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang menggunkan distingsi magzā dan dalālah, tapi terkadang menggunakan distingsi magzā dan ma’nā. pada dasarnya dalālah dan magzā merupakan dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magzā tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dalālah, sebab dalalahlah yang mengantarkan magzā sampai pada ma’na yang paling jauh.[36] Sementara itu, untuk mengungkap ma’na dalalah harus melalui media al-tafsirah (denotatum/tanda). Dengan demikian, al-qirā’ah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa untuk memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magzā.
3.      Level-level Konteks
Struktur teks dan produksi makna teks bagi Nasr tidak bisa dilepaskan dari persoalan al-siyāq (konteks). Termasuk dalam hal ini teks al-Qur’an, membawa level-level konteksnya sendiri, yang harus dipertimbangkan oleh interpreter. Menurut Abu Zaid, ada lima level konteks dari sebuah teks, diantaranya adalah:[37]
1.      Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i) yang terdiri dari aturan sosio dan kultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan, dan tradisinya yang terekspresikan dalam bahasa teks itu. Bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai kebudayaannya sendiri dan konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan-kepercayaan kulturalnya sendiri. Dalam rangka inilah, Abu Zaid mengusulkan proposisi fundamentalnya bahwa al-Qur’an adalah sebuah produk budaya dan bahwa ia haruslah dipahami dalam sosio-kulturalnya.
2.      Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), yakni konteks percakapan (siyāq al-takhathub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) suatu teks. Konteks percakapan berkaitan dengan hubungan antara pembicara atau pengirim pesan dan patner bicara atau penerima pesan, yang mendefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan otoritas tafsir dan interpretasi pada sisi lain. Dalam konteks hermeneutika al-Qur’an, Abu Zaid juga menyebut konteks ini dengan “konteks pewahyuan” (siyāq al-tanzīl) berdasarkan dua fakta: pertama, teks (al-Qur’an) diwahyukan secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun, yang masing-masing bagian mempunyai konteksnya sendiri. Kedua, variasi dalam level suasana pewacana pertama, Muhammad SAW, yang dengan sendirinya berada dalam ruang psikologi yang berubah-ubah, seperti senang, marah, sedih, kecewa dan tidak menutup kemungkinan pula adanya pengaruh dari orang yang diajak bicara, baik sahabat, khususnya istri-istri Nabi.
3.      Konteks internal (al-siyāq al-dakhīli) yang berkaitan dengan “ketakintegralan” struktur teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks, menurut Abu Zaid, tidaklah integral. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara urutan teks (tartīb al-ajza) dan urutan pewahyuan (tartīb al-nuzūl). Lebih dari itu, teks al-Qur’an pada hakekatnya bersifat plural, dan tidak mungkin untuk memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level spesifikasinya. Seorang pembaca haruslah mengenali level wacana yang dihadapinya. Wacana cerita (siyāq al-qiṣṣah), misalnya, berbeda dalam pengertian dan penekanan dari wacana hiburan dan intimidasi (al-targhīb wa tarhīb), debat dan konteks (al-jadāl wa al-sijāl), janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id), dan lain-lain.
4.      Konteks linguistik yang tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen suatu kalimat, atau korelasi antar kalimat (nazm), atau berkaitan dengan perluasan figuratif atau majaz-ifikasi (tajāwuz) dalam arti bentuk-bentuk gramatikal dan style, namun juga berkaitan dengan signifikansi yang implisit atau “yang tak terkatakan” di dalam struktur wacana. Analisis teks melalui tanda-tanda linguistik haruslah mengungkap “yang tak terkatakan” dengan melampaui kata-kata dengan masuk dalam struktur kultural teks. Hal ini disebabkan karena bahasa adalah kristalisasi budaya dan merupakan bagian integral darinya. Misalnya, sūrah Jinn yang mempresentasikan bahwa Jinn memang ada adalah bahwa al-Qur’an menggunakan kepercayaan kultural atau yang disebut Abu Zaid dengan “konsep mental”, yang ada dalam budaya Arab pra-Islam.
5.      Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah). Proses pembacaan, yang pada hakekatnya adalah sebuah dekonstruksi kode (fakk al-syifrah), bukanlah konteks eksternal pelengkap yang disandarkan kepada teks. Tekstualisasi al-Qur’an terungkap melalui tindak pembacaan.
D.    Aplikasi Penafsiran
1.      Riba dan Bunga Bank[38]
Kata riba (usūry) telah dipakai dalam wacana Islamis kontemporer di Mesir, sebagaimana di negara-negara Islam lainnya sejajar dengan bunga dalam sistem perbankan. Pengkiasan hukum (antara riba dan bunga bank) ini menyebabkan para Islamis menolak segala bentuk bunga, dan sebagai gantinya mereka berupaya mendirikan bank-bank Islam dan lembega-lembaga ekonomi lainnya. Kongres kedua Lembaga Riset Islam (Islamic Research Group) Mesir menyatakan dalam salah satu rekomendasinya bahwa bunga dari segala bentuk pinjaman, baik untuk konsumsi maupun produksi, adalah legal, haram. Jika pinjaman dengan riba berderajat kecil saja haram, apalagi berderajat besar.
Diskusi tentang riba dan bunga di Mesir tentu bukan suatu hal yang baru. Rasyid Ridha , misalnya, mengatakan bahwa riba yang dilarang dalam al-Qur’an adalah riba yang oleh Ibnul Qoyyim disebut “riba yang jelas(riba nasi’ah), dan yang mempunyai karakteristik pelipatan yang terus menerus dari utang semula. Menurut Muhammad Sa’id Al-‘Asymawi, riba  yang disebut dalam al-Qur’an adalah riba pra-Islam, suatu bentuk renta yang mempunyai tingkat bunga sangat tinggi yang sering kali berujung pada perbudakan pengutang ketika dia tidak mampu membayarnya. Lagi pula, riba semacam ini hanya di Arab belum ada sistem mata uang. Sistem bunga yang ada sekarang tidak ada masalah karena tingkat bunga bisa dikontrol oleh pemerintah dan lebih rendah dari sistem riba jahiliyah itu.
Abu Zaid mengatakan bahwa penggunaan kembali kata riba sebagai padanan riba (‘arbah atau fawāid, keuntungan) tidaklah tepat karena riba dalam al-Qur’an adalah riba pra-Islam. Abu Zaid mengkritik para Islamis karena bersiteguh menggunakan dan menghidupkan kembali suatu kata yang menjadi perbendaharaan kata lama, yakni riba. Abu Zaid berargumen bahwa penggunaan kata riba sebagai padanan bunga bukanlah merupakan ijtihād hukum murni dan objektif, karena tidak ada ijtihād hukum semacam itu, namun ini merupakan bagian dari mekanisme wacana keagamaan untuk menggantikan hal yang baru dengan yang lama.
Kaum Islamis selalu mendasarkan diri atas mekanisme analogi hukum (al-qiyās al-fiqhi) yang mengarah, baik kepada pengharaman atau penghalalan. Sementara itu, hukum berdasarkan atas alasan-alasan legal yang dengannya ijtihad menemukan adanya pengharaman riba. Namun, dalam pandangan Abu Zaid, sistem perbankan, termasuk bunga, tidaklah terkait dengan riba, namun ia memberikan keuntungan kepada depositor. Tidak ada hubungan antara sistem perbakan modern dan riba pra-Islam yang dilarang Allah dalam al-Qur’an. Disini, menurut Abu Zaid, konsep riba memiliki level pertama makna pesan, yakni konsep yang harus dianggap sebagai bukti sejarah yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis.
2.      Hak Waris Perempuan[39]
Abu Zaid kemudian beralih menganalisis konteks sosio-historis posisi perempuan dalam masyarakat pra-Islam. Petanda dari sebagian besar hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan, dan juga signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa mempertimbangkan kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam kebudayaan Arab pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. Karena tidak produktif, perempuan (dan juga anak-anak kecil) tidak mendapatkan warisan; bahkan sebaliknya, mereka dapat diwariskan laiknya harta warisan. Aturan standarnya terkait dengan masalah produktivitas ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan kepada seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak melukai musush”. Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang menganggap peperangan sebagai salah satu jalan, bukan hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi juga harta kekayaan (yang berupa rampasan perang dan budak tawanan). Dalam konteks kebudayaan semacam ini, al-Qur’an manyatakan bahwa perempuan mendapatkan warisan setengah dari bagian laki-laki, dan bahkan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kalalah.
Berdasarkan atas sebuah prinsip hukum Islam: “hukum berubah berdasarkan atas ada, atau tidak adanya, alasan-alasan legal (al-hukmu yaruddu ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman), konteks dan alasan legal dari hak perempuan untuk mendapatkan warisan telah berubah. Pada masa Nabi, secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada masa sekarang perempuan rata-rata secara ekonomi produktif. Jadi, hukum dalam hal ini haruslah berubah.
Bagian waris perempuan ditetapkan sebagai bagian yang ditetapkan Allah (farīdhah min Allah) yang tidak seorang pun diperbolehkan menguranginya. Dari sini, Abu Zaid beralih kepada argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase “bagi laki-laki bagian yang sebanding dengan bagian dua perempuan”, adalah bahwa teks menekankan pada bagian laki-laki dulu baru kemudian bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an membatasi bagian laki-laki ketimbang bagian perempuan “sebanding dengan bagian dua perempuan”. Namun, bagian perempuan ini sebenarnya merupakan bagian minimum, bukan maksimum. Ini berarti bahwa laki-laki dapat memperoleh lebih rendah ketimbang bagian yang seharusnya dia terima, dan perempuan dapat menerima lebih banyak dari bagian yang seharusnya mereka terima berdasarkan kesepakatan. Dengan mempertimbangkan “arah teks”, perempuan haruslah mendapatkan bagian waris yang sebanding dengan laki-laki. Dalam hal ini, Abu Zaid mengkaji hukum pewarisan dalam konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya.
3.      Poligami[40]
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:
·         Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk sosial dan kultural.
·         meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan melakukan ini, Abu Zaid berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.
·         Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.
No.
Makna /Dilalah
Signifikansi/magza
Yang tak terkatakan
Poligami
Praktik poligami pra-islam : poligami tidak terbatas
Islam membatasi poligami empat istri secara adil
Sikap adil dalam poligami tidak mungkin: monogami ditekankan
Tujuan akhir legislasi Islam: monogami
Poligami dilarang


















Kesimpulan
Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip tektualitas al-Qur`an, bahwa obyek utama kajian al-Qur`an adalah teks kebahasaan. Dengan prinsip dasar tersebut, studi al-Qur`an harus dikaitan dengan ilmu bahasa (linguistik) dan kritik sastra. Selain pendekatan tekstual, studi al-Qur`an juga menggunakan pendekatan histors kritis. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Menurut latar belakang kontekstual yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Al-Quran berinteraksi dengan akal (untuk dipahami) dan kemudian al-Quran terbentuk dengan budaya Arab, oleh karena itu Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat bahwa al-Quran adalah produk budaya. Nasr Hamid juga berpendapat bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan yang lain dalam kebudayaan manusia.
Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan hermeneutika sebagai paradigma takwil. Pembacaan teks melampaui dua dunia, dunia author, penulis dan interpreter. Pembacaan teks tidak hanya berhenti pada yang terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai pada signifikansi/magzā, makna yang tidak terkatakan. Takwil adalah suatu upanya kembali pada asal usul sesuatu. Hal itu dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya. Sederhananya Nasr Hamid Abu Zaid menafsirkan al-Qur’an dengan apa pesan yang terkandung yang tidak terlihat secara dzhohir melainkan dengan kajian yang lebih mendalam. Nasr Hamid Abu Zaid juga menekankan analisis beberapa konteks dan hubungan masing-masing dalam proses penafsiran. Beberapa konteks tersebut adalah Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i), Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), Konteks internal (al-siyāq al-dakhili), Konteks linguistik, Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah).






Daftar Pustaka
Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003).
E. Sumaryono, Hermenautik sebuah Metode filsafat, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1999.

Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, Jakarta: Teraju, 2003.

Arif, Syamsudin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gima Insani, 2003.

Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, Yogyakarta: LKIS, 2001.

______, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, Bandung: Korpus, 2003.

______,Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994.

______, Dawāir al-Khauf , Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, tth.

______,Mafhūm al-Nāṣ: Dirāsat fi ‘Ulūm al-Qur’an, Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, 2000.

______, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī, Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992.


[1] Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm 116.
[2] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), cet. 1, hlm 15-16.
[3] Tampaknya sederhana. Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, imam shalat di masjid-masjid Mesir dipersyaratkan untuk hafal al-Qur’an.
[4] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16.
[5] Al-Adab, no. 5, thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak mencantumkan nama penulisnya, namun pada Al-Adab, no. 8, thn. 9 (Januari 1965), editor mengoreksi bahwa penulis artikel itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 16-17.
[6] Al-Adab, no. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 17.
[7] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16-17.
[8] Ibid.,, hlm 17.
[9] Ibid.,, hlm 17-18.
[10] Ibid.,, hlm 18.
[11] Ibid.,, hlm 20.
[12] Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gima Insani, 2003), hlm. 168-187.
[13] Ibid.,, hlm. 187-188.
[14] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm. 63-64.
[15] Ibid.,, hlm. 64.
[16] Ibid.,,
[17] Ibid.,, hlm. 65.
[18] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 69.
[19] Naṣr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ: Dirāsāt fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabī, 2000), hlm. 28.
[20] Ibid.
[21] Naṣr Hamid Abu Zayd, Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994), hlm. 74.
[22] Naṣr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992), hlm.
[23] Ibid., hlm. 225.
[24] Ibid.,,  hlm. 229.
[25] Ibid.,, hlm. 108.
[26] Nasr Hamid Abu Zayd, Dawāir al-Khaūf (Beirut: Al-Markaz al-Saqafī al-‘Arabī, tth.), hlm. 203.
[27] Ibid.,,  hlm. 232.
[28] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, (Bandung: Korpus, 2003), hlm. 96.
[29] Ibid.,,
[30] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm . 66-67.
[31] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al…,  hlm. 113.
[32] Ibid.,,
[33] Ibid.,, hlm. 114.
[34] Ibid.,,
[35] Ibid.,, 115.
[36] Ibid.,, hlm. 144.
[37] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan…, hlm. 90-93
[38] Ibid.,, hlm. 127-130.
[39] Ibid.,, 144-149.
[40] Ibid.,, hlm. 138-143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar