A.
Pendahuluan
Dalam konteks Islam,
hermeneutika sebagai sekumpulan metode, teori dan kefilsafatan yang terfokus
pada problem pemahaman teks, sebenarnya telah muncul pada masa-masa awal ketika teks al-Qur’an dirasakan sulit dipahami dan
problematik, yang dengan demikian harus dijelaskan, diterjemah, dan
diinterpretasikan agar dapat dipahami. Problem hermeneutika menjadi semakin rumit setelah Nabi Muhammad SAW wafat karena tidak ada
lagi otoritas tunggal untuk menjelaskan al-Qur’an, dan kaum muslimin telah berkenalan dengan berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban
lain.
Dalam perjalanan sejarah,
para ilmuan muslim menerapkan hermeneutika dalam pengertian yang sejalan dengan
perkembangan disiplin ini pada masa mereka masing-masing untuk memahami sebuah
teks suci yang mereka imani, al-Qur’an. Dalam perjalanan sejarah pula,
perkembangan hermeneutika al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
ilmu-ilmu Islam (utamanya teori hukum Islam (Uṣūl Al-fiqh), filsafat dan
sufisme) dan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Oleh karena itu, hermeneutika
al-Qur’an tidak hanya termasuk dalam apa yang disebut secara tradisional
sebagai ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Ia telah menjelma menjadi bidang multi dan
interdisipliner. Hakikat interdisipliner dari disiplin ini nampak sangat jelas
dalam hermeneutika al-Qur’an kontemporer, di mana penerapan ilmu-ilmu sosial
dan humanitas tidak bisa diabaikan. Teori hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid Abu
Zaid adalah salah satu contoh yang trend di masa ini. Berdasarkan latar
belakang tersebut penulis akan menguraikan
sedikit penjelasan tentang biografi Nasr Hamid Abu Zaid, teori, gagasan dan
aplikasi penafsirannya.
B.
Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu
Zaid adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni.[1]
Nasr Hamid di lahirkan di desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir
pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga yang religious. Bapaknya
adalah seorang aktivis Al-Ikhwān Al-Muslimīn dan pernah dipenjara
menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak Mesir, dia mulai
belajar dan menulis, serta kemudian menghafal al-Qur’an di kuttāb ketika
dia berusia empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal
keseluruhan al-Qur’an pada usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil “Syaikh
Nashr” oleh anak-anak di desanya.[2]
Ketika Al-Ikhwān
Al-Muslimīn menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki cabang hampir di
setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada 1954, pada usia sebelas
tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum
diperkenankan mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya
untuk memasukkannya dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan
diperkenankan untuk menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar
anggota itulah maka Abu Zaid pun pernah dijebloskan dipenjara selama satu hari
dan dilepaskan karena dia masih dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada
pemikiran Syayyid Quthb dalam bukunya Al-Islām wa Al-‘Adālah Al-Ijtimā’iyyyah
(Islam dan Keadilan Sosial), khususnya penekanannya pada keadilan manusiawi
dalam menafsirkan Islam. Pada masa remajanya, dia biasa mengumandangkan adzan
di masjid dan tak jarang sebagai imam shalat,[3]
hal yang biasanya di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.[4]
Abu Zaid menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah kematian ayahnya, saat
berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu perekonomian
keluarganya. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thantha pada 1960, dia bekerja
sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo
sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam
tulisan-tulisan awalnya ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di
dalam jurnal Al-Adab, jurnal pemimpin Amīn Al-Khūlī. Dua artikel pentingnya
saat itu adalah “Hawl Adab Al-‘Ummal wa Al-Fallahin” (tentang Sastra Buruh dan
Petani)[5]
dan “Azmah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir).[6]
Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi ketika keduanya menjadi trend
dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai mengkritik Al-Ikhwān Al-Muslimīn, kendatipun dia
tidak mengekspresikan kritiknya itu dalam tulisan-tulisan awalnya.[7]
Pada 1968, Abu
Zaid mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo. Dia
masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja. Dia menyelesaikan studinya
pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat sebagai
asisten dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para
asisten dosen baru untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset
Master dan Doktor, dia merubah bidangnya dari murni linguistic dan kritik
sastra menjadi studi Islam, khususnya studi al-Qur’an. Abu Zaid sebenarnya
enggan untuk mengambil subjek ini, mengingat pengalaman Muhammad Ahmad
Khalafallah yang mengalami problem serius karena dia menggunakan studi kritik
sastra (literer) atas narasi-narasi al-Qur’an dalam disertasinya. Namun,
akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia melakukan studi
tentang al-Qur’an dan problem interpretasi dan hermeneutika.[8]
Pada 1975, Abu
Zaid mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan studi selama dua
tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar MA
dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Universitas Kairo dengan tesis yang berjudul Al-Ittijāh Al-Aqlī fi Al-Tafsīr:
Dirāsah fi Qadhiyyat Al-Majāz fi Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazillah (Rasionalisme
dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut Mu’tazillah), dan
dipublikasikan pada 1982. Setelah itu, dia diangkat menjadi dosen.[9]
Selama periode
1976-1978, Abu Zaid mengajar bahasa Arab untuk orang-orang Asing di Centre for
Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di Universitas
Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies
di Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia
mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang
cerita rakyat (folklore). Pada periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab
dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah artikel “Al-Hirminiyūṭīqā wa
mu’dhilat Tafsīr Al-Naṣṣ” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks), yang
menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis
dalam bahasa Arab.[10]
Pada 1981, Abu
Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa Arab dari jurusan
yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul Falsafah
Al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl Al-Qur’an ‘inda Muhy Al Dīn ibnu ‘Arabī (Filsafat
Takwil: Studi Hermeneutika Al-Qur’an Muhy Al-Din ibnu ‘Arabi) yang dipublikasikan
pada 1983. Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di
mana dia mendapatkan penghargaan ‘Abd Al-‘Azīz Al-Ahwānī untuk Humanitas karena
konsernya pada humanitas dan budaya Arab.
Selama
1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of Foreign
Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan
sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase
sangat produktif baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zaid menyelesaikan bukunya
Mafhūm Al-Naṣṣ: Dirāsah fī Al-Ulūm Al-Qur’ān (Konsep Teks: Studi tentang
Ilmu-ilmu Al-Qur’an) dan menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya
nanti dipublikasikan dalam Naqd Al-Khithāb Al-Dīnī (Kritik atas Wacana
Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat dalam buku terakhir ini
dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.[11]
Pada tahun
1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya menginjak 49
tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk dipromosikan
mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo.
Diantaranya sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitāb al-Dīnī yang
diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya
melejit di dunia Islam. Namun di tahun ini dimulailah “kasus Abu Zayd” di
persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut
menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu,
dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak. Prof. Abdul
Shabur Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya,
dalam khutbahnya di masjid ‘Amr bin ‘Aṣ menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad,
yang kemudian di-amin-kan oleh para khatib lainnya di masjid-masjid pada hari
jum’at berikutnya, Mesir pun heboh. Dan apada akhirnya pada 14 Juni 1995,
“Mahkamah al-Isti’nāf Kairo” menyatakan Abu Zayd murtad.[12]
Setelah diusir
dari Mesir dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut
keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis
Ulama al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan
dikeluarkannya keputusan dari Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang
juga telah menyatakan ia murtad, maka kemudian pindah ke Madrid, Spanyol
pada 23 Juli 1995, bersama-sama dengan istrinya. Sebelum akhirnya menetap di
Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 19995 sampai sekarang (data pada tahun 2008).[13]
Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhūm al-Naṣ: Dirāsah fī `Ulūm al-Qur’ān (Konsep Teks: Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykāliyyāt al-Qirā’ah wa Aliyāt al-Ta’wīl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl al-Qur’ān `inda Ibn `Arabī (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an
menurut Ibn Arabi), al-Imām al-Syāfi’i wa Ta`sīs al-Aidiulujiyyah al-Wasaṭiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittijā al-`Aqli fi at-Tafsīr (Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithāb al-Dīnī (Kritik Wacana Agama), dan lain-lain. Karya-karyanya juga terbit dalam
bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought:
a Critical Historical Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic
Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections
on Islam.
C.
Teori dan Gagasan Nasr Hamid Abu Zaid
1.
Konsep Wahyu dan Teks Al-Qur’an
Abu Zaid selalu
memulai diskusi tentang tekstualitas al-Qur’an dengan mengkaji perdebatan
klasik antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalām Allāh). Isu ini berkaitan dengan diskusi tentang asal-usul basasa dan
‘ke-tak-terciptaan’ al-Qur’an. Abu Zaid menyebutkan dua teori tentang asal-usul
bahasa itu. Teori pertama, yang didukung oleh Asy’ariyah, mengatakan
bahwa bahasa adalah pemberian Tuhan kepada manusia, dan bukanlah temuan manusia. Hubungan
antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ditentukan
oleh Tuhan. Hubungan ini bersifat ilahiyah. Dari poin ini, disimpulkan bahwa
kata-kata Allah tidaklah tercipta, namun merupakan salah satu sifat-Nya.
Asy’ariyah meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kata-kata Allah adalah abadi
sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam Tablet Terjaga (Al-Lawh Al-Mahfūzh).[14]
Yang kedua adalah teori Mu’tazilah yang beragumen bahwa
bahasa adalah konvensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang
hubungan antara suara suatu kata dengan maknanya. Bahasa tidaklah merajuk
secara langsung kepada realitas aktual; namun, realitas dipahami.
Dikonseptualisasi, dan disimbolisasi melalui suatu sistem suara. Mu’tazilah
berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan dan, dengan demikian, tidak abadi.
Al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang dikandungnya
haruslah dipahami dalam sinaran konteks itu.[15]
Menurut Abu Zaid,
pendapat Mu’tazilah tentang hakikat al-Qur’an ini lebih sesuai dengan
pengertian modern tentang teks yang menganggap semua teks, termasuk teks
al-Qur’an, sebagai sebuah fenomena historis dan mempunyai konteks
spesifikasinya sendiri. Alih-alih mengadopsi teori Asy’ariyah, Abu Zaid lebih
mendukung teori Mu’tazilah. Menurutnya, teori Mu’tazilah tentang asal-usul
bahasa dan hubungannya dengan teks suci adalah teori yang paling rasional.
Teori ini menekankan pada manusia sebagai tujuan teks dan sasaran pesan-pesannya.[16]
Abu Zaid
meyakini bahwa problem pokok hermeneutika al-Qur’an bukanlah problem tentang
keberagaman interpretasi, namun adanya perbedaan konsep tentang hakikat teks,
yang pada akhirnya melahirkan keberagaman interpretasi. Keberagaman interpretasi
secara natural tidak terhindarkan, namun interpretasi itu seharusnya didasarkan
atas konsep objektif tentang teks.[17]
Teks al-Qur’an sebagai pesan berarti masyarakat yang
menjadi sasarannya adalah seluruh
manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa
yang sama dengan teks, dan yang terkait dengan peradaban di mana bahasa
tersebut dianggap sebagai sentralnya.[18]
Kerena itu, penelusuran konsep teks oleh Nasr Hamid ini sesungguhnya bertujuan
untuk pertama, menulusuri relasi dan kontak sistematis (al-alaqat
al-murakkabat) antara teks dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks
tersebut. Kedua, teks sebagai bentuk dan kebudayaan.[19]
Pada tujuan yang kedua ini, pembahasan konsep teks difokuskan kepada
aspek-aspek yang terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi, tepatnya
masalah historitas, otoritas, otoritas, dan konteks.[20]
Kenyataan yang
menunjukkan bahwa teks al-Qur’an senantiasa mempunyai hubungan dialektika
dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan merupakan hal nyata yang memberikan pengertian
bahwa secara tidak langsung teks al-Qur’an dibentuk oleh realitas peradaban
Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga teks al-Qur’an berperan dalam
perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan dari
al-Qur’an itu sendiri. Jadi proses keduanya saling terkait, tidak bisa
dipisahkan. Oleh karena proses inilah,
lalu Nasr Hamid mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (muntij
al-tsaqāfi). Ide dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi
al-Qur’an adalah Tuhan, akan tetapi ketika memasuki realitas semesta, wahyu
tersebut tersejarahkan dan termanusiakan oleh “intervensi” budaya dalam bingkai
sistem bahasa.[21]
2.
Teori Interpretasi Teks
Pembahasan
tentang al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa dilepaskan dari kesadaran
seorang penafsir mengenai al-Qur’an sebagai teks linguistik yang memiliki karakteristik sendiri. Menurut
Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang tampak terlihat
kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi.[22]
Gambaran penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil.
Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau
tidak diketahui, yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah.[23]
Sedangkan, ta’wil adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’nā
dan magzā.[24]
Ma’nā merupakan dalālah (arti) yang dibangun berdasarkan gramatikal
teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik (ma’āni
al-naḥwi).[25]
Sedangkan magzā menunjukkan pada makna dalam konteks sosio-historis.[26]
Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan dengan kuat, magzā selalu
mengikuti ma’nā begitu pula sebaliknya.
Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa
proses penafsiran selalu membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat
menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara dalam proses ta’wil tidak
selalu membutuhkan medium tafsirah, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada
gerak mental –intelektual dalam menemukan asal mula “gejala”.[27]
Hal ini menunjukkan bahwa ta’wil bisa dijalankan atas dasar hubungan langsung
antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa dijalankan melalui
adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek tidak bersifat
langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda.
Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa
digali hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks
al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya.
Paling tidak keberadaan asbāb al-nuzūl merupakan bukti bahwa teks
al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu. Oleh sebab itu,
bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang saat itu berkembang
merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Analisis terhadap teks al-Qur’an dan tradisi otentik Nabi
SAW. Menurut latar belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam
proses penafsiran. Hal ini disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki
berbagai pengaruh kalau masyarakat yang pertama kali menerima tidak mampu
memahami pesan tersebut. Sementara itu, masyarakat tersebut hanya bisa memahami
pesan dalam konteks sosial-budaya mereka sendiri.[28]
Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap pesan
dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang
berbeda pula.
Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang
beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi
muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final
dan absolut.[29] Bahasa
teks al-Qur’an pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu
mengalami perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus
menerus dan tidak berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang
menjadi signifikasi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna
tanpa akhir. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk
menafsirkan teks itu secara terus-menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi
tidak akan pernah berakhir, dan reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang
masa.
Untuk itu
dibutuhkan suatu model analisis yang membedakan pembacaan zaman sekarang dengan
masa klasik. Masyarakat kontemporer tidak lagi sekedar melakukan pembacaan yang
bersifat pengulangan-pengulangan, repetitive, namun lebih kepada upaya untuk
menemukan proggresivitas tradisi secara lebih terbuka. Model analisis
alternative tersebut bagi Nasr Abu Zaid adalah “metode analisis wacana”.
Untuk itu Nasr menyatakan:
(“Suatu
tradisi tidaklah akan dapat diperbarui dengan hanya (menggunakan pembacaan)
yang bersifat pengulangan-pengulangan) dan taqlid semata-mata, akan tetapi
hanya dapat diperbarui dengan menelaah, mengkaji dan menganalisisnya seiring
dengan semakin berkembangnya metode-metode yang ada. Kemampuan nalar manusia
secara epistemologis akan dapat menangkap apa yang sebelumnya belum diketahui.
Selanjutnya ia
mengatakan juga:
(metode
yang semakin banyak dan progresif,mengharuskan diadakannya pembaharuan dan pembacaan
ulang terhadap masa lampau untuk menyingkap apa yang dalam tradisi sebelumnya
belum mungkin untuk disingkap).[30]
Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa
interpretasi teks dapat dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun
demikian, Nasr memberikan catatan penting sebelum penafsir melakukan
interpretasi. Beberapa teori kontemporer memiliki kecenderungan untuk
menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis, sehingga
melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirā’ah gair al-bariah).[31]
Hubungan antara teks dengan pengarang , masa dan realitas yang memproduk teks
itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan
terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada
teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal
kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang
turut mempengaruhi teks. Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang
harus ditinggalkan dalam proses interpretasi.
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh
penafsir adalah pembacaan tendensius (al-qirā’ah al-mugridah).[32]
Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan
ideologi yang dianut oleh penafsir.[33]
Pembacaan tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan,
sehingga hasil yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena
sejak awal penafsir memiliki kepentingan dan berusaha agar hasil
interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, sebelum
melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala macam horizon
subjektif yang beredar di otaknya.
Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari
ideologi-ideologi yang ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal
ini Nasr membuat pemisahan dua dimensi.
Makna dalam teks, yaitu antara dalālah dan magzā. Pembedaan
antara dalālah dan magzā harus menjadi tuntutan utama agar
metodologi interpretasi teks tidak tunduk pada ideologi
pengkaji secara serampangan dan vulgar.[34]
Secara tegas Nasr menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi
terhadapnya dengan landasan opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan
interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan gerak teks (harakah al-naṣṣ)
dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang memungkinkan untuk
membantu mengungkap makna teks.
Aktivitas
intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya bertujuan untuk
menyingkap fakta-fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar horizon
subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya, maka
data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap
orientasi-orientasi subjek.[35]
Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada
dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya
akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan
subjektifitas oportunistik pada akhirnya akan melahirkan klaim bahwa pembaca
mampu menemukan makna, padahal makna yang dihasilkan itu sebenarnya adalah
makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan.
Dalam rangka
menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan yang disebut al-qirā’ah
al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirā’ah al-muntijah yang
ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara ma’nā
dan magzā, tapi dalam hal ini Nasr menggunakandialektika antara
istilah dalālah dan magzā. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten
dalam menggunakan istilah, terkadang menggunkan distingsi magzā dan dalālah,
tapi terkadang menggunakan distingsi magzā dan ma’nā. pada
dasarnya dalālah dan magzā merupakan dua bentuk yang digunakan
untuk satu pekerjaan. Magzā tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dalālah,
sebab dalalahlah yang mengantarkan magzā sampai pada ma’na yang
paling jauh.[36]
Sementara itu, untuk mengungkap ma’na dalalah harus melalui media al-tafsirah
(denotatum/tanda). Dengan demikian, al-qirā’ah al-muntijah berangkat
dari analisis tanda bahasa untuk memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali
ke asal atau dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magzā.
3. Level-level Konteks
Struktur teks
dan produksi makna teks bagi Nasr tidak bisa dilepaskan dari persoalan al-siyāq
(konteks). Termasuk dalam hal ini teks al-Qur’an, membawa level-level
konteksnya sendiri, yang harus dipertimbangkan oleh interpreter. Menurut Abu
Zaid, ada lima level konteks dari sebuah teks, diantaranya adalah:[37]
1. Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i) yang
terdiri dari aturan sosio dan kultural, dengan semua
konvensi, adat kebiasaan, dan tradisinya yang terekspresikan dalam bahasa teks
itu. Bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka
kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada
masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai kebudayaannya sendiri dan
konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan-kepercayaan kulturalnya sendiri. Dalam
rangka inilah, Abu Zaid mengusulkan proposisi fundamentalnya bahwa al-Qur’an
adalah sebuah produk budaya dan bahwa ia haruslah dipahami dalam
sosio-kulturalnya.
2. Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), yakni konteks percakapan (siyāq
al-takhathub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah
lughawiyyah) suatu teks. Konteks percakapan berkaitan dengan hubungan
antara pembicara atau pengirim pesan dan patner bicara atau penerima pesan,
yang mendefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan otoritas tafsir dan
interpretasi pada sisi lain. Dalam konteks
hermeneutika al-Qur’an, Abu Zaid juga menyebut konteks ini dengan “konteks
pewahyuan” (siyāq al-tanzīl) berdasarkan dua fakta: pertama, teks
(al-Qur’an) diwahyukan secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun, yang
masing-masing bagian mempunyai konteksnya sendiri. Kedua, variasi dalam
level suasana pewacana pertama, Muhammad SAW, yang dengan sendirinya berada
dalam ruang psikologi yang berubah-ubah, seperti senang, marah, sedih, kecewa
dan tidak menutup kemungkinan pula adanya pengaruh dari orang yang diajak
bicara, baik sahabat, khususnya istri-istri Nabi.
3. Konteks internal (al-siyāq al-dakhīli) yang berkaitan dengan “ketakintegralan”
struktur teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks, menurut Abu Zaid,
tidaklah integral. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara urutan
teks (tartīb al-ajza) dan urutan pewahyuan (tartīb al-nuzūl).
Lebih dari itu, teks al-Qur’an pada hakekatnya bersifat plural, dan tidak
mungkin untuk memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level spesifikasinya.
Seorang pembaca haruslah mengenali level wacana yang dihadapinya. Wacana cerita
(siyāq al-qiṣṣah), misalnya, berbeda dalam pengertian dan penekanan dari
wacana hiburan dan intimidasi (al-targhīb wa tarhīb), debat dan konteks
(al-jadāl wa al-sijāl), janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id),
dan lain-lain.
4. Konteks linguistik yang tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen suatu
kalimat, atau korelasi antar kalimat (nazm), atau berkaitan dengan
perluasan figuratif atau majaz-ifikasi (tajāwuz) dalam arti bentuk-bentuk gramatikal dan style, namun juga
berkaitan dengan signifikansi yang implisit atau “yang tak terkatakan” di dalam struktur
wacana. Analisis teks melalui tanda-tanda linguistik haruslah mengungkap “yang
tak terkatakan” dengan melampaui kata-kata dengan masuk dalam struktur kultural
teks. Hal ini disebabkan karena bahasa adalah kristalisasi budaya dan merupakan
bagian integral darinya. Misalnya, sūrah Jinn yang mempresentasikan
bahwa Jinn memang ada adalah bahwa al-Qur’an menggunakan kepercayaan kultural
atau yang disebut Abu Zaid dengan “konsep mental”, yang ada dalam budaya Arab
pra-Islam.
5. Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah). Proses pembacaan, yang pada
hakekatnya adalah sebuah dekonstruksi kode (fakk al-syifrah), bukanlah
konteks eksternal pelengkap yang disandarkan kepada teks. Tekstualisasi
al-Qur’an terungkap melalui tindak pembacaan.
D.
Aplikasi Penafsiran
Kata riba (usūry)
telah dipakai dalam wacana Islamis kontemporer di Mesir, sebagaimana di negara-negara
Islam lainnya sejajar dengan bunga dalam sistem
perbankan. Pengkiasan hukum (antara riba dan bunga bank) ini menyebabkan para Islamis
menolak segala bentuk bunga, dan sebagai gantinya mereka berupaya mendirikan
bank-bank Islam dan lembega-lembaga ekonomi lainnya. Kongres
kedua Lembaga Riset Islam (Islamic Research Group) Mesir menyatakan
dalam salah satu rekomendasinya bahwa bunga dari segala bentuk pinjaman, baik
untuk konsumsi maupun produksi, adalah legal, haram. Jika pinjaman dengan riba
berderajat kecil saja haram, apalagi berderajat besar.
Diskusi tentang riba dan bunga di Mesir tentu
bukan suatu hal yang baru. Rasyid Ridha , misalnya, mengatakan bahwa riba
yang dilarang dalam al-Qur’an adalah riba yang oleh Ibnul Qoyyim disebut
“riba yang jelas” (riba nasi’ah), dan yang mempunyai
karakteristik pelipatan yang terus menerus dari utang semula. Menurut Muhammad
Sa’id Al-‘Asymawi, riba yang
disebut dalam al-Qur’an adalah riba pra-Islam, suatu bentuk renta yang
mempunyai tingkat bunga sangat tinggi yang sering kali berujung pada perbudakan
pengutang ketika dia tidak mampu membayarnya. Lagi pula, riba semacam
ini hanya di Arab belum ada sistem mata uang. Sistem bunga yang ada sekarang
tidak ada masalah karena tingkat bunga bisa dikontrol oleh pemerintah dan lebih
rendah dari sistem riba jahiliyah itu.
Abu Zaid mengatakan bahwa penggunaan kembali kata riba
sebagai padanan riba (‘arbah atau fawāid, keuntungan) tidaklah
tepat karena riba dalam al-Qur’an adalah riba pra-Islam. Abu Zaid mengkritik
para Islamis karena bersiteguh menggunakan dan menghidupkan kembali suatu kata
yang menjadi perbendaharaan kata lama, yakni riba. Abu Zaid berargumen bahwa
penggunaan kata riba sebagai padanan bunga bukanlah merupakan ijtihād hukum
murni dan objektif, karena tidak ada ijtihād hukum semacam itu, namun
ini merupakan bagian dari mekanisme wacana keagamaan untuk menggantikan hal
yang baru dengan yang lama.
Kaum Islamis selalu mendasarkan diri atas mekanisme
analogi hukum (al-qiyās al-fiqhi) yang mengarah, baik kepada pengharaman atau
penghalalan. Sementara itu, hukum berdasarkan atas alasan-alasan legal yang
dengannya ijtihad menemukan adanya pengharaman riba. Namun, dalam pandangan Abu
Zaid, sistem perbankan, termasuk bunga, tidaklah terkait dengan riba, namun ia
memberikan keuntungan kepada depositor. Tidak ada hubungan antara sistem
perbakan modern dan riba pra-Islam yang dilarang Allah dalam al-Qur’an.
Disini, menurut Abu Zaid, konsep riba memiliki level pertama makna
pesan, yakni konsep yang harus dianggap sebagai bukti sejarah yang tidak dapat
diinterpretasikan secara metaforis.
Abu Zaid kemudian beralih menganalisis konteks sosio-historis
posisi perempuan dalam masyarakat pra-Islam. Petanda dari sebagian besar hukum
Islam yang berkaitan dengan perempuan, dan juga signifikansinya, tidak bisa
diungkap tanpa mempertimbangkan kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam kebudayaan
Arab pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. Karena tidak
produktif, perempuan (dan juga anak-anak kecil) tidak mendapatkan warisan;
bahkan sebaliknya, mereka dapat diwariskan laiknya harta warisan. Aturan
standarnya terkait dengan masalah produktivitas ekonomi, sebagaimana yang
mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan kepada seseorang yang tidak bisa
menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak melukai musush”. Ini mengekspresikan
sebuah kebudayaan yang menganggap peperangan sebagai salah satu jalan, bukan
hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi juga harta kekayaan (yang berupa
rampasan perang dan budak tawanan). Dalam konteks kebudayaan semacam ini,
al-Qur’an manyatakan bahwa perempuan mendapatkan warisan setengah dari bagian
laki-laki, dan bahkan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kalalah.
Berdasarkan atas sebuah prinsip hukum Islam: “hukum
berubah berdasarkan atas ada, atau tidak adanya, alasan-alasan legal (al-hukmu
yaruddu ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman), konteks dan alasan legal dari
hak perempuan untuk mendapatkan warisan telah berubah. Pada masa Nabi, secara
ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada masa sekarang perempuan
rata-rata secara ekonomi produktif. Jadi, hukum dalam hal ini haruslah berubah.
Bagian waris perempuan ditetapkan sebagai bagian yang
ditetapkan Allah (farīdhah min Allah) yang tidak seorang pun
diperbolehkan menguranginya. Dari sini, Abu Zaid beralih kepada argumen lain,
yang mendukung argumen pertama (tentang alasan produktivitas perempuan).
Analisis lain dari frase “bagi laki-laki bagian yang sebanding dengan bagian
dua perempuan”, adalah bahwa teks menekankan pada bagian laki-laki dulu
baru kemudian bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an membatasi
bagian laki-laki ketimbang bagian perempuan “sebanding dengan bagian dua
perempuan”. Namun, bagian perempuan ini sebenarnya merupakan bagian
minimum, bukan maksimum. Ini berarti bahwa laki-laki dapat memperoleh lebih
rendah ketimbang bagian yang seharusnya dia terima, dan perempuan dapat
menerima lebih banyak dari bagian yang seharusnya mereka terima berdasarkan
kesepakatan. Dengan mempertimbangkan “arah teks”, perempuan haruslah
mendapatkan bagian waris yang sebanding dengan laki-laki. Dalam hal ini, Abu
Zaid mengkaji hukum pewarisan dalam konteks level makna ketiga, yang harus
diungkap signifikansi pesannya.
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai
level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya
dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak
terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi
sebagai berikut:
·
Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks
linguistik dan bahasa sebagai produk sosial dan kultural.
·
meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan
terhadap konsep adil. Dengan melakukan ini, Abu Zaid berharap bahwa “yang tak
terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.
·
Poligami
dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami
yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.
No.
|
Makna
/Dilalah
|
Signifikansi/magza
|
Yang
tak terkatakan
|
||
Poligami
|
Praktik poligami pra-islam :
poligami tidak terbatas
|
Islam membatasi poligami empat
istri secara adil
|
Sikap adil dalam poligami tidak
mungkin: monogami ditekankan
|
Tujuan akhir legislasi Islam:
monogami
|
Poligami dilarang
|
Kesimpulan
Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip tektualitas al-Qur`an,
bahwa obyek utama kajian al-Qur`an adalah teks kebahasaan. Dengan prinsip dasar
tersebut, studi al-Qur`an harus dikaitan dengan ilmu bahasa (linguistik) dan
kritik sastra. Selain pendekatan tekstual, studi al-Qur`an juga menggunakan
pendekatan histors kritis. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun bukan dalam
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Menurut latar belakang
kontekstual yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Al-Quran berinteraksi dengan akal (untuk dipahami) dan
kemudian al-Quran terbentuk dengan budaya Arab, oleh karena itu Nasr Hamid Abu Zaid
berpendapat bahwa al-Quran adalah produk budaya. Nasr Hamid juga berpendapat bahwa
teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan yang lain
dalam kebudayaan manusia.
Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan hermeneutika
sebagai paradigma takwil. Pembacaan teks melampaui dua dunia, dunia
author, penulis dan interpreter. Pembacaan teks tidak hanya berhenti pada yang
terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai pada signifikansi/magzā, makna yang tidak terkatakan. Takwil adalah suatu upanya kembali pada asal
usul sesuatu. Hal itu dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan
signifikansinya. Sederhananya
Nasr Hamid Abu Zaid menafsirkan al-Qur’an dengan apa pesan yang terkandung yang
tidak terlihat secara dzhohir melainkan dengan kajian yang lebih mendalam. Nasr
Hamid Abu Zaid juga menekankan analisis beberapa konteks dan hubungan
masing-masing dalam proses penafsiran. Beberapa konteks tersebut adalah Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i), Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), Konteks internal (al-siyāq al-dakhili), Konteks linguistik, Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah).
Daftar Pustaka
Latief, Hilman,
Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press,
2003).
E. Sumaryono, Hermenautik sebuah Metode filsafat, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, 1999.
Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan
Hadis , Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Ichwan, Moch.
Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd,
Jakarta: Teraju, 2003.
Arif, Syamsudin,
Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gima Insani, 2003.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik
Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum
al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, Yogyakarta: LKIS,
2001.
______, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj.
Dede Iswadi dkk, Bandung: Korpus, 2003.
______,Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī
bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī
al-‘Arabī, 1994.
______, Dawāir al-Khauf , Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, tth.
______,Mafhūm al-Nāṣ: Dirāsat fi ‘Ulūm al-Qur’an, Beirut:
Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, 2000.
______, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī, Kairo:
Sinā li al-Nasyr, 1992.
[2] Moch. Nur
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), cet. 1, hlm 15-16.
[3] Tampaknya sederhana. Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, imam shalat di
masjid-masjid Mesir dipersyaratkan untuk hafal al-Qur’an.
[4] Moch. Nur
Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16.
[5] Al-Adab,
no. 5, thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak
mencantumkan nama penulisnya, namun pada Al-Adab, no. 8, thn. 9 (Januari
1965), editor mengoreksi bahwa penulis artikel itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd.
Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 16-17.
[6] Al-Adab, no. 7
(1964), h. 406-8 dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 17.
[7] Moch. Nur
Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16-17.
[8] Ibid.,, hlm
17.
[9] Ibid.,, hlm
17-18.
[10] Ibid.,, hlm
18.
[11] Ibid.,, hlm
20.
[12] Syamsudin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gima Insani,
2003), hlm. 168-187.
[13] Ibid.,, hlm.
187-188.
[18] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an, diter. dari Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh
Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 69.
[19] Naṣr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ: Dirāsāt fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut:
Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabī, 2000), hlm. 28.
[20] Ibid.
[21] Naṣr Hamid Abu Zayd, Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī
bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī
al-‘Arabī, 1994), hlm. 74.
[22] Naṣr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo:
Sinā li al-Nasyr, 1992), hlm.
[28] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj.
Dede Iswadi dkk, (Bandung: Korpus, 2003), hlm. 96.
[29] Ibid.,,
[30] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta:
Elsaq Press, 2003), hlm . 66-67.
[32] Ibid.,,
[34] Ibid.,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar