Kamis, 04 Desember 2014

Perbandingan antara Piagetianisme dan Ausubelianisme

Perbandingan antara Piagetianisme dan Ausubelianisme



A.    Pendahuluan
Belajar adalah proses dasar dari pada perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktifitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Pada dasarnya, penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu disebut teori belajar. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar. Suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar itu sendiri adalah teori belajar kognitif. Belajar tidak hanya melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.[1] Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Masalah belajar dan bagaimana proses seseorang memperoleh pengetahuan merupakan masalah yang sangat menarik untuk dibahas secara mendalam. Pandangan-pandangan tentang teori belajar kognitif yang penerapannya di lapangan sangat luas perlu kiranya dipahami secara mendalam oleh para pelaku-pelaku pendidikan dengan kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu pada paparan makalah ini penulis akan menguraikan secara ringkas beberapa pandangan tentang belajar dari tokoh-tokoh kognitifisme tersebut, diantaranya adalah teori perkembangan kognitif Jean Piaget dan teori belajar bermakna David Ausubel.





B.     Teori Belajar “Cognitive Development” dari Piaget
a)      Proses-proses Dasar
Teori perkembangan kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget seorang psikologi yang lahir di Neuchatel Swiss (1896-1980). Ia anak tertua dari Athur Piaget, seorang professor sejarah abad pertengahan. Ayahnya sering mengajak Piaget kecil berjalan-jalan menyusuri hutan di pegunungan Alpen mengamati alam dan mendiskusikan benda atau makhluk yang mereka temui. Latihan inilah kemudian yang menjadi dasar ilmiah proses pengamatannya yang dinilai jeli, cermat dan mampu dituangkannya dalam bahasa ilmiah yang mudah dimengerti. Pada usia 11 tahun artikelnya berhasil dimuat di koran karena ia menulis pengamatannya terhadap burung pipit albino dengan bahasa yang memukau para redaksi. Walaupun ia seorang biologis tetapi penemuannya digunakan dalam psikologi dan menjadi pelopor dalam aspek pengembangan kognitif.[2]
Buku-buku yang dikarang Piaget mayoritas disusun dari berbagai hasil pengamatan bahkan juga dilakukan terhadap anak-anaknya sendiri. Piaget menjadi tokoh yang disegani karena pikiran dan idenya yang orisinil mengenai cara berpikir anak. Ide Piaget digunakan untuk merancang kurikulum TK dan SD atau tontonan televisi terkenal untuk pendidikan anak seperti Sesame Street, Dora dan Blue Clues. Menurut Piaget, pengamatan sangat penting dan menjadi dasar dalam menuntun proses berpikir anak, berbeda dengan perbuatan melihat yang hanya melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan lebih lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa. Oleh karena itu dalam belajar diupayakan siswa harus mengalamis sendiri dan terlibat langsung secara realistik dengan obyek yang dipelajarinya.[3]
Dalam pandangan Piaget, belajar yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh guru, melainkan sesuatu yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai realita.[4] Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, akan tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada tersedia dan orang tinggal mengambilnya, akan tetapi merupakan bentukan (konstruksi) terus menerus seseorang yang acapkali mengadakan reorganisasi lantaran munculnya pemahaman-pemahaman baru.[5] Kerena itulah, teori Piaget terkadang disebut teori konstruktivis, atau yang lebih umum konstruktivisme.[6] Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya beragumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.
Perkembangan bahasa anak menurut Piaget adalah salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Struktur bahasa anak timbul sebagai akibat interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan lingkungan kebahasaannya. Perubahan atau perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan lingkungannya. Hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa pada anak dapat kita lihat dari empat tingkat tahap perkembangan kognitif  pada tabel di bawah ini.
Tahap
Perkiraan Usia
Kemampuan-Kemampuan Utama
Sensorimotor
Lahir - 2 tahun
Anak belum/ tidak mempunyai konsepsi tentang obyek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.[7] Anak-anak berfokus pada apa yang mereka lakukan dan lihat pada saat itu. Kecerdasan telah mempunyai struktur yang didasarkan pada aksi dan pada gerakan-gerakan serta pengamatan tanpa bahasa (latihan gerak).[8]
Pra-operasional
2 – 7 tahun
Anak dapat memikirkan objek dan peristiwa yang berada di luar jangkauan pandangan langsung mereka, namun belum mampu melakukan penalaran logis seperti orang dewasa.[9] Anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.
Operasional konkret
7 – 11 tahun
Penalaran anak mulai menyerupai penalaran orang dewasa, namun masih terbatas pada realitas konkret.[10] Anak telah mampu melihat atau memahami kelas-kelas yang logis dan hubungan-hubungan yang logis diantara benda-benda, termasuk nomor-nomor. Mampu mengatur benda-benda yang sama ukurannya atau beratnya.[11]
Operasional formal
11 tahun - dewasa
Anak-anak dan remaja dapat memikirkan dan membayangkan konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan realitas konkret. Mereka juga mengenali kesimpulan yang logis, sekalipun kesimpulan tersebut berbeda dari kenyataan di dunia sehari-hari.[12]
           
b)      Proses terjadi perkembangan
Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari pada fungsi intelektual dari kongrit menuju abstrak.[13] pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema[14] atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata baru, asimilasi dan akomodasi. Skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan. Proses belajar sesungguhnya terdiri dari tiga tahapan, diantaranya adalah:
1)      Asimilasi adalah proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
2)      Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif pada situasi baru.[15]
3)      Ekuilibrum, disekuilibrum dan ekuilibrasi. Anak-anak sering kali berada dalam kondisi ekuilibrum, mereka dapat menafsirkan dan merespons peristiwa-peristiwa baru dengan menggunakan skema-skema yang sudah ada. Meski demikian, ekuilibrum ini tidaklah berlangsung tanpa akhir. Seiring tumbuh dan berkembang, mereka terkadang menjumpai situasi-situasi di mana pengetahuan atau keterampilan yang mereka miliki tidak memadai. Situasi-situasi semacam ini menimbulkan disekuilibrum, yakni sejenis ketidaknyamanan mental yang mendorong anak-anak berusaha memahami hal-hal yang sedang mereka observasi. Dengan mengubah, mengorganisasikan ulang atau mengintegrasikan skema-skema mereka secara lebih baik (misalnya melalui akomodasi), anak-anak pada akhirnya mampu memahami dan merespons peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terasa membingungkan itu. Proses pergerakan dari ekuilibrum  ke disekuilibrum dan kembali lagi ke ekuilibrum disebut sebagai ekuilibrasi, ekuilibrasi dan hasrat intrinsik anak untuk meraih ekuilibrum mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan pengetahuan yang semakin kompleks.[16]
c)      Implikasi Teori Piaget untuk Pendidikan
Beberapa pemikiran Piaget dapat diimplikasikan untuk pendidikan, diantaranya adalah:
1)      Sebagai dasar pertimbangan guru di dalam menyusun struktur dan urutan mata pelajaran di dalam kurikulum. Yang penting guru harus mengerti alam pikiran anak dan tradisinya dari tingkat-tingkat perkembangan intelektual tersebut.
2)      Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Guru juga meneliti bahasa siswa dengan seksama untuk memahami kualitas berpikir anak di dalam kelas.
3)      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4)      Situasi belajar yang ideal ialah keserasian antara bahan pengajaran yang kompleks dengan tingkat perkembangan konseptual anak. Jadi guru harus dapat menguasai perkembangna kognitif anak, dan menentukan jenis kemampuan yang dibutuhkan oleh anak untuk memahami bahan pelajaran itu.
5)      Tipe kelas yang dikehendaki oleh Piaget menekankan pada transmisi pengetahuan melalui metode ceramah-diskusi dan mendorong guru untuk bertindak sebagai katalisator dan siswa belajar sendiri. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
6)      Guru harus dengan tepat menyesuaikan bahan pengajaran yang kompleks dengan tahap perkembangan anak. Ini berarti pula bahwa guru sering harus menunggu tahap perkembangan anak yang tepat untuk menyampaikan bahan tertentu kepadanya.

C.    Teori Belajar Bermakna David Ausubel
a)      Proses-proses Dasar
Nama lengkap Dr. Ausubel adalah David Paul Ausubel, seorang tokoh ahli psikologi kognitif yang dilahirkan di New York pada tahun 1981, ia tumbuh dan besar serta menamatkan pendidikan dasarnya di Brooklyn New York. Kemudian kuliah di universitas Pennsylvania, mengambil Pre. Medical course dan psikologi. Pada tahun 1944, setelah lulus dari sekolah medis di universitas Middlesex, ia menyelesaikan magang di Rumah Sakit Gouveneur. Ausubel memperoleh gelar PH.D dalam bidang psikologi perkembangan dari universitas Columbia. Serangkaian Gelar Profesor psikologi di beberapa sekolah pendidikan. Pada tahun 1973 dia pensiun dari kehidupan akademis untuk bekerja penuh dalam praktek psikiater (mengatasi gangguan jiwa). Dr. Ausubel juga sering menulis buku panduan dalam psikologi perkembangan dan pendidikan, serta buku-buku khusus tentang topik-topik ketergantungan obat-obatan, psikopatologi, perkembangan Ego, dan lebih dari 150 artikel dalam jurnal-jurnal psikologi dan psikiater. Pada tahun 1976 dia menerima penghargaan Thorndike dari persatuan psikolog Amerika, untuk kontribusinya dalam bidang psikologi pendidikan. Dan pada tahun 1994 dia benar-benar pensiun dari kehidupan profesionalnya dan menghabiskan semua waktunya pada usia 75 tahun untuk menulis.[17]
Sebagai salah satu tokoh ahli psikologi kognitif David Ausubel mengembangkan teori psikologi kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi umum dan mencakup studi ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan mental sejauh berkaitan dengan cara manusia berpikir dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan-kesan yang masuk melalui indra, pemecahan masalah, menggali ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan mental mencakup gejala kognitif, efektif, konatif pada taraf tertentu, yaitu psikomatis yang tidak dapat dipisahkan secarategas satu sama lain. Oleh karena itu, psikologi kognitif tidak hanya menggali dasar gejala khas kognitif, tetapi juga dari efektif (penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan), konatif (keputusan kehendak). Ilmu kognitif menjelaskan bidang penelitian psikologi yang mengurusi proses kognitif seperti perasaan, pengingatan, penalaran, pemutusan dan pemecahan masalah, serta menghindari adanya tumpang-tindih ilmu pengetahuan yang tertarik dalam proses tersebut seperti filisofi.[18]
Belajar menurut pandangan teori ini merupakan suatu proses yang sifatnya internal, tidak dapat diamati secara langsung. Suatu perubahan dalam kemampuan individu respons terhadap situasi-situasi tertentu. Perubahan pada perilaku yang nampak merupakan refleksi dari perubahan yang sifatnya internal tadi. Sehingga Ausubel menekankan pada aspek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Teori belajar bermakna Ausubel dimana informasi baru di asimilasikan dalam pengertian yang dimiliki siswa merupakan teori yang sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Filsafat konstruktivisme dalam proses belajar digunakan pertama kali oleh piaget seorang pakar psikologi kognitif yang banyak memberikan kontribusi bagi pengkajian perkembangan psikologi kognitif. Oleh karena itu piaget banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran Ausubel dalam psikologi kognitif dan konstruktivisme proses belajar.
Kebanyakan ahli psikologi kognitif memilih bentuk discovery learning[19], dan para behaviorist memilih guided learning atau expository teaching[20]. Namun sementara itu Ausubel seorang psikologi kognitif memilih ekspository teaching. Ia mengemukakan, jika ekspository teching itu dapat diorganisir dan disajikan secara baik dapat menghasilkan pengertian dan resensi yang baik pula, sama halnya dengan discovery learning. Singkatnya, baik metode discovery maupun reception/expository, keduanya dapat diusahakan menjadi bermakna, atau menjadi hafalan (rote learning). Yang perlu diperhatikan guru adalah strategi belajarnya. Sebagai contoh belajar berhitung bisa menjadi rote learning bila murid hanya disuruh menghafal formula-formula itu. Sebaliknya bisa bermakna bila murid diajar sehingga tahu arti dan fungsi dari formula-formula tersebut. Dalam hal ini bukan berarti Ausubel menolak discovery learning. Dia berpendapat bahwa discovery lebih cocok bila diterapkan pada murid dalam tingkat perkembangan kognitif kongkrit. Tetapi bila murid telah mencapai tingkat formal dapat dipakai metode reception.[21]
David Ausubel berpendapat bahwa pembelajaran terjadi dalam diri manusia melalui proses bermakna yang mempertalikan peristiwa atau hal baru dengan konsep kognitif atau dalil-dalil yang sudah ada. Makna bukanlah sebuah respons eksplisit, tetapi sebuah “pengalaman sadar yang dinyatakan secara jelas dan dibedakan secara tepat, yang muncul ketika isyarat-isyarat bermakna, simbol, konsep, atau gagasan memiliki kemungkinan untuk dikaitkan dengan dan dimasukkan ke dalam struktur kognitif tertentu seseorang pada basis yang stabil dan substantif”.[22] Siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa.[23]
Singkat dari penjelasan diatas belajar dapat diklasifikasikan berdasarkan cara menyajikan materi, yaitu: (1) Penerimaan dan (2) Penemuan. Sedangkan berdasarkan cara siswa menerima pelajaran yaitu:[24]
1.      Belajar Bermakna
Proses menghubungkan dan menggabungkan materi baru pada hal-hal mapan yang ada dalam struktur kognitif. Ketika materi baru memasuki bidang kognitif, ia berinteraksi dengan, dan digabungkan secara semestinya ke dalam sebuah sistem konseptual yang lebih luas. Fakta bahwa materi itu benar-benar bisa digabungkan, yaitu memungkinkan untuk dikaitkan dengan elemen stabil dalam struktur kognitif, menyebabkan kebermaknaannya.
2.      Belajar Hafalan
Proses penguasaan materi yang dalam hal ini diperlukan sebagai satuan-satuan terpisah yang dikaitkan pada struktur kognitif hanya dalam cara acak dan harfiah, yang tidak memungkinkan pembentukan hubungan (bermakna). Bila tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan. Pada kenyataannya, banyak guru dan bahan-bahan pelajaran jarang sekali menolong para siswa untuk menentukan dan menggunakan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif mereka untuk mengasimilasikan pengetahuan baru, dan akibatnya pada para siswa hanya terjadi hafalan.
b)      Penerapan Pembelajaran Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif peserta didik melalui proses belajar yang bermakna. Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar peserta didik, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk peserta didik pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik.[25]
Pada belajar bermakna peserta didik dapat mengasimilasi pada belajar bermakna secara penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada belajar bermakna secara penemuan, peserta didik diharapkan dapat menemukan sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan. Belajar bermakna dapat terjadi jika peserta didik mampu mengkaitkan materi pelajaran baru dengan struktur kognitif yang sudah ada.
Setiap situasi pembelajaran bisa bermakna jika:[26]
1.      Pembelajar memiliki perangkat pembelajaran bermakna, yaitu sebuah kecenderungan untuk mengaitkan kegiatan pembelajaran baru dengan apa yang sudah mereka ketahui.
2.      Kegiatan pembelajaran itu sendiri punya kemungkinan bermakna bagi pembelajar, yaitu bisa dihubungkan dengan struktur pengetahuan pembelajar. Cara kedua untuk membangun kebermaknaan disebut pembentukan kebermaknaan, merupakan faktor sangat potensial dalam pembelajaran manusia. Kita bisa menjadikan berbagai hal bermakna jika perlu dan jika kita sangat tergerak untuk melakukannya. Para siswa yang tekun belajar untuk menghadapi ujian sering menemukan perangkat mnemonik (alat bantu mengingat) untuk menghafal daftar item, pengingatan bermakna dengan perangkat itu berhasil memunculkan kembali seluruh daftar item.

D.    Analisis dan Perbandingan
Teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi kognitif, yaitu 1) sama-sama mengedepankan proses berpikir, belajar itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan akal pikiran atau ditekankan pada “otak” seseorang, 2) aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung, 4) memahami struktur kognitif siswa, 5) menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai, 6) menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa, dan 7) dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ada dua asumsi dasar utama kerja Piaget: pertama proses mental merupakan kelanjutan dari proses motor bawaan (inborn), dengan kata lain anak dilengkapi secara biologis untuk membuat response atau tanggapan motor tertentu yang pada gilirannya menyediakan struktur bagi proses mental yang terjadi kemudian. Kedua proses berinteraksi dengan dunia sekelilingnya dan ia menemukan eksistensi dunia yang ia alami kala proses interaksi terjadi. Ketika berbicara tentang teori belajar kognitif Piaget, akan ditemukan istilah-istilah:
1.      konstruktivisme, adalah aliran di dalam filsafat ilmu yang menekankan bahwa pengetahuan kita bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (reality), dan bukan pula gambaran dari dunia nyata yang lepas dari pengamatnya, melainkan konstruksi atau bentukan kita sendiri. Dengan kata lain pengetahuan adalah ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman sejauh yang ia alami.proses ini berjalan terus menerus dengan sesekali diadakan reorganisasi karena adanya pengalaman baru.
2.      Schemata (jamak dari skema)
3.      Schema (skema) adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sejumlah ide yang tersusun rapi (organized ideas). Skema berposisi mengantarai individu dengan lingkungannya, seperti halnya mulut berposisi mengantarai perut dengan makanannya.
4.      Operation (operasi) adalah tindak mental (mental acts) melibatkan penggunaan sistem kognitif atau perangkat pola yang terpadu untuk menangani data baru atau item baru atau pengalaman baru.
5.      Equilibration (ekuilibrasi), pergerakan dari ekuilibrasi ke disekuilibrum dan kembali lagi ke ekuilibrum; suatu peoses yang mendorong perkembangan pikiran dan pemahaman yang semakin kompleks.
6.      Assimilation (asimilasi) adalah proses yang dijalankan seseorang untuk menggabungkan atau mengambil dunia realitas yang agak sesuai dengan skema-skema yang ada pada struktur kognitifnya.
7.      Accommodation (akomodasi) adalah tindakan mengubah sesuatu supaya sesuai dengan kondisi baru. Dalam akomodasi ini bisa mengganti yang lama dan bisa membuat blog sendiri.
Belajar menurut David Ausubel adalah proses penuh makna dalam mempertautkan kejadian atau bahan (informasi) baru dengan konsep dan proposisi-proposisi yang sudah ada dalam kognisi. Proses menghubungkan informasi baru dengan konsep lama yang sudah ada itulah akan diperoleh pengetahuan baru yang secara psikologis merupakan struktur secara hierarkhis, serta terjadinya proses kelupaan. Proses lupa merupakan proses sistematis menuju ke daya ingat yang lebih lama. Dalam belajar bermakna Ausubel, ditemukan beberapa istilah-istilah diantara lain:
1.      Constructivism
2.      Cognitive structure (struktur kognitif) adalah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
3.      Subsume (penggolongan)
4.      Subsumption yaitu mentautkan pengetahuan baru pada subsume pada pelajaran yang sudah mapan.
a)      Subordinate learning; Derivatif subsumption dan Correlatif subsumption
b)      Superordinate
c)      Combinational
5.      Assimilation
Bila kita membandingkan teori Piaget dan teori Ausubel maka terlihat bahwa perbedan yang nampak antara keduanya adalah sebagai berikut:
1.      Kategori belajar, menurut Piaget kegiatan belajar terjadi sesuai pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Sementara itu, Ausubel mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
2.      Cara siswa memperoleh pelajaran, Piaget yaitu eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep. Sedangkan Ausubel belajar penerimaan diantaranya belajar  bermakna dan belajar menghafal.
3.      Aktivitas belajar siswa, menurut Piaget terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun menurut Ausubel untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Dari poin diatas pemakalah dapat mengambil garis tengah bahwa diantara dua teori belajar kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun karakteristik peserta didiknya.

E.     Penutup dan Kesimpulan
Berdasarkan hasil deskripsi dan analisa mengenai perbandingan antara teori Piaget dan Ausubel yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa:
1.      Jean Piaget, teorinya disebut "Cognitive Development”. Ada dua asumsi dasar utama kerja Piaget: pertama proses mental merupakan kelanjutan dari proses motor bawaan (inborn), Kedua proses berinteraksi dengan dunia sekelilingnya. Terdapat empat tahap perkembangan yang digambarkan Jean Piaget adalah sebagai berikut: a) Tahap sensorimotor: lahir - 2 tahun, b) Tahap pra-operasional: umur 2 – 7 tahun, c) Tahap operasional konkret: umur 7-11 tahun, d) Tahap operasional formal: umur 11- dewasa.
Proses belajar sesungguhnya terdiri dari tiga tahapan, diantaranya adalah:
·         Asimilasi adalah proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
·         Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif pada situasi baru.
·         Ekuilibrum, disekuilibrum dan ekuilibrasi.
2.      Teori belajar bermakna Ausubel mengatakan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa, dan siswa menggunakan informasi yang sudah difahami. Belajar dapat diklasifikasikan berdasarkan cara menyajikan materi, yaitu: (1) Penerimaan dan (2) Penemuan. Sedangkan berdasarkan cara siswa menerima pelajaran yaitu:
·         Belajar Bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
·         Belajar Hafalan, terjadi bila struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau subsumer-subsumer relevan, maka informasi baru dipelajari secara hafalan.

Daftar Pustaka

Brown, H. Douglas, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2008.

Chair, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.




Ormrod, Jeanne Ellis, Psikologi Pendidikan,Jakarta: Erlangga, 2009.

Sugiharto, dkk, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press 2007.

Soemanto, Wasti. Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pimpinan Pendidikan). Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.

Sudana, Degeng I Nyoman, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel,  Jakarta: Proyek P2T Dirjen Dikti, 1989.

Syakur, Nazri, Proses Psikologi dalam Pemerolehan dan Belajar Bahasa, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.



[1] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 10.
[2] Sugiharto, dkk, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press 2007), hlm. 108-109.
[3] Ibid, hlm. 109.
[4]http://momentumsudutdanrotasibendategar.blogspot.com/2013/10/teori-perkembangan-kognitifpiaget.html
[5] Nazri Syakur, Proses Psikologi dalam Pemerolehan dan Belajar Bahasa, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 78.
[6] Konstruktivisme adalah permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang dikonstruksi sendiri oleh siswa. Teori ini sangat percaya bahwa siswa mampu mencari sendiri masalah, menyusun sendiri pengetahuannya melalui kemampuan berpikir dan tantangan yang dihadapinya, menyelesaikan dan membuat konsep mengenai keseluruhan pengalaman realistic dan teori dalamsatu bangunan utuh.
[7] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pimpinan Pendidikan), (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), hlm. 25.
[8] Abdul Chair, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 106
[9] Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan,(Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 44.
[10] Ibid, hlm. 45.
[11] Abdul Chair, Psikolinguistik…, hlm.  107.
[12] Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi.., hlm. 47.
[13] Wasty Soemanto, Psikologi …, hlm. 123.
[14] Skema adalah kelompok tindakan atau pikiran yang serupa dan terorganisasi, yang digunakan secara berulang dalam rangka merespons lingkungan.
[15] Sugiharto, dkk, Psikologi …, hlm 110.
[16] Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi …, hlm. 42.
[18] Ibid,
[19] Discovery learning adalah pembelajaran menemukan oleh Brunner “ salah satu tokoh kognitif” yaitu suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa.
[20] Expository teaching sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak mengerti. Pada metode ekspositori peserta didik belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Peserta didik mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya.
[21] Wasti Soemanto. Psikologi..., hlm. 215-216.
[22] H. Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2008), hlm. 97.
[23] Degeng I Nyoman Sudana, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel, (Jakarta: Proyek P2T Dirjen Dikti, 1989), hlm. 115.
[24] H. Douglas Brown, Prinsip … hlm. 98.
[26] H. Douglas Brown, Prinsip … hlm. 99.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar