Kamis, 04 Desember 2014

Pendekatan Teologis dalam Studi Islam

Pendekatan Teologis dalam Studi Islam


A.    Pendahuluan
Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesungguhnya tentang dunia ini, sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk semua manusia. Namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomodir segala kebutuhan manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”, karena berangkat dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang terus meminta korban. Kemudian sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini.
Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argumen tekstual (normative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Melihat kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan pendekatan-pendekatan teologis yang selama ini cenderung normative, tekstual dan “melangit”, sehingga tidak bisa terjamah oleh manusia. Oleh karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan teologis yang kontekstual “membumi”, sehingga dapat dinikmati oleh manusia dan tidak bertentangan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang ada. Berangkat dari hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai, (1) apa pengertian teologis dan pendekatannya dalam studi Islam?, (2) bagaimana sejarah dan akar munculnya teologi klasik?, (3) bagaimana membangun teologi kontemporer dan karakteristiknya yang sesuai dengan perkembangan zaman saat ini?
B.     Pengertian Teologis
Teologi secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “theos” yang berarti Tuhan dan “Logos” yang berarti Ilmu.[1] Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara terminologi, teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannya,[2] juga membahas hubungan Tuhan dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.[3]
Dalam istilah Arab, ajaran dasar itu disebut dengan usul al-din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalau diberi nama kitab ushul al-din oleh para pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu disebut juga ‘aqaid, credos atau keyakinan. Teologi dalam Islam disebut juga ilmu al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam disebut sebagai agama monotheisme merupakan sifat yang terpenting diantara segala sifat Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilmu al-kalam.[4]
Sebenarnya “kalam” dalam aqidah Islam adalah semacam ilmu atau seni.[5] Kalam dalam pengertiannya adalah “perkataan atau percakapan”, dalam pengertian teologis kalam disebut sebagai kata-kata (firman) Tuhan, maka teologi dalam Islam disebut ilmu al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallimin, yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Menurut Amin Abdullah, Teologi ialah suatu ilmu yang membahas tentang keyakinan, yaitu sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan bergama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif, dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis, dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus dimenangkan.[6]
Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk  ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam.

C.    Pendekatan Teologis
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekuarangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.[7]
Pendekatan teologis normative merupakan salah satu pendekatan teologis dalam upaya memahami agama secara harfiah. Pendekatan normative ini dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.[8]
Agama sebagai objek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu aspek historisitas dan aspek normatif. Aspek historis menjadi objek penelitian sejarah agama dan fenomenologi histroris. Sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan kebenaran untuk mengatur kehidupan individu dan kehidupan sosial. Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi. Pendekatan teologi semacam ini adalah normatif dan subjektif terhadap agama yang pada umumnya dilakukan oleh penganut agama tertentu dalam usaha untuk menyelidiki agama lain. Oleh sebab itu, ia selalu bersifat apologis.[9] yakni menyerang keyakinan agama lain untuk memperkokoh agama penganutnya.
Joach Wach berkomentar bahwa apabila teologi bertugas untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan kepercayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat agama, dan juga untuk memperkokoh semangat dan gairah mempertahankan kepercayaan tersebut, maka ia bertanggungjawab pula untuk membimbing dan memurnikannya. Selanjutnya dalam teologi ada upaya untuk mencintai kebenaran, Namun harus membenci ketidakbenaran. Akan tetapi tidak benar jika karena ingin memuji kepercayaan sendiri, seseorang harus membenci dan menghina orang-orang yang memiliki kepercayaan lain.[10]
Pendekatan teologis agama dipandang sebagai keyakinan atau dogma Tuhan yang bersifat absolute. Keyakinan ini bersifat subjektif dan particular. Dalam arti, bahwa suatu kebenaran yang diyakini berlaku untuk orang-orang yang meyakini saja, sementara orang yang di luar belum tentu meyakininya, atau bahkan menolaknya. Disebut partikuler (bagian) karena keyakinan tersebut tidak berlaku secara universal (umum), hanya bagi pemeluk agama tertentu. Karenanya, terdapat kepercayaan hanya berbeda-beda, seperti teologi Islam, teologi Kristen, dan teologi Yahudi.[11]
Doktrin teologi macam apa pun, bahkan juga studi agama-agama, secara historis-empiris yang manapun tidak akan mampu memberi sumbangan pemikiran untuk melerai ketertumpang-tindihan dan ketercampur-adukan antara dimensi doktrin-teologi dan dimensi kesejarahan dalam wujud praksis sosial dan ketertumpang-tindihan antara teks dan realitas. Bercampur-aduknya kepentingan golongan (baik dari segi kepentingan ekonomi, politik pendidikan, sosial, budaya maupun pertahanan keamanan) dengan doktrin-teologis, menjadikan hubungan antar umat beragama semakin ruwet. Agak sulit sekarang untuk hanya secara pasrah mengkaji aspek doktrinal-teologis dari suatu agama dengan melepaskan keterkaitannya dengan aspek sosial praksis dan kultural-sosiologis yang menyertainya, dan begitu sebaliknya. Keduanya sudah demikian membaur dan campur-aduk.[12]
Oleh sebab itu tidak semua pendekatan teologi bersifat normatif, tetapi ada pula pendekatan teologi yang bersifat dialogis, bahkan ada yang bersifat konvergensi. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Dalam hubungan ini, dapat dipahami bahwa agama dapat diteliti menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu dikategorikan penelitian sosial, penelitian legalistik atau pendekatan filosofis.[13]
Pendekatan Teologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan penelitian agama. Hal ini dilakukan untuk menjawab persoalan apakah agama dapat diteliti. Sementara ahli dan ulama, menurut Noeng Muhadjir, bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi dibidangnya masing-masing. Ekstremitasnya menimbulkan filsafat di antara para ulama, dan menabukan non empirik dan non sensual diantara para ilmuan. Apapun alasan yang dikemukakan, adalah bahwa pendekatan teologi dalam penelitian agama dimaksudkan untuk menjembatani para pakar ilmu agama (ulama) dengan ilmuan lainnya, karena pendekatan teologi dalam penelitian agama berada di kawasan naqli atau wahyu dan ada yang aqli atau produk budaya manusia.[14]
D.    Sejarah dan Akar Munculnya Teologi Klasik
Ilmu kalam terbentuk sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M) tepatnya pada masa al-Makmun setelah ulama’ Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu para ahli menganggap pendiri ilmu ini adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka mempertemukan cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itulah dipakai perkataan al-Kalam untuk ilmu yang berdiri sendiri.[15]
Proses terbentuknya ilmu teologi sangat terkait dengan situasi politik pasca terbunuhnya ’Usman ibn ’Affan r.a. saat itu kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa partai yang masing-masing merasa sebagai pihak yang benar dan menganggap calon dari golongannya yang berhak menjadai pemimpin umat islam. Kemudian partai-partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela pendiriannya, dan selanjutnya perselisihan diantara mereka menjadi perselisihan agama dan berkisar pada soal iman dan kafir. Menurut sebagian kecil umat islam saat itu, ’Usman ibn ’Affan r.a melakukan kesalahan dalam memimpin, bahkan kafir. Pembununya berada di pihak yang benar. Sebaliknya, pihak lain mengatakan pembunuh khalifah ’Usman r.a telah melakukan kejahatan besar, oleh karena itu mereka berdosa besar dan kafir, mengingat beliau adalah pemimpin umat islam yang sah. Dari sinilah mulai timbul persoalan besar yang selama ini memenuhi buku-buku keislaman, yaitu persoalan dosa besar, iman dan hakekatnya, dan persoalan kepemimpinan.[16]
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari persoalan dosa besar kemudian muncul persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan. Dari persoalan ini lahir beberapa aliran teologi. Aliran tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Aliran Khawarij, berpandangan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti murtad oleh karena itu wajib dibunuh. Kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.
2.      Aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih muknin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak.
3.      Aliran Mu’tazilah, aliran ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin. Dalam teologi mu’tazilah, orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina manzilatain.”
4.      Aliran Qodariah, aliran ini terkenal dengan pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan berbuat). Aliran ini memiliki pandangan yang menyatakan manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat
5.      Aliran Jabariah, aliran Jabariah berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan dari Allah atau dengan kata lain manusia tidak mempunyai kemerdekaan menentukan kehendak dan perbuatan.
6.      Aliran Asy’ariah, aliran Asy’ariah merupakan aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari (935 M). Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang Mu’tazilah yang merasa tidak puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat keluarnya Abu Musa al-Asy’ari dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa Mu’tazilah di cap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.
7.      Aliran Maturidiah, aliran yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (944 M).
Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan Maturidiah di kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini dibedakan dalam lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran Maturidiah cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.[17]
1.      Teologi Islam Klasik dan Fenomena Kekinian
Masuknya filsafat Yunani dengan tuntutan rasionalnya berpengaruh besar di kalangan masyarakat muslim dan menimbulkan kehausan akan pengetahuan filosofis, kegelisahan untuk menjelaskan hal-hal yang diimani, dan keinginan untuk mengkoordinasikan keseluruhan pengetahuan manusia. Walaupun suatu kenyataan yang tidak dapat kita nafikan bahwa konflik politik di kalangan umat Islam merupakan ”ragi” yang mewarnai tumbuhnya teologi Islam di masa awal.[18]
Hal menarik yang dapat kita kemukakan di sini, bahwa dalam perkembangannya, teologi Islam merupakan wujud respons terhadap semakin gencarnya penyebaran filsafat Yunani dan unsur-unsur ajaran luar Islam yang ikut terlibat dalam pergumulan pemikiran keislaman saat itu. Ideologi dan pemikiran-pemikiran filosofis itu sedemikian luas penyebarannya sehingga ulama’ merasa perlu untuk mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat Islam. Mereka lalu menulis karya-karya yang berisi antara lain argumen-argumen yang diharapkan dapat menjadi benteng bagi akidah umat Islam dengan dalil-dalil yang ditawarkan tidak lagi hanya berkutat pada dalil-dalil naqli tapi sudah mulai banyak melibatkan logika-logika rasional.[19]
Dengan kata lain, keberadaan teologi Islam merupakan fakta yang menunjukkan adanya sense of social crisis para ahli terhadap realitas masyarakat. Pada saat itu umat Islam sedang menghadapi problem perlunya upaya rasionalisasi terhadap pokok-pokok akidah mereka akibat pengaruh mainstream pemikiran Yunani yang mulai merambah umat Islam. Dapat dimaklumi jika pada saat itu persoalan yang dibahas teologi Islam hanya berkutat dengan permasalahan-permasalahan yang bersifat transenden-spekulatif.[20] Paradigma pemikiran teologi Islam klasik lebih cenderung (tend) pada persoalan-persoalan al-mantiq, al-thabi’iyat dan al-illahiyyat.[21]
Bangunan keilmuan teologi Islam klasik nampaknya terus bertahan dan dikaji terus menerus tanpa mengalami perubahan orientasi. Teologi Islam dalam pembahasannya hanya berkutat pada persoalan-persoalan ”langit”. Kalau kita lihat dalam data sejarah, kemenangan pemikiran teologi klasik atas pemikiran kritis-filosofis seperti yang terjadi di seputar kontroversi antara al-Ghazali (w.1111 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M) telah menjadikan pemikiran teologi seolah sebagai sesuatu yang taken for granted sehingga tidak perlu kajian dan rumusan ulang.[22]
Adanya ”pembekuan” yang benih-benihnya telah ditebarkan oleh al-Ghazali adalah realitas lain yang juga telah berpengaruh terhadap mandeknya pemikiran teologis dalam Islam. Di samping itu, disebabkan karena kecenderungan para ahli untuk mengikut pada para teolog awal dan juga adanya upaya penanggalan proses rasional yang dipandang sebagai sesuatu yang sia-sia dan tidak relevan merupakan faktor yang berperan juga dalam meneguhkan stagnasi pemikiran tersebut.[23]
Berkenaan dengan al-Ghazali, kita tidak bermaksud menghakiminya sebagai penyebab kemandegan pemikiran Islam. Hal di atas adalah sebuah ilustrasi akan hilangnya peran vital semangat pemikiran kritis sebagaimana yang ditunjukkan atas kasus perseteruan al-Ghazali dengan pakar lainnya. Para ahli setelah Beliau tidak memandang produk pemikirannya tidak lain merupakan hasil pemikiran panjang dan bersifat relatif serta merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran pada zamannya. Hal inilah yang sebenarnya yang penting untuk dipahami dalam membaca realitas kesejarahan teologi Islam jika kita tidak ingin menjadikan pemikiran Islam mengalami stagnasi.[24]
Dalam perkembangan selanjutnya, kondisi sosial, budaya dan politik umat Islam sama sekali berubah. Kemajuan peradaban Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menimbulkan kegelisahan para pemikir Islam kontemporer. Keprihatinan Arkoun, bersama-sama Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, juga Hasan Hanafi untuk batas-batas tertentu, ditimbulkan oleh persoalan mengapa ilmu-ilmu agama Islam, termasuk teologi Islam, masih ”berjalan di tempat”, baik dari segi konstruksi epistemologi, metodologi maupun muatan isinya. Padahal kehidupan manusia telah berubah sebegitu fantastisnya di samping juga problematika dan mainstroam pemikiran kontemporer sangat berbeda dengan era klasik Islam.[25]
Wacana pemikiran kontemporer yang saat ini sedang berkembang dan menjadi mainstream, perlu dan harus direspons secara positif-kritis terutama dalam upaya untuk menjawab berbagai problem yang sedang melanda umat Islam. Dengan demikian, teologi Islam pada abad pertama yang lebih disibukkan dengan persoalan-persoalan ghaib (metafisika) serta lebih banyak diwarnai oleh hal-hal yang bersifat intelektual-spekulatif sudah saatnya ditelaah ulang.[26] Para pemikir Islam tidak perlu lagi dituntut dan disibukkan untuk ”membela Tuhan” ketika dilecehkan oleh filosof kontemporer misalnya dengan perkataan ”Tuhan telah mati!”, tetapi mereka justru ditantang untuk menyelesaikan persoalan umat Islam secara lebih luas; pembebasan dari kolonialisme, pembagian kekayaan secara lebih adil dan merata, kebebasan menyampaikan pendapat, persatuan dan pemberdayaan kembali dari keterbelakangan.[27]
Oleh karena itu, hal terpenting saat ini adalah bagaimana mengembalikan peran vital yang telah diukir secara nyata oleh para ahli teologi Islam klasik terhadap persoalan sosial yang melingkupinya. Berbagai persoalan umat Islam yang selama ini mengedepan adalah sesuatu yang perlu direspons dan dicari jalan keluarnya oleh para teolog muslim saat ini.
2.      Kritik Terhadap Teologi Klasik
Teologi (ilmu kalam) dalam khazanah intelektual Islam merupakan suatu ilmu yang memusatkan pembicaraannya pada dan tentang Tuhan dengan segala dimensi-Nya.  Ruang lingkup kajiannnya seputar kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-Nya, wujud-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, keesaan-Nya dan semacamnya.[28] Jadi, dimensi kemanusiaan dalam teologi nyaris tak tersentuh. Kalaupun ada di antara temanya  menyentuh tentang manusia, hanyalah dalam dimensi vertikal hubungan manusia dengan Tuhan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, persoalan politik juga begitu besar pengaruhnya terhadap munculnya persoalan teologi dalam Islam. Kondisi politik, yaitu terbunuhnya para Khulafa’ Al-Rasyidin menjadi salah satu sumber utama untuk perumusan konsepsi, kategorisasi dan definisi ilmu kalam atau teologi. Iman, kufur, nifak, dosa besar, Qadariyah dan Jabariyah. Setelah itu muncul pengakuan kelompok Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, para ilmuwan akidah menyusun dan  membukukan pengertian dan batasan-batasan ilmu kalam. Sudah barang tentu bahan-bahan pertimbangan untuk pembakuan definisi-definisi ilmu kalam amat sangat terbatas dari situasi seperti itu, dibandingkan dengan bahan-bahan pertimbangan yang bisa diperoleh dari luar situasi pertikaian politik.
Dengan kata lain, paling tidak, proses pembakuan keilmuan teologi klasik disusun tidak dalam situasi yang tenang tentram, tetapi disusun sesuai dengan alur kepentingan kepentingan kelompok yang hidup pada saat itu. Teologi tanpa terasa telah membaur menjadi kepentingan politik. Barangkali berangkat dari kenyataan seperti itu, datanglah kritik yang beraneka ragam dari para pemikir yang datang belakangan terhadap eksistensi ilmu kalam atau teologi dan pemahaman pemahaman tauhid akidah dalam format keilmuan klasik. Al-Ghazali menyatakan bahwa akidah yang diformulasikan lewat ilmu kalam tidak dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi melalui ilmu tasawuflah seseorang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibnu Taymiyah juga berpendapat demikian. Karena ilmu kalam menggunakan akal sebagai alat untuk memahami agama, maka ia menganjurkan agar menjauhi ilmu kalam.[29]
Muhammad Iqbal juga melihat adanya anomali-anomali yang melekat dalam literatur teologi klasik. Teologi Asy’ariyah menggunakan cara berfikir dialektika yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Pemikiran teologi Asy’ariyah dinilai tidak kondusif untuk memajukan  dan membangkitkan etos keilmuan dalam pemikiran islam. Mu’tazilah, sebaliknya terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya tidak menyadari bahwa dalam wilayah agama, pemisahan antara pemikiran agama dari pengalaman konkret merupakan kesalahan besar. Al-Ghazali juga dipersalahkan oleh iqbal, karena dianggap telah memorak porandakan struktur pengalaman keberagamaan dengan hanya mendasarkan agama pada landasan skeptik, dengan alasan bahwa pemikiran manusia yang terbatas tidaklah dapat mengetahui dan memahami sesuatu yang tidak terbatas.
Karena itu, banyak dari para pemikir intelektual muslim mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistimologi lama menuju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Sebab itu juga banyak kritik yang disuarakan oleh para pemikir Islam terhadap teologi Islam Klasik. Salah satunya adalah Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan rekontruksi teologi Islam ke arah antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif.[30]
Senada dengan pandangan tersebut,  Fazlur Rahman menyatakan bahwa teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat.[31]
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harusnya mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, keterbelakangan, dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialog, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat dari hal itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memiliki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date. Al-Qur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal.[32]
Kalau kita analisis dari pandangan-pandangan tersebut, setidaknya terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya:
·         Pertama, ilmu kalam  menonjolkan  pembahasannya pada hal-hal abstrak seputar eksistensi Tuhan dan atribut-atribut yang melekat pada-Nya, yang tidak berkorelasi dengan realitas sosial.
·         Kedua, Teologi Islam tradisional dalam paradigmanya cenderung spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya.
·         Ketiga, Paradigma teologi klasik Islam sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman, karena itu sudah saatnya direformasi, rekonstruksi, dan reformulasi dalam modelnya yang baru dan progresif.
Sadar akan implikasi dan konsekuensi dari pola berpikir seperti itu, khususnya dalam masyarakat pluralistik, maka perlunya mengajukan pola pikir pendamping yang disebut critical reflection, sebuah istilah yang dapat disepadankan dengan philosophical reflection. Merupakan refleksi filosofis berkenaan dengan pokok-pokok keimanan umat Islam. Teologi Islam, dengan demikian, merupakan pembahasan tentang iman yang bercorak filsafat, dipengaruhi pikiran dan metode filsafat. Meskipun demikian, antara teologi dan filsafat ada perbedaan diantara keduanya. Pertama, para teolog sebagai pembela setia Islam, ia berangkat dari dasar-dasar iman dan dibuktikan secara rasional (filsafati). Para filosof berangkat dari keraguan dan pencarian kebenaran iman. Kedua, bahwa obyek teologi Islam adalah persoalan keimanan (terbatas) sedang filsafat lebih luas lagi.[33]
E.     Membangun Teologis Kontemporer
Jika teologi betul-betul ingin menjadi ilmu maka ia tidak cukup semata-mata merupakan studi atas kitab suci tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan berdasarkan data empiris kontemporer. Studi agama masa depan harus meminjam dan mengadaptasi sejumlah pemahaman dan penemuan dari berbagai disiplin keilmuan yang lain. Pola pikir dan logika yang digunakan dalam ilmu kalam (‘aqidah, doktrin, dogma) adalah pola pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks). Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja dari pola pikir yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive.[34]
Menurut Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembengan ilmu pengetahuan (history of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan. Yaitu pola pikir abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa yang didapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan manusia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang aktual.[35]
Kendatipun semangat fundamentalism begitu menyolok dalam fenomena seperti ini tapi yang demikian bukanlah satu-satunya gejala yang ada di dalamnya, bahkan terdapat perkembangan yang sering bertolak belakang. Perubahan yang cenderung anarchis dan kemajemukan wacana mendorong sebagian cendikiawan untuk memunculkan paradigma pemikiran yang lebih inklusif, toleran, dan perlunya pengertian terhadap kelompok lain.[36]
Imre Lakatos, sudah banyak bicara tentang bagaimana teologi ini didekatkan dengan program riset, perubahan yang akan dilakukan bukanlah konstruksi bangunan dasar keagamaan secara keseluruhan melainkan wilayah periperial atau wilayah interpretasi terhadap ajaran. Dalam program riset ini, terdapat aturan-aturan metodologis yang salah satunya disebut dengan negative heuristic.  Tujuan metode ini adalah mempertahankan hard core (inti pokok). Dalam negative heuristic, penelitian tidak boleh diarahkan kepada hard core akan tetapi diarahkan kepada hipotesis  pembantu yang berada di sekeliling hard core yang berfungsi sebagai protective belt (lingkaran pengaman). Hipotesis bantu inilah yang menjadi sasaran penelitian sehingga harus selalu dilakukan penyesuaian atau  menggantinya secara keseluruhan untuk mengamankan hard core.  Dengan lain ungkapan, bahwasanya wilayah inti (hard core) dari pada wahyu serta dimensi normativitas ajaran agama akan tetap seperti itu apa adanya, dan hanya wilayah interpretasi ajaran agama yang bersifat historis-relativ yang akan masih berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, yang akan terkena proses dekonstruksi. Jika memang begitu adanya, maka dengan terjadinya proses dekonstruksi  justru menunjukkan adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya.[37]
Berbeda dengan Lakatos, Thienmann menghendaki  sebuah teologi yang terlepas dari kekuatan lembaga-lembaga atau dasar-dasar teori sebelumnya, sehingga seseorang akan dapat berimprovisasi sendiri. Ia mengatakan tidak ada petunjuk untuk memilih salah satu dari berbagai sistem yang ada. Jadi ciri khas dari sebuah teologi postmodernism itu memang anti-foundational yang  menolak segala bentuk konsep yang berfungsi sebagai starting point untuk membangun sebuah kebenaran, dan juga anti-totalizing yang mengkritik teori tentang totalitas dari sebuah realitas.[38]
Apa yang ingin disampaikan disini  adalah bahwa kebenaran agama itu biarlah berjalan apa adanya, substansi kebenaran agama berlangsung apa adanya dan tak perlu diragukan apalagi ditolak. Hanya saja yang utama dari semua itu adalah perlunya pembenahan ulang terhadap berbagai konsep dan teori dimana dan dalam kondisi apa  ilmu kalam itu dibangun.[39]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan para pemikir muslim kontemporer, maka dapat diketahui ada beberapa karakteristik teologi kontemporer, yaitu:
1.      Bersifat Antroposentris
Hasan Hanafi memunculkan paradigma baru dalam kajian teologi kontemporer, yaitu paradigma yang bersifat antroposentris. Begitu antroposentrisnya, sampai ia mengatakan bahwa Tuhan adalah diri manusia itu sendiri. Kita tidak perlu memikirkan Tuhan yang ada di langit. Sebab ia tidak butuh pemikiran kita. Energi pikiran kita, sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang masih banyak belum terselesaikan. Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang sebenarnya dituju oleh al-Qur’an bukanlah Tuhan melainkan manusia dan tingkah lakunya. Nuansa pemikiran dan refleksi sosial dibelakang pernyataan Rahman tampak ada disitu.[40] Wilayah normative theology perlu segera dipertautkan dengan isu-isu yang muncul dalam wilayah practical theology.
2.      Integrasi Teologi dan Filsafat
Era klasik skolastik yang mempertentangkan dengan tajam kedua pendekatan tersebut dalam memecahkan persoalan agama  telah lewat, isu keterbukaan berkat globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak mungkin dibendung dengan cara apapun mendorong orang untuk mencari altenatif baru dengan menggunakan pendekatan yang lebih bernuansa sosio-filosofis-qur’anis.[41]
3.      Berparadigma kritis
Paradigma ini memandang islam sebagai  agama yang menjadi pendorong revolusi sosial untuk memerangi struktur yang menindas. Tujuan dasar paradigma ini adalah persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan social (social justice).[42]
4.      Berprinsip Pegembangbiakan dan Pembebasan
Prinsip pengembangbiakan bukan aturan metodologis melainkan suatu prinsip bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengikuti metode atau teori tunggal. Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan membiarkan teori-teori yang beraneka ragam. Prinsip ini dapat dipergunakan untuk studi teologi kontemporer, setiap pengkaji dapat secara sadar memaknai doktrin-doktrin teologi sesuai pengalaman keagamaan dan situasi sosialnya sendiri. Dengan begitu, orang tidak lagi saling mengkafirkan dan merasa paling benar sendiri.











Kesimpulan

Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep khususnya yang didasarkan pada ide theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi sering berpusat pada doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati islam, baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainya yang kehadiranya sama-sama penting. Apabila islam hanya dilihat dari satu sisi saja, maka akibat yang ditimbulkanya pun mudah ditebak, yaitu reduksi dan distorsi makna. Sebagai akibatnya gambaran islam yang utuh tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim sepihak rasanya akan sulit dicapai. Perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, menjadi sebuah tuntutan untuk memahami agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan tologis-normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara oprasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Sebaiknya umat islam tidak hanya memahami islam melalui pendekatan teologis saja (diperlukan pendekatan berbagai disiplin ilmu-ilmu yang  lain) bahkan sikap dan pengalaman agama lain  untuk melihat lebih dekat agama kita sendiri. Agar pemahaman tentang islam menjadi integral, universal, dan komprehenshif.



Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Dinamika Islam Cultural, Bandung; Mizan, 2000.
_______, Amin, Falsafah Kalam Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_______, Amin, Filsafat Teologi Islam di Era Potmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_______, Amin, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
_______, M. Amin, Rekonstruksi Metodologi Agama  dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelegius, Yogyakarta: SUKA Press, 2003.
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Cet. II. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta,1990.
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Nalar Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuan dan Mempertahankan Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Amalados, Michael, Teologi Pembebasan Asia, Yogkakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Azra, Azyumardi, Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Bachtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.
Esha, Muhammad In’am, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Hamzah, Ya’kub,,  Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu, Jakarta: Pedoman Ilmu 1991.
Hanafi, A, Theology Islam, Jakarta; Bulan Bintang , 1979.
_____, Hassan, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh. Jakarta: P3M, 1991.
_____, Jaya, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.
Ma’arif, Syafi’I, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Manaf, Mujtahid Abd., Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Meuleman, J.H., Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I; Yoyakata: Rake Sarasin, 2000.
Nasution, Harun, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2002.
Nata, Abudin, Metodologi Studi islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Nurhakim, Moh., Metodologi Studi Islam, Malang: Umm Press, 2004.
Rahman, Fazlur, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an. Terj. Anas Mahudin (Bandung; Pustaka, 1983.
Romas, Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000.
Sirait, Sangkot, Ilmu Kalam (Sebuah Kritik Epistemologi), Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Jurnal Mukaddimah, Vol. XIV,No. 25 Juli-Desember 2008.
Wach, Joachim, The Comparative Study of Religions, diterjemahkan oleh Djamannuri dengan judul “Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengamalan Keagamaan. Cet. IV. Jakarta: RajaGrafiondo Persada, 1994.


[1]Jaya. Hanafi, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), hlm. 11.
[2] Ya’kub Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu 1991), hlm. 10.
[3] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 18.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 9.
[5] Muhammad Abed al-Jabiri, Nalar Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuan dan Mempertahankan Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 22.
[6]Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 10.
[7] Abudin Nata, Metodologi Studi islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 35.
[8] Ibid., hlm. 28.
[9] Mujtahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994),  hlm. 3.
[10] Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, diterjemahkan oleh Djamannuri dengan judul “Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengamalan Keagamaan. Cet. IV. (Jakarta: RajaGrafiondo Persada, 1994) hlm. 13.
[11] Moh. Nurhakim, Metodologi Studi Islam, (Malang: Umm Press, 2004), hlm. 17.
[12] M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Agama  dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelegius, (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), hlm. 16.
[13] Taufik Abdullah, dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Cet. II. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta,1990), hlm. 90.
[14] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I; (Yoyakata: Rake Sarasin, 2000), hlm. 255.
[15] A Hanafi, Theology Islam (Jakarta; Bulan Bintang , 1979), hlm. 11.
[16] Ibid., hlm. 8-16.
[17] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2009), hlm. 9-11.
[18] Muhammad In’am Esha, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 2.
[19] Ibid.,
[20] Amin Abdullah, Filsafat Teologi Islam di Era Potmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 3.
[21] Ibid., hlm. 87.
[22] Muhammad In’am Esha, Telogi Islam.., hlm. 3.
[23] Ibid., hlm. 3.
[24] Ibid., hlm. 3-4.
[25] J.H. Meuleman, Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 9.
[26] Syafi’I Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 3.
[27] Muhammad In’am Esha, Telogi Islam…, hlm. 5-6.
[28] Harun Nasution, Teologi Islam.., hlm. 79-149.
[29]Amin Abdullah, Dinamika Islam Cultural, (Bandung; Mizan, 2000), hlm. 53-55.
[30] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh. (Jakarta: P3M, 1991) hlm. 205.
[31] Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000), hlm. 82.
[32] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995), hlm. 36
[33] Muhammad In’am Esha, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 13.
[34] Pola pikir inductive mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang bisa ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya diabstraksikan menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Dalam pola pikir inductive tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam dunia konkret ini dapat dijadikan sebagai bahan dasar ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu kalam. Sangkot Sirait, Ilmu Kalam (Sebuah Kritik Epistemologi), Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Jurnal Mukaddimah, Vol. XIV,No. 25 Juli-Desember 2008,  hlm. 257.
[35] Sangkot Sirait, Ilmu Kalam.., hlm. 257.
[36] Azyumardi Azra, Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 16.
[37] Sangkot Sirait, Ilmu Kalam…, hlm. 261.
[38] Ibid.,
[39] Ibid.,
[40] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an. Terj. Anas Mahudin (Bandung; Pustaka, 1983), hlm. 4, 40,75.
[41] Amin Abdullah, Dinamika Islam,  ibid.,  hlm. 48-51.
[42] Michael Amalados, Teologi Pembebasan Asia, (Yogkakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 240.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar