Perbandingan
antara Piagetianisme dan Ausubelianisme
A.
Pendahuluan
Belajar adalah proses dasar dari pada perkembangan hidup
manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan kualitatif individu
sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktifitas dan prestasi hidup manusia
tidak lain adalah hasil dari belajar. Pada dasarnya, penjelasan
mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di
dalam pikiran siswa itu disebut teori belajar. Berdasarkan suatu teori belajar,
diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai
hasil belajar. Suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar itu
sendiri adalah teori belajar kognitif. Belajar tidak hanya melibatkan hubungan
antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir
yang sangat kompleks.
Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang
individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.[1] Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan
suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar
adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam
diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya
untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah
laku, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Masalah belajar dan bagaimana proses seseorang
memperoleh pengetahuan merupakan masalah yang sangat menarik untuk dibahas secara mendalam. Pandangan-pandangan tentang teori belajar kognitif
yang penerapannya di lapangan sangat luas perlu kiranya dipahami secara
mendalam oleh para pelaku-pelaku pendidikan dengan kelebihan dan kekurangannya.
Oleh karena itu pada paparan makalah ini penulis akan menguraikan secara
ringkas beberapa pandangan tentang belajar dari tokoh-tokoh kognitifisme
tersebut, diantaranya adalah teori perkembangan kognitif Jean Piaget dan teori belajar bermakna David Ausubel.
B.
Teori Belajar “Cognitive
Development” dari Piaget
a) Proses-proses
Dasar
Teori perkembangan kognitif dikembangkan
oleh Jean Piaget seorang
psikologi yang lahir di Neuchatel
Swiss (1896-1980). Ia anak tertua dari Athur Piaget, seorang professor sejarah
abad pertengahan. Ayahnya sering mengajak Piaget kecil berjalan-jalan menyusuri
hutan di pegunungan Alpen mengamati alam dan mendiskusikan benda atau makhluk
yang mereka temui. Latihan inilah kemudian yang menjadi dasar ilmiah proses
pengamatannya yang dinilai jeli, cermat dan mampu dituangkannya dalam bahasa
ilmiah yang mudah dimengerti. Pada usia 11 tahun artikelnya berhasil dimuat di
koran karena ia menulis pengamatannya terhadap burung pipit albino dengan
bahasa yang memukau para redaksi. Walaupun ia seorang biologis tetapi
penemuannya digunakan dalam psikologi dan menjadi pelopor dalam aspek
pengembangan kognitif.[2]
Buku-buku yang dikarang Piaget mayoritas disusun dari
berbagai hasil pengamatan bahkan juga dilakukan terhadap
anak-anaknya sendiri. Piaget menjadi tokoh yang disegani karena pikiran dan
idenya yang orisinil mengenai cara berpikir anak. Ide Piaget digunakan untuk
merancang kurikulum TK dan SD atau tontonan televisi terkenal untuk pendidikan
anak seperti Sesame Street, Dora dan Blue Clues.
Menurut Piaget, pengamatan sangat penting dan menjadi dasar dalam
menuntun proses berpikir anak, berbeda dengan perbuatan melihat yang hanya
melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan lebih
lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa. Oleh karena itu dalam
belajar diupayakan siswa harus mengalamis sendiri dan terlibat langsung secara
realistik dengan obyek yang dipelajarinya.[3]
Dalam pandangan
Piaget, belajar yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh guru,
melainkan sesuatu yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Piaget memandang
bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai
realita.[4] Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, akan tetapi merupakan konstruksi
kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada tersedia dan orang tinggal
mengambilnya, akan tetapi merupakan bentukan (konstruksi) terus menerus
seseorang yang acapkali mengadakan reorganisasi lantaran munculnya
pemahaman-pemahaman baru.[5]
Kerena itulah, teori Piaget terkadang disebut teori konstruktivis, atau
yang lebih umum konstruktivisme.[6] Piaget
yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi
terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan
teman sebaya, khususnya beragumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas
pemikiran yang akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.
Perkembangan
bahasa anak menurut Piaget adalah salah satu diantara beberapa kemampuan yang
berasal dari kematangan kognitif. Struktur bahasa anak
timbul sebagai akibat interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi
kognitif si anak dengan lingkungan kebahasaannya. Perubahan atau perkembangan
intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan
lingkungannya. Hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa
pada anak dapat kita lihat dari empat tingkat tahap
perkembangan kognitif pada tabel di bawah ini.
Tahap
|
Perkiraan Usia
|
Kemampuan-Kemampuan Utama
|
Sensorimotor
|
Lahir - 2
tahun
|
Anak belum/ tidak mempunyai konsepsi tentang obyek yang tetap. Ia
hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.[7]
Anak-anak berfokus pada apa yang mereka lakukan dan lihat pada saat itu.
Kecerdasan telah mempunyai struktur yang didasarkan pada aksi dan pada
gerakan-gerakan serta pengamatan tanpa bahasa (latihan gerak).[8]
|
Pra-operasional
|
2 – 7 tahun
|
Anak dapat memikirkan objek dan peristiwa yang berada di luar
jangkauan pandangan langsung mereka, namun belum mampu melakukan penalaran
logis seperti orang dewasa.[9]
Anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model
tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.
|
Operasional
konkret
|
7 – 11 tahun
|
Penalaran anak mulai menyerupai penalaran orang dewasa, namun
masih terbatas pada realitas konkret.[10]
Anak telah mampu melihat atau memahami kelas-kelas yang logis dan hubungan-hubungan
yang logis diantara benda-benda, termasuk nomor-nomor. Mampu mengatur
benda-benda yang sama ukurannya atau beratnya.[11]
|
Operasional
formal
|
11 tahun
- dewasa
|
Anak-anak dan remaja dapat memikirkan dan membayangkan
konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan realitas konkret. Mereka juga
mengenali kesimpulan yang logis, sekalipun kesimpulan tersebut berbeda dari
kenyataan di dunia sehari-hari.[12]
|
b)
Proses terjadi perkembangan
Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas
gradual dari pada fungsi intelektual dari kongrit menuju abstrak.[13]
pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema[14]
atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan
menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya
sehingga terbentuk skemata baru, asimilasi dan akomodasi. Skemata yang
terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut
pengetahuan. Proses belajar sesungguhnya terdiri dari tiga
tahapan, diantaranya adalah:
1) Asimilasi adalah proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke
struktur kognitif yang
sudah ada dalam benak siswa.
2) Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif pada situasi baru.[15]
3)
Ekuilibrum, disekuilibrum dan ekuilibrasi.
Anak-anak sering kali berada dalam kondisi ekuilibrum,
mereka dapat menafsirkan dan merespons peristiwa-peristiwa baru dengan
menggunakan skema-skema yang sudah ada. Meski demikian, ekuilibrum ini tidaklah
berlangsung tanpa akhir. Seiring tumbuh dan berkembang, mereka terkadang
menjumpai situasi-situasi di mana pengetahuan atau keterampilan yang mereka
miliki tidak memadai. Situasi-situasi semacam ini menimbulkan disekuilibrum, yakni sejenis ketidaknyamanan mental yang
mendorong anak-anak berusaha memahami hal-hal yang sedang mereka observasi.
Dengan mengubah, mengorganisasikan ulang atau mengintegrasikan skema-skema
mereka secara lebih baik (misalnya melalui akomodasi), anak-anak pada akhirnya
mampu memahami dan merespons peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terasa
membingungkan itu. Proses pergerakan dari ekuilibrum ke disekuilibrum dan kembali lagi ke
ekuilibrum disebut sebagai ekuilibrasi,
ekuilibrasi dan hasrat intrinsik anak untuk meraih ekuilibrum mendorong
perkembangan kemampuan berpikir dan pengetahuan yang semakin kompleks.[16]
c) Implikasi Teori Piaget untuk Pendidikan
Beberapa
pemikiran Piaget dapat diimplikasikan untuk pendidikan, diantaranya adalah:
1) Sebagai dasar pertimbangan guru di dalam menyusun struktur dan urutan mata
pelajaran di dalam kurikulum. Yang penting guru harus mengerti alam pikiran
anak dan tradisinya dari tingkat-tingkat perkembangan intelektual tersebut.
2) Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Guru
juga meneliti bahasa siswa dengan seksama untuk memahami kualitas berpikir
anak di dalam kelas.
3) Bahan
yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4) Situasi belajar yang ideal ialah keserasian antara bahan pengajaran yang
kompleks dengan tingkat perkembangan konseptual anak. Jadi guru harus dapat
menguasai perkembangna kognitif anak, dan menentukan jenis kemampuan yang
dibutuhkan oleh anak untuk memahami bahan pelajaran itu.
5) Tipe kelas yang dikehendaki oleh Piaget menekankan pada transmisi
pengetahuan melalui metode ceramah-diskusi dan mendorong guru untuk bertindak
sebagai katalisator dan siswa belajar sendiri.
Di
dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.
6) Guru harus dengan tepat menyesuaikan bahan pengajaran yang kompleks dengan
tahap perkembangan anak. Ini berarti pula bahwa guru sering harus menunggu
tahap perkembangan anak yang tepat untuk menyampaikan bahan tertentu kepadanya.
C. Teori Belajar Bermakna David Ausubel
a)
Proses-proses Dasar
Nama lengkap
Dr. Ausubel adalah David Paul Ausubel, seorang tokoh ahli psikologi kognitif
yang dilahirkan di New York pada tahun 1981, ia tumbuh dan besar serta
menamatkan pendidikan dasarnya di Brooklyn New York. Kemudian kuliah di universitas
Pennsylvania, mengambil Pre. Medical course dan psikologi. Pada tahun 1944,
setelah lulus dari sekolah medis di universitas Middlesex, ia menyelesaikan magang
di Rumah Sakit Gouveneur. Ausubel memperoleh gelar PH.D dalam bidang psikologi
perkembangan dari universitas Columbia. Serangkaian Gelar Profesor psikologi di
beberapa sekolah pendidikan. Pada tahun 1973 dia pensiun dari kehidupan
akademis untuk bekerja penuh dalam praktek psikiater (mengatasi gangguan jiwa).
Dr. Ausubel juga sering menulis buku panduan dalam psikologi perkembangan dan
pendidikan, serta buku-buku khusus tentang topik-topik ketergantungan
obat-obatan, psikopatologi, perkembangan Ego, dan lebih dari 150 artikel dalam
jurnal-jurnal psikologi dan psikiater. Pada tahun 1976 dia menerima penghargaan
Thorndike dari persatuan psikolog Amerika, untuk kontribusinya dalam bidang
psikologi pendidikan. Dan pada tahun 1994 dia benar-benar pensiun dari
kehidupan profesionalnya dan menghabiskan semua waktunya pada usia 75 tahun
untuk menulis.[17]
Sebagai salah
satu tokoh ahli psikologi kognitif David Ausubel mengembangkan teori psikologi
kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi umum dan mencakup studi
ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan mental sejauh berkaitan dengan cara
manusia berpikir dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan-kesan yang masuk
melalui indra, pemecahan masalah, menggali ingatan pengetahuan dan prosedur
kerja yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan mental mencakup
gejala kognitif, efektif, konatif pada taraf tertentu, yaitu psikomatis yang
tidak dapat dipisahkan secarategas satu sama lain. Oleh karena itu, psikologi
kognitif tidak hanya menggali dasar gejala khas kognitif, tetapi juga dari
efektif (penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan), konatif
(keputusan kehendak). Ilmu kognitif menjelaskan bidang penelitian psikologi
yang mengurusi proses kognitif seperti perasaan, pengingatan, penalaran,
pemutusan dan pemecahan masalah, serta menghindari adanya tumpang-tindih ilmu
pengetahuan yang tertarik dalam proses tersebut seperti filisofi.[18]
Belajar menurut
pandangan teori ini merupakan suatu proses yang sifatnya internal, tidak dapat
diamati secara langsung. Suatu perubahan dalam kemampuan individu respons
terhadap situasi-situasi tertentu. Perubahan pada perilaku yang nampak
merupakan refleksi dari perubahan yang sifatnya internal tadi. Sehingga Ausubel
menekankan pada aspek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama
terhadap belajar. Teori belajar bermakna Ausubel dimana informasi baru di
asimilasikan dalam pengertian yang dimiliki siswa merupakan teori yang sangat
dekat dengan inti pokok konstruktivisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil konstruksi manusia. Filsafat konstruktivisme dalam proses belajar digunakan
pertama kali oleh piaget seorang pakar psikologi kognitif yang banyak
memberikan kontribusi bagi pengkajian perkembangan psikologi kognitif. Oleh
karena itu piaget banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran Ausubel dalam
psikologi kognitif dan konstruktivisme proses belajar.
Kebanyakan ahli psikologi kognitif memilih
bentuk discovery learning[19], dan para
behaviorist memilih guided learning atau expository teaching[20].
Namun sementara itu Ausubel seorang psikologi kognitif memilih ekspository teaching. Ia
mengemukakan, jika ekspository teching itu dapat diorganisir dan disajikan
secara baik dapat menghasilkan pengertian dan resensi yang baik pula, sama
halnya dengan discovery learning. Singkatnya, baik metode discovery maupun
reception/expository, keduanya dapat diusahakan menjadi bermakna, atau menjadi
hafalan (rote learning). Yang perlu diperhatikan guru adalah strategi
belajarnya. Sebagai contoh belajar berhitung bisa menjadi rote learning bila
murid hanya disuruh menghafal formula-formula itu. Sebaliknya bisa bermakna
bila murid diajar sehingga tahu arti dan fungsi dari formula-formula tersebut.
Dalam hal ini bukan berarti Ausubel menolak discovery learning. Dia berpendapat
bahwa discovery lebih cocok bila diterapkan pada murid dalam tingkat perkembangan
kognitif kongkrit. Tetapi bila murid telah mencapai tingkat formal dapat
dipakai metode reception.[21]
David Ausubel berpendapat
bahwa pembelajaran terjadi dalam diri manusia melalui proses bermakna yang
mempertalikan peristiwa atau hal baru dengan konsep kognitif atau dalil-dalil
yang sudah ada. Makna bukanlah sebuah respons eksplisit, tetapi sebuah
“pengalaman sadar yang dinyatakan secara jelas dan dibedakan secara tepat, yang
muncul ketika isyarat-isyarat bermakna, simbol, konsep, atau gagasan memiliki
kemungkinan untuk dikaitkan dengan dan dimasukkan ke dalam struktur kognitif
tertentu seseorang pada basis yang stabil dan substantif”.[22] Siswa akan belajar dengan baik
jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik
dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian akan mempengaruhi
pengaturan kemampuan belajar siswa.[23]
Singkat dari penjelasan
diatas belajar dapat
diklasifikasikan berdasarkan cara menyajikan materi, yaitu: (1) Penerimaan dan
(2) Penemuan. Sedangkan berdasarkan cara siswa menerima
pelajaran yaitu:[24]
1.
Belajar Bermakna
Proses menghubungkan dan menggabungkan materi
baru pada hal-hal mapan yang ada dalam struktur kognitif. Ketika materi baru
memasuki bidang kognitif, ia berinteraksi dengan, dan digabungkan secara
semestinya ke dalam sebuah sistem konseptual yang lebih luas. Fakta bahwa materi itu benar-benar bisa
digabungkan, yaitu memungkinkan untuk dikaitkan dengan elemen stabil dalam
struktur kognitif, menyebabkan kebermaknaannya.
2.
Belajar Hafalan
Proses penguasaan materi yang dalam hal ini
diperlukan sebagai satuan-satuan terpisah yang dikaitkan pada struktur kognitif
hanya dalam cara acak dan harfiah, yang tidak memungkinkan pembentukan hubungan
(bermakna). Bila tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru
pada konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar
hafalan. Pada kenyataannya, banyak guru dan bahan-bahan pelajaran jarang sekali
menolong para siswa untuk menentukan dan menggunakan konsep-konsep relevan
dalam struktur kognitif mereka untuk mengasimilasikan pengetahuan baru, dan
akibatnya pada para siswa hanya terjadi hafalan.
b) Penerapan
Pembelajaran Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat
mengembangkan potensi kognitif peserta didik melalui proses belajar yang
bermakna. Ausubel beranggapan bahwa aktivitas
belajar peserta didik, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar
akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun
untuk peserta didik pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan
langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih
efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram,
dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar
akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi
pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang
sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik.[25]
Pada belajar bermakna peserta didik dapat
mengasimilasi pada belajar bermakna secara penerimaan, materi pelajaran
disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada belajar bermakna secara penemuan,
peserta didik diharapkan dapat menemukan sendiri informasi konsep atau dari
materi pelajaran yang disampaikan. Belajar bermakna dapat terjadi jika peserta
didik mampu mengkaitkan materi pelajaran baru dengan struktur kognitif yang
sudah ada.
Setiap situasi pembelajaran bisa bermakna jika:[26]
1. Pembelajar memiliki
perangkat pembelajaran bermakna, yaitu sebuah kecenderungan untuk mengaitkan
kegiatan pembelajaran baru dengan apa yang sudah mereka ketahui.
2.
Kegiatan pembelajaran itu sendiri punya kemungkinan bermakna bagi
pembelajar, yaitu bisa dihubungkan dengan struktur pengetahuan pembelajar. Cara kedua
untuk membangun kebermaknaan disebut pembentukan kebermaknaan, merupakan faktor
sangat potensial dalam pembelajaran manusia. Kita bisa menjadikan berbagai hal
bermakna jika perlu dan jika kita sangat tergerak untuk melakukannya. Para
siswa yang tekun belajar untuk menghadapi ujian sering menemukan perangkat
mnemonik (alat bantu mengingat) untuk menghafal daftar item, pengingatan
bermakna dengan perangkat itu berhasil memunculkan kembali seluruh daftar item.
D. Analisis dan Perbandingan
Teori diatas memiliki kesamaan
yang sama-sama dalam ranah psikologi kognitif, yaitu 1) sama-sama mengedepankan proses berpikir, belajar itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan
akal pikiran atau ditekankan pada “otak” seseorang, 2)
aktivitas belajar siswa,
terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau
mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung, 4) memahami struktur kognitif siswa, 5)
menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai, 6) menekankan
pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah
dipunyai siswa, dan 7) dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ada dua asumsi dasar utama kerja Piaget: pertama proses
mental merupakan kelanjutan dari proses motor bawaan (inborn), dengan
kata lain anak dilengkapi secara biologis untuk membuat response atau tanggapan
motor tertentu yang pada gilirannya menyediakan struktur bagi proses mental
yang terjadi kemudian. Kedua proses berinteraksi dengan dunia
sekelilingnya dan ia menemukan eksistensi dunia yang ia alami kala proses
interaksi terjadi. Ketika berbicara tentang teori belajar kognitif Piaget, akan
ditemukan istilah-istilah:
1.
konstruktivisme,
adalah aliran di dalam filsafat ilmu yang menekankan bahwa pengetahuan kita
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (reality), dan bukan pula gambaran
dari dunia nyata yang lepas dari pengamatnya, melainkan konstruksi atau
bentukan kita sendiri. Dengan kata lain pengetahuan adalah ciptaan manusia yang
dikonstruksikan dari pengalaman sejauh yang ia alami.proses ini berjalan terus
menerus dengan sesekali diadakan reorganisasi karena adanya pengalaman baru.
2.
Schemata
(jamak dari skema)
3.
Schema
(skema) adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sejumlah ide yang
tersusun rapi (organized ideas). Skema berposisi mengantarai individu
dengan lingkungannya, seperti halnya mulut berposisi mengantarai perut dengan
makanannya.
4.
Operation
(operasi) adalah tindak mental (mental acts) melibatkan penggunaan sistem
kognitif atau perangkat pola yang terpadu untuk menangani data baru atau item
baru atau pengalaman baru.
5.
Equilibration
(ekuilibrasi), pergerakan dari ekuilibrasi ke disekuilibrum dan kembali lagi ke
ekuilibrum; suatu peoses yang mendorong perkembangan pikiran dan pemahaman yang
semakin kompleks.
6.
Assimilation
(asimilasi) adalah proses yang dijalankan seseorang untuk menggabungkan atau
mengambil dunia realitas yang agak sesuai dengan skema-skema yang ada pada
struktur kognitifnya.
7.
Accommodation
(akomodasi) adalah tindakan mengubah sesuatu supaya sesuai dengan kondisi baru.
Dalam akomodasi ini bisa mengganti yang lama dan bisa membuat blog sendiri.
Belajar menurut David Ausubel adalah proses penuh makna dalam
mempertautkan kejadian atau bahan (informasi) baru dengan konsep dan
proposisi-proposisi yang sudah ada dalam kognisi. Proses menghubungkan
informasi baru dengan konsep lama yang sudah ada itulah akan diperoleh
pengetahuan baru yang secara psikologis merupakan struktur secara hierarkhis,
serta terjadinya proses kelupaan. Proses lupa merupakan proses sistematis
menuju ke daya ingat yang lebih lama. Dalam belajar bermakna Ausubel, ditemukan
beberapa istilah-istilah diantara lain:
1.
Constructivism
2.
Cognitive
structure (struktur kognitif) adalah fakta-fakta, konsep-konsep, dan
generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
3.
Subsume
(penggolongan)
4.
Subsumption
yaitu mentautkan pengetahuan baru pada subsume pada pelajaran yang sudah mapan.
a)
Subordinate
learning; Derivatif subsumption dan Correlatif subsumption
b)
Superordinate
c)
Combinational
5.
Assimilation
Bila kita membandingkan teori Piaget dan teori Ausubel maka terlihat bahwa perbedan yang nampak antara keduanya adalah sebagai berikut:
1. Kategori belajar, menurut Piaget kegiatan belajar terjadi sesuai pola tahap-tahap
perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi,
akomodasi, dan equilibrasi. Sementara itu, Ausubel mengatakan bahwa proses
belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui
tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan
menggunakan informasi yang sudah dipahami.
2. Cara siswa
memperoleh pelajaran, Piaget yaitu eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi
konsep. Sedangkan Ausubel belajar penerimaan diantaranya belajar bermakna
dan belajar menghafal.
3.
Aktivitas
belajar siswa, menurut Piaget terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan
dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung.
Namun menurut Ausubel untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka
kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka lebih efektif kalau
guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Dari
poin diatas pemakalah dapat mengambil garis tengah bahwa diantara dua teori belajar kognitif
diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta
dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk
menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem
pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter
masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
E. Penutup dan Kesimpulan
Berdasarkan hasil deskripsi dan analisa mengenai
perbandingan antara teori Piaget dan Ausubel yang telah dipaparkan sebelumnya,
penulis menyimpulkan bahwa:
1.
Jean Piaget, teorinya disebut "Cognitive Development”. Ada dua asumsi dasar utama kerja Piaget: pertama proses
mental merupakan kelanjutan dari proses motor bawaan (inborn), Kedua
proses berinteraksi dengan dunia sekelilingnya. Terdapat empat tahap
perkembangan yang digambarkan Jean Piaget adalah sebagai berikut: a) Tahap
sensorimotor: lahir - 2 tahun, b) Tahap pra-operasional: umur 2 – 7 tahun, c)
Tahap operasional konkret: umur 7-11 tahun, d) Tahap operasional formal: umur
11- dewasa.
Proses belajar sesungguhnya terdiri dari tiga
tahapan, diantaranya adalah:
·
Asimilasi adalah
proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
·
Akomodasi adalah
penyesuaian struktur kognitif pada situasi baru.
·
Ekuilibrum, disekuilibrum dan ekuilibrasi.
2. Teori belajar bermakna Ausubel mengatakan bahwa siswa akan
belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan
demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa, dan siswa menggunakan informasi yang sudah difahami. Belajar dapat
diklasifikasikan berdasarkan cara menyajikan materi, yaitu: (1) Penerimaan dan
(2) Penemuan. Sedangkan berdasarkan cara siswa menerima
pelajaran yaitu:
·
Belajar Bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan
yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
·
Belajar Hafalan, terjadi bila struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau
subsumer-subsumer relevan, maka informasi baru dipelajari secara hafalan.
Daftar Pustaka
Brown, H. Douglas, Prinsip Pembelajaran dan
Pengajaran Bahasa, Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2008.
Chair, Abdul, Psikolinguistik
Kajian Teoritik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
http://momentumsudutdanrotasibendategar.blogspot.com/2013/10/teori-perkembangan-kognitif-piaget.html
Ormrod,
Jeanne Ellis, Psikologi Pendidikan,Jakarta: Erlangga, 2009.
Sugiharto,
dkk, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press 2007.
Soemanto,
Wasti. Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pimpinan Pendidikan). Jakarta:
PT Bina Aksara, 1987.
Sudana, Degeng
I Nyoman, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel, Jakarta: Proyek P2T Dirjen Dikti, 1989.
Syakur, Nazri, Proses Psikologi dalam Pemerolehan dan
Belajar Bahasa, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Uno,
Hamzah B., Orientasi Baru Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara,
2008.
[4]http://momentumsudutdanrotasibendategar.blogspot.com/2013/10/teori-perkembangan-kognitifpiaget.html
[5] Nazri Syakur, Proses Psikologi dalam Pemerolehan dan Belajar Bahasa, (Yogyakarta:
Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 78.
[6] Konstruktivisme adalah permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang
dikonstruksi sendiri oleh siswa. Teori ini sangat percaya bahwa siswa mampu
mencari sendiri masalah, menyusun sendiri pengetahuannya melalui kemampuan
berpikir dan tantangan yang dihadapinya, menyelesaikan dan membuat konsep
mengenai keseluruhan pengalaman realistic dan teori dalamsatu bangunan utuh.
[7] Wasty
Soemanto, Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pimpinan Pendidikan),
(Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), hlm. 25.
[8] Abdul Chair, Psikolinguistik
Kajian Teoritik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 106
[11]
Abdul Chair, Psikolinguistik…,
hlm. 107.
[14] Skema adalah
kelompok tindakan atau pikiran yang serupa dan terorganisasi, yang digunakan
secara berulang dalam rangka merespons lingkungan.
[18]
Ibid,
[19]
Discovery learning adalah pembelajaran menemukan oleh Brunner “
salah satu tokoh kognitif” yaitu suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan
menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia
dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa.
[20] Expository teaching sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya
kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada
metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus
bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal,
dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar
dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak
mengerti. Pada metode ekspositori peserta didik belajar lebih aktif daripada metode
ceramah. Peserta didik mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling
bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya.
[22] H. Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (Jakarta:
Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2008), hlm. 97.
[23] Degeng
I Nyoman Sudana, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel, (Jakarta: Proyek
P2T Dirjen Dikti, 1989), hlm. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar