Pendekatan Teologis dalam Studi Islam
A.
Pendahuluan
Agama
sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesungguhnya tentang
dunia ini, sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk semua
manusia. Namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat
mengakomodir segala kebutuhan manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu
yang “menakutkan”, karena berangkat dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik,
pertentangan yang terus meminta korban. Kemudian sebagai tanggapan atas kritik
itu, orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan yang paling
otentik antara agama dengan masalah-masalah kehidupan sosial budaya
kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini.
Apa
yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya
pemikiran-pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada
struktur-struktur logis argumen tekstual (normative). Ini berarti mengabaikan
segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara semestinya. Struktur logis
tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut tradisi, kehidupan
sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Melihat
kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan,
khususnya yang berkaitan dengan pendekatan-pendekatan teologis yang selama ini
cenderung normative, tekstual dan “melangit”, sehingga tidak bisa terjamah oleh
manusia. Oleh karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan teologis yang
kontekstual “membumi”, sehingga dapat dinikmati oleh manusia dan tidak bertentangan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang
ada. Berangkat dari hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai,
(1) apa pengertian teologis dan pendekatannya dalam studi Islam?, (2) bagaimana
sejarah dan akar munculnya
teologi klasik?, (3) bagaimana membangun
teologi kontemporer dan karakteristiknya yang sesuai dengan perkembangan zaman
saat ini?
B.
Pengertian Teologis
Teologi secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “theos” yang
berarti Tuhan dan “Logos” yang berarti Ilmu.[1]
Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara terminologi,
teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang terkait
dengannya,[2]
juga membahas hubungan Tuhan dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.[3]
Dalam istilah Arab, ajaran dasar itu disebut
dengan usul al-din dan oleh karena
itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalau diberi nama kitab ushul al-din oleh para
pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu disebut juga ‘aqaid, credos atau keyakinan.
Teologi dalam Islam disebut juga ilmu al-tauhid. Kata
tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam disebut
sebagai agama monotheisme merupakan sifat yang terpenting diantara segala sifat
Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilmu al-kalam.[4]
Sebenarnya “kalam” dalam aqidah Islam adalah
semacam ilmu atau seni.[5]
Kalam dalam pengertiannya adalah “perkataan atau percakapan”, dalam pengertian
teologis kalam disebut
sebagai kata-kata (firman) Tuhan, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilmu al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan
kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog
dalam Islam memang diberi nama mutakallimin, yaitu ahli
debat yang pintar memakai kata-kata.
Menurut Amin Abdullah, Teologi ialah suatu
ilmu yang membahas tentang keyakinan, yaitu sesuatu yang sangat fundamental
dalam kehidupan bergama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif,
dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis,
dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus
dimenangkan.[6]
Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada
umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid.
Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasannya dan kurang bersifat
filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan
tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan
lain yang ada dalam teologi Islam.
C.
Pendekatan
Teologis
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan
pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat
sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekuarangan sedikit pun
dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan
seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif
pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan,
tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.[7]
Pendekatan teologis
normative merupakan salah satu pendekatan teologis dalam upaya memahami agama
secara harfiah. Pendekatan normative ini dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan yang lainnya.[8]
Agama sebagai objek
penelitian mempunyai dua aspek, yaitu aspek historisitas dan aspek normatif.
Aspek historis menjadi objek penelitian sejarah agama dan fenomenologi
histroris. Sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang
memberikan pengakuan akan kebenaran untuk mengatur kehidupan individu dan
kehidupan sosial. Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi. Pendekatan
teologi semacam ini adalah normatif dan subjektif terhadap agama yang pada
umumnya dilakukan oleh penganut agama tertentu dalam usaha untuk menyelidiki
agama lain. Oleh sebab itu, ia selalu bersifat apologis.[9]
yakni menyerang keyakinan agama lain untuk memperkokoh agama penganutnya.
Joach Wach berkomentar bahwa apabila teologi bertugas
untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan kepercayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat agama, dan juga untuk memperkokoh semangat dan gairah mempertahankan
kepercayaan tersebut, maka ia bertanggungjawab pula untuk membimbing dan
memurnikannya. Selanjutnya dalam teologi ada upaya untuk
mencintai kebenaran, Namun harus membenci ketidakbenaran. Akan tetapi tidak
benar jika karena ingin memuji kepercayaan sendiri, seseorang harus membenci
dan menghina orang-orang yang memiliki kepercayaan lain.[10]
Pendekatan
teologis agama dipandang sebagai keyakinan atau dogma Tuhan yang bersifat
absolute. Keyakinan ini bersifat subjektif dan particular. Dalam arti, bahwa
suatu kebenaran yang diyakini berlaku untuk orang-orang yang meyakini saja,
sementara orang yang di luar belum tentu meyakininya, atau bahkan menolaknya.
Disebut partikuler (bagian) karena keyakinan tersebut tidak berlaku secara
universal (umum), hanya bagi pemeluk agama tertentu. Karenanya, terdapat kepercayaan
hanya berbeda-beda, seperti teologi Islam, teologi Kristen, dan teologi Yahudi.[11]
Doktrin teologi macam
apa pun, bahkan juga studi
agama-agama, secara historis-empiris yang manapun tidak akan mampu
memberi sumbangan pemikiran untuk melerai ketertumpang-tindihan dan
ketercampur-adukan antara dimensi doktrin-teologi dan dimensi kesejarahan dalam
wujud praksis sosial dan ketertumpang-tindihan antara teks dan realitas.
Bercampur-aduknya kepentingan golongan (baik dari segi kepentingan ekonomi,
politik pendidikan, sosial, budaya maupun pertahanan keamanan) dengan
doktrin-teologis, menjadikan hubungan antar umat beragama semakin ruwet. Agak
sulit sekarang untuk hanya secara pasrah mengkaji aspek doktrinal-teologis dari
suatu agama dengan melepaskan keterkaitannya dengan aspek sosial praksis dan
kultural-sosiologis yang menyertainya, dan begitu sebaliknya. Keduanya sudah
demikian membaur dan campur-aduk.[12]
Oleh sebab itu
tidak semua pendekatan teologi bersifat normatif, tetapi ada pula pendekatan
teologi yang bersifat dialogis, bahkan ada yang bersifat konvergensi. Adapun
yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama.
Dalam hubungan
ini, dapat dipahami bahwa agama dapat diteliti menggunakan berbagai paradigma.
Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama
itu dikategorikan penelitian sosial, penelitian legalistik atau pendekatan
filosofis.[13]
Pendekatan Teologi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan penelitian agama. Hal ini
dilakukan untuk menjawab persoalan apakah agama dapat diteliti. Sementara ahli
dan ulama, menurut Noeng Muhadjir, bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi
dibidangnya masing-masing. Ekstremitasnya menimbulkan filsafat di antara para
ulama, dan menabukan non empirik dan non sensual diantara para ilmuan. Apapun
alasan yang dikemukakan, adalah bahwa pendekatan teologi dalam penelitian agama
dimaksudkan untuk menjembatani para pakar ilmu agama (ulama) dengan ilmuan
lainnya, karena pendekatan teologi dalam penelitian agama berada di kawasan
naqli atau wahyu dan ada yang aqli atau produk budaya manusia.[14]
D.
Sejarah dan Akar Munculnya Teologi Klasik
Ilmu kalam terbentuk
sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M) tepatnya pada masa al-Makmun
setelah ulama’ Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan
kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu para ahli menganggap pendiri ilmu ini
adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka mempertemukan cara (sistem)
filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itulah dipakai perkataan al-Kalam
untuk ilmu yang berdiri sendiri.[15]
Proses terbentuknya ilmu
teologi sangat terkait dengan situasi politik pasca terbunuhnya ’Usman ibn ’Affan r.a. saat itu kaum muslimin terpecah-pecah
menjadi beberapa partai yang masing-masing merasa sebagai pihak yang benar dan
menganggap calon dari golongannya yang berhak menjadai pemimpin umat islam.
Kemudian partai-partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela pendiriannya, dan selanjutnya perselisihan diantara mereka
menjadi perselisihan agama dan berkisar pada soal iman dan kafir. Menurut
sebagian kecil umat islam saat itu, ’Usman ibn ’Affan r.a melakukan kesalahan dalam memimpin, bahkan kafir.
Pembununya berada di pihak yang benar. Sebaliknya, pihak lain mengatakan
pembunuh khalifah ’Usman r.a telah melakukan kejahatan besar, oleh karena itu mereka berdosa
besar dan kafir, mengingat beliau adalah pemimpin umat islam yang sah. Dari
sinilah mulai timbul persoalan besar yang selama ini memenuhi buku-buku
keislaman, yaitu persoalan dosa besar, iman dan hakekatnya, dan persoalan
kepemimpinan.[16]
Persoalan-persoalan yang
terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang akhirnya
membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa
yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari persoalan dosa besar
kemudian muncul persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan. Dari
persoalan ini lahir beberapa aliran teologi. Aliran tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Aliran Khawarij,
berpandangan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti murtad oleh
karena itu wajib dibunuh. Kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang
yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan
rasulnya.
2. Aliran Murji’ah, yang
menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih muknin dan bukan
kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk
mengampuni atau tidak.
3. Aliran Mu’tazilah, aliran
ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan
pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin. Dalam
teologi mu’tazilah, orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina manzilatain.”
4. Aliran Qodariah, aliran
ini terkenal dengan pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan
berbuat). Aliran ini memiliki pandangan yang menyatakan manusia mempunyai
kebebasan berkehendak dan berbuat
5. Aliran Jabariah, aliran
Jabariah berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar
paksaan dari Allah atau dengan kata lain manusia tidak mempunyai kemerdekaan
menentukan kehendak dan perbuatan.
6. Aliran Asy’ariah, aliran
Asy’ariah merupakan aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan
al-Asy’ari (935 M). Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang
Mu’tazilah yang merasa tidak puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat
keluarnya Abu Musa al-Asy’ari dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi
bahwa Mu’tazilah di cap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.
7. Aliran Maturidiah, aliran
yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (944 M).
Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan
Maturidiah di kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini
dibedakan dalam lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung dengan
pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran Maturidiah cenderung pada pendekatan
Imam Hanifah.[17]
1.
Teologi Islam Klasik dan Fenomena Kekinian
Masuknya filsafat Yunani
dengan tuntutan rasionalnya berpengaruh besar di kalangan masyarakat muslim dan
menimbulkan kehausan akan pengetahuan filosofis, kegelisahan untuk menjelaskan
hal-hal yang diimani, dan keinginan untuk mengkoordinasikan keseluruhan
pengetahuan manusia. Walaupun suatu kenyataan yang tidak dapat kita nafikan
bahwa konflik politik di kalangan umat Islam merupakan ”ragi” yang mewarnai
tumbuhnya teologi Islam di masa awal.[18]
Hal menarik yang dapat
kita kemukakan di sini, bahwa dalam perkembangannya, teologi Islam merupakan
wujud respons terhadap semakin gencarnya penyebaran filsafat Yunani dan
unsur-unsur ajaran luar Islam yang ikut terlibat dalam pergumulan pemikiran
keislaman saat itu. Ideologi dan pemikiran-pemikiran filosofis itu sedemikian
luas penyebarannya sehingga ulama’ merasa perlu untuk mengantisipasi
kemungkinan tercemarnya akidah umat Islam. Mereka lalu menulis karya-karya yang
berisi antara lain argumen-argumen yang diharapkan dapat menjadi benteng bagi
akidah umat Islam dengan dalil-dalil yang ditawarkan tidak lagi hanya berkutat
pada dalil-dalil naqli tapi sudah mulai banyak melibatkan logika-logika
rasional.[19]
Dengan kata lain,
keberadaan teologi Islam merupakan fakta yang menunjukkan adanya sense of
social crisis para ahli terhadap realitas masyarakat. Pada saat itu umat
Islam sedang menghadapi problem perlunya upaya rasionalisasi terhadap
pokok-pokok akidah mereka akibat pengaruh mainstream pemikiran Yunani
yang mulai merambah umat Islam. Dapat dimaklumi jika pada saat itu persoalan
yang dibahas teologi Islam hanya berkutat dengan permasalahan-permasalahan yang
bersifat transenden-spekulatif.[20]
Paradigma pemikiran teologi Islam klasik lebih cenderung (tend) pada persoalan-persoalan
al-mantiq, al-thabi’iyat dan al-illahiyyat.[21]
Bangunan keilmuan teologi
Islam klasik nampaknya terus bertahan dan dikaji terus menerus tanpa mengalami
perubahan orientasi. Teologi Islam dalam pembahasannya hanya berkutat pada
persoalan-persoalan ”langit”. Kalau kita lihat dalam data sejarah, kemenangan
pemikiran teologi klasik atas pemikiran kritis-filosofis seperti yang terjadi
di seputar kontroversi antara al-Ghazali (w.1111 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M)
telah menjadikan pemikiran teologi seolah sebagai sesuatu yang taken for
granted sehingga tidak perlu kajian dan rumusan ulang.[22]
Adanya ”pembekuan” yang
benih-benihnya telah ditebarkan oleh al-Ghazali adalah realitas lain yang juga
telah berpengaruh terhadap mandeknya pemikiran teologis dalam Islam. Di samping
itu, disebabkan karena kecenderungan para ahli untuk mengikut pada para teolog
awal dan juga adanya upaya penanggalan proses rasional yang dipandang sebagai
sesuatu yang sia-sia dan tidak relevan merupakan faktor yang berperan juga dalam
meneguhkan stagnasi pemikiran tersebut.[23]
Berkenaan dengan
al-Ghazali, kita tidak bermaksud menghakiminya sebagai penyebab kemandegan
pemikiran Islam. Hal di atas adalah sebuah ilustrasi akan hilangnya peran vital
semangat pemikiran kritis sebagaimana yang ditunjukkan atas kasus perseteruan
al-Ghazali dengan pakar lainnya. Para ahli setelah Beliau tidak memandang
produk pemikirannya tidak lain merupakan hasil pemikiran panjang dan bersifat
relatif serta merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran pada zamannya.
Hal inilah yang sebenarnya yang penting untuk dipahami dalam membaca realitas
kesejarahan teologi Islam jika kita tidak ingin menjadikan pemikiran Islam
mengalami stagnasi.[24]
Dalam perkembangan
selanjutnya, kondisi sosial, budaya dan politik umat Islam sama sekali berubah.
Kemajuan peradaban Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah
menimbulkan kegelisahan para pemikir Islam kontemporer. Keprihatinan Arkoun,
bersama-sama Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, juga Hasan Hanafi untuk batas-batas
tertentu, ditimbulkan oleh persoalan mengapa ilmu-ilmu agama Islam, termasuk
teologi Islam, masih ”berjalan di tempat”, baik dari segi konstruksi
epistemologi, metodologi maupun muatan isinya. Padahal kehidupan manusia telah
berubah sebegitu fantastisnya di samping juga problematika dan mainstroam
pemikiran kontemporer sangat berbeda dengan era klasik Islam.[25]
Wacana pemikiran
kontemporer yang saat ini sedang berkembang dan menjadi mainstream,
perlu dan harus direspons secara positif-kritis terutama dalam upaya untuk
menjawab berbagai problem yang sedang melanda umat Islam. Dengan demikian,
teologi Islam pada abad pertama yang lebih disibukkan dengan
persoalan-persoalan ghaib (metafisika) serta lebih banyak diwarnai oleh
hal-hal yang bersifat intelektual-spekulatif sudah saatnya ditelaah ulang.[26] Para
pemikir Islam tidak perlu lagi dituntut dan disibukkan untuk ”membela Tuhan”
ketika dilecehkan oleh filosof kontemporer misalnya dengan perkataan ”Tuhan
telah mati!”, tetapi mereka justru ditantang untuk menyelesaikan persoalan umat
Islam secara lebih luas; pembebasan dari kolonialisme, pembagian kekayaan
secara lebih adil dan merata, kebebasan menyampaikan pendapat, persatuan dan
pemberdayaan kembali dari keterbelakangan.[27]
Oleh karena itu, hal
terpenting saat ini adalah bagaimana mengembalikan peran vital yang telah
diukir secara nyata oleh para ahli teologi Islam klasik terhadap persoalan
sosial yang melingkupinya. Berbagai persoalan umat Islam yang selama ini
mengedepan adalah sesuatu yang perlu direspons dan dicari jalan keluarnya oleh
para teolog muslim saat ini.
2.
Kritik Terhadap Teologi Klasik
Teologi (ilmu
kalam) dalam khazanah intelektual Islam merupakan suatu ilmu yang memusatkan
pembicaraannya pada dan tentang Tuhan dengan segala dimensi-Nya. Ruang lingkup kajiannnya seputar kepercayaan
tentang Tuhan dengan segala segi-Nya, wujud-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya,
keesaan-Nya dan semacamnya.[28]
Jadi, dimensi kemanusiaan dalam teologi nyaris tak tersentuh. Kalaupun ada di
antara temanya menyentuh tentang manusia,
hanyalah dalam dimensi vertikal hubungan manusia dengan Tuhan.
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, persoalan politik juga begitu besar pengaruhnya
terhadap munculnya persoalan teologi dalam Islam. Kondisi politik, yaitu terbunuhnya para Khulafa’ Al-Rasyidin menjadi
salah satu sumber utama untuk perumusan konsepsi, kategorisasi dan definisi
ilmu kalam atau teologi. Iman, kufur, nifak, dosa besar, Qadariyah dan
Jabariyah. Setelah itu muncul pengakuan kelompok Syi’ah, Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, para ilmuwan
akidah menyusun dan membukukan pengertian dan batasan-batasan ilmu
kalam. Sudah barang tentu bahan-bahan pertimbangan untuk pembakuan
definisi-definisi ilmu kalam amat sangat terbatas dari situasi seperti itu,
dibandingkan dengan bahan-bahan pertimbangan yang bisa diperoleh dari luar
situasi pertikaian politik.
Dengan kata lain, paling
tidak, proses pembakuan keilmuan teologi klasik disusun tidak dalam situasi
yang tenang tentram, tetapi disusun sesuai dengan alur kepentingan kepentingan
kelompok yang hidup pada saat itu. Teologi tanpa terasa telah membaur menjadi
kepentingan politik. Barangkali berangkat dari kenyataan seperti itu, datanglah
kritik yang beraneka ragam dari para pemikir yang datang belakangan terhadap
eksistensi ilmu kalam atau teologi dan pemahaman pemahaman tauhid akidah dalam
format keilmuan klasik. Al-Ghazali menyatakan bahwa akidah yang diformulasikan
lewat ilmu kalam tidak dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi melalui
ilmu tasawuflah seseorang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibnu Taymiyah
juga berpendapat demikian. Karena ilmu kalam menggunakan akal sebagai alat
untuk memahami agama, maka ia menganjurkan agar menjauhi ilmu kalam.[29]
Muhammad Iqbal juga
melihat adanya anomali-anomali yang melekat dalam literatur teologi klasik.
Teologi Asy’ariyah menggunakan cara berfikir dialektika yunani untuk
mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Pemikiran teologi
Asy’ariyah dinilai tidak kondusif untuk memajukan dan membangkitkan
etos keilmuan dalam pemikiran islam. Mu’tazilah, sebaliknya terlalu jauh
bersandar pada akal, yang akibatnya tidak menyadari bahwa dalam wilayah agama,
pemisahan antara pemikiran agama dari pengalaman konkret merupakan kesalahan
besar. Al-Ghazali juga dipersalahkan oleh iqbal, karena dianggap telah memorak
porandakan struktur pengalaman keberagamaan dengan hanya mendasarkan agama pada
landasan skeptik, dengan alasan bahwa pemikiran manusia yang terbatas tidaklah
dapat mengetahui dan memahami sesuatu yang tidak terbatas.
Karena itu,
banyak dari para pemikir intelektual muslim mewacanakan rekonstruksi teologi
Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia
dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta
membangun kembali epistimologi lama menuju epistimologi yang baru. Tujuan pokok
dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar
dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan
sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara
aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Sebab itu juga
banyak kritik yang disuarakan oleh para pemikir Islam terhadap teologi Islam
Klasik. Salah satunya adalah Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan
rekontruksi teologi Islam ke arah antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah
Islam tentang teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang
paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan
klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada
hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan
tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma
teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran
langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh
sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal
dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana
tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan
revolutif.[30]
Senada dengan
pandangan tersebut, Fazlur Rahman
menyatakan bahwa teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas
atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar
memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti
teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan
setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan
dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut
fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan
spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat.[31]
Dalam
perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harusnya mampu
meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan,
ketidakadilan, hak asasi manusia, keterbelakangan, dan sebagainya). Teologi
yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan
dan berdialog, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan
empirik kemanusiaan.
Berangkat dari
hal itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa tantangan kalam atau teologi Islam
kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan,
kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam
agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan
diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris),
memiliki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date.
Al-Qur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi
kemanusiaan universal.[32]
Kalau kita
analisis dari pandangan-pandangan tersebut, setidaknya terdapat tiga kelemahan
yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya:
·
Pertama, ilmu
kalam menonjolkan pembahasannya pada hal-hal abstrak seputar
eksistensi Tuhan dan atribut-atribut yang melekat pada-Nya, yang tidak
berkorelasi dengan realitas sosial.
·
Kedua, Teologi Islam
tradisional dalam paradigmanya cenderung spekulatif, teoritik, elitik, statis
dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya.
·
Ketiga, Paradigma
teologi klasik Islam sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak
sejarah dan dinamika perkembangan zaman, karena itu sudah saatnya direformasi,
rekonstruksi, dan reformulasi dalam modelnya yang baru dan progresif.
Sadar akan implikasi dan
konsekuensi dari pola berpikir seperti itu, khususnya dalam masyarakat
pluralistik, maka perlunya mengajukan pola pikir pendamping yang disebut critical
reflection, sebuah istilah yang dapat disepadankan dengan philosophical
reflection. Merupakan refleksi filosofis berkenaan dengan pokok-pokok
keimanan umat Islam. Teologi Islam, dengan demikian, merupakan pembahasan
tentang iman yang bercorak filsafat, dipengaruhi pikiran dan metode filsafat.
Meskipun demikian, antara teologi dan filsafat ada perbedaan diantara keduanya.
Pertama, para teolog sebagai pembela setia Islam, ia berangkat dari
dasar-dasar iman dan dibuktikan secara rasional (filsafati). Para filosof
berangkat dari keraguan dan pencarian kebenaran iman. Kedua, bahwa obyek
teologi Islam adalah persoalan keimanan (terbatas) sedang filsafat lebih luas
lagi.[33]
E.
Membangun Teologis Kontemporer
Jika teologi
betul-betul ingin menjadi ilmu maka ia tidak cukup semata-mata merupakan studi
atas kitab suci tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan berdasarkan
data empiris kontemporer. Studi agama masa depan harus meminjam dan
mengadaptasi sejumlah pemahaman dan penemuan dari berbagai disiplin
keilmuan yang lain. Pola pikir dan logika
yang digunakan dalam ilmu kalam (‘aqidah, doktrin, dogma) adalah pola
pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks).
Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja dari
pola pikir yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive.[34]
Menurut
Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembengan ilmu pengetahuan (history
of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai
lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20
memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan. Yaitu pola pikir
abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan
bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa
yang didapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan
manusia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali
validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus
berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang aktual.[35]
Kendatipun semangat fundamentalism begitu menyolok dalam
fenomena seperti ini tapi yang demikian bukanlah satu-satunya gejala yang ada
di dalamnya, bahkan terdapat perkembangan yang sering bertolak belakang.
Perubahan yang cenderung anarchis dan kemajemukan wacana mendorong sebagian
cendikiawan untuk memunculkan paradigma pemikiran yang lebih inklusif, toleran,
dan perlunya pengertian terhadap kelompok lain.[36]
Imre Lakatos,
sudah banyak bicara tentang bagaimana teologi ini didekatkan dengan program
riset, perubahan yang akan dilakukan bukanlah konstruksi bangunan dasar
keagamaan secara keseluruhan melainkan wilayah periperial atau wilayah
interpretasi terhadap ajaran. Dalam program riset ini, terdapat aturan-aturan
metodologis yang salah satunya disebut dengan negative heuristic.
Tujuan metode ini adalah mempertahankan hard core (inti
pokok). Dalam negative heuristic, penelitian tidak boleh diarahkan
kepada hard core akan tetapi diarahkan kepada hipotesis pembantu
yang berada di sekeliling hard core yang berfungsi sebagai protective
belt (lingkaran pengaman). Hipotesis bantu inilah yang menjadi sasaran
penelitian sehingga harus selalu dilakukan penyesuaian atau menggantinya
secara keseluruhan untuk mengamankan hard core. Dengan
lain ungkapan, bahwasanya wilayah inti (hard core) dari pada wahyu serta
dimensi normativitas ajaran agama akan tetap seperti itu apa adanya, dan hanya
wilayah interpretasi ajaran agama yang bersifat historis-relativ yang
akan masih berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan perkembangan
ilmu pengetahuan manusia, yang akan terkena proses dekonstruksi. Jika memang
begitu adanya, maka dengan terjadinya proses dekonstruksi justru menunjukkan
adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya.[37]
Berbeda dengan
Lakatos, Thienmann menghendaki sebuah teologi yang terlepas dari
kekuatan lembaga-lembaga atau dasar-dasar teori sebelumnya, sehingga seseorang
akan dapat berimprovisasi sendiri. Ia mengatakan tidak ada petunjuk untuk
memilih salah satu dari berbagai sistem yang ada. Jadi ciri khas dari sebuah
teologi postmodernism itu memang anti-foundational yang menolak
segala bentuk konsep yang berfungsi sebagai starting point untuk membangun
sebuah kebenaran, dan juga anti-totalizing yang mengkritik teori
tentang totalitas dari sebuah realitas.[38]
Apa yang ingin
disampaikan disini adalah bahwa kebenaran agama itu biarlah berjalan
apa adanya, substansi kebenaran agama berlangsung apa adanya dan tak perlu
diragukan apalagi ditolak. Hanya saja yang utama dari semua itu adalah perlunya
pembenahan ulang terhadap berbagai konsep dan teori dimana dan dalam kondisi
apa ilmu kalam itu dibangun.[39]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan para
pemikir muslim kontemporer, maka dapat diketahui ada beberapa
karakteristik teologi kontemporer, yaitu:
1.
Bersifat Antroposentris
Hasan Hanafi
memunculkan paradigma baru dalam kajian teologi kontemporer, yaitu paradigma
yang bersifat antroposentris. Begitu antroposentrisnya, sampai ia mengatakan
bahwa Tuhan adalah diri manusia itu sendiri. Kita tidak perlu memikirkan Tuhan
yang ada di langit. Sebab ia tidak butuh pemikiran kita. Energi pikiran kita,
sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang masih
banyak belum terselesaikan. Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang
sebenarnya dituju oleh al-Qur’an bukanlah Tuhan melainkan manusia dan tingkah
lakunya. Nuansa pemikiran dan refleksi sosial dibelakang pernyataan Rahman
tampak ada disitu.[40]
Wilayah normative theology perlu segera dipertautkan dengan isu-isu yang
muncul dalam wilayah practical theology.
2.
Integrasi Teologi dan
Filsafat
Era klasik skolastik yang mempertentangkan dengan tajam
kedua pendekatan tersebut dalam memecahkan persoalan agama telah lewat, isu keterbukaan berkat
globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak mungkin dibendung dengan
cara apapun mendorong orang untuk mencari altenatif baru dengan menggunakan
pendekatan yang lebih bernuansa sosio-filosofis-qur’anis.[41]
3.
Berparadigma kritis
Paradigma ini
memandang islam sebagai agama yang
menjadi pendorong revolusi sosial untuk memerangi struktur yang menindas.
Tujuan dasar paradigma ini adalah persaudaraan universal (universal brotherhood),
kesetaraan (equality), dan keadilan social (social justice).[42]
4.
Berprinsip Pegembangbiakan dan
Pembebasan
Prinsip
pengembangbiakan bukan aturan metodologis melainkan suatu prinsip bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengikuti metode atau
teori tunggal. Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan membiarkan teori-teori
yang beraneka ragam. Prinsip ini dapat dipergunakan untuk studi teologi
kontemporer, setiap pengkaji dapat secara sadar memaknai doktrin-doktrin
teologi sesuai pengalaman keagamaan dan situasi sosialnya sendiri. Dengan
begitu, orang tidak lagi saling mengkafirkan dan merasa paling benar sendiri.
Kesimpulan
Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep khususnya yang
didasarkan pada ide theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi
sering berpusat pada doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah
pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim
sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa
paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis
dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir
yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena
ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu
dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang
selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi
dalam konteks untuk memahami cara mendekati islam, baik pada tataran
realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Islam tidak
bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainya
yang kehadiranya sama-sama penting. Apabila islam hanya dilihat dari satu sisi
saja, maka akibat yang ditimbulkanya pun mudah ditebak, yaitu reduksi dan
distorsi makna. Sebagai akibatnya gambaran islam yang utuh tanpa diwarnai oleh
sikap apologetik dan truth claim sepihak rasanya akan sulit dicapai.
Perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai munculnya berbagai
persoalan baru dalam kehidupan manusia, menjadi sebuah tuntutan untuk memahami
agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala
pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan tologis-normatif
dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara
oprasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Sebaiknya
umat islam tidak hanya memahami islam melalui pendekatan teologis saja (diperlukan pendekatan berbagai disiplin ilmu-ilmu
yang lain) bahkan sikap
dan pengalaman agama lain untuk melihat lebih dekat agama kita sendiri. Agar
pemahaman tentang islam menjadi integral, universal, dan komprehenshif.
Daftar
Pustaka
Abdullah, Amin, Dinamika Islam Cultural,
Bandung; Mizan, 2000.
_______, Amin, Falsafah Kalam Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995.
_______, Amin, Filsafat
Teologi Islam di Era Potmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_______, Amin, Studi Agama : Normativitas atau
Historisitas, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
_______, M.
Amin, Rekonstruksi Metodologi Agama
dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelegius, Yogyakarta: SUKA
Press, 2003.
Abdullah,
Taufik dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar. Cet. II. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta,1990.
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Nalar Filsafat dan
Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuan dan Mempertahankan Kebebasan
Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Amalados,
Michael, Teologi Pembebasan Asia, Yogkakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Azra, Azyumardi, Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman
Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Bachtiar,
Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.
Esha, Muhammad In’am, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer,
Malang: UIN Malang Press, 2008.
Hamzah,
Ya’kub,, Filsafat Agama Titik Temu
Akal dengan Wahyu, Jakarta: Pedoman Ilmu 1991.
Hanafi, A, Theology Islam, Jakarta;
Bulan Bintang , 1979.
_____, Hassan, Agama,
Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh. Jakarta: P3M, 1991.
_____,
Jaya, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1989.
Ma’arif,
Syafi’I, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997.
Manaf, Mujtahid
Abd., Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1994.
Meuleman,
J.H., Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Muhadjir,
Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I; Yoyakata: Rake
Sarasin, 2000.
Nasution, Harun, Teologi Islam :
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2002.
Nata,
Abudin, Metodologi Studi islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Nurhakim,
Moh., Metodologi Studi Islam, Malang: Umm Press, 2004.
Rahman,
Fazlur, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an. Terj. Anas Mahudin (Bandung; Pustaka,
1983.
Romas,
Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 2000.
Sirait, Sangkot, Ilmu
Kalam (Sebuah Kritik Epistemologi), Koordinator Perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta, Jurnal Mukaddimah, Vol. XIV,No. 25 Juli-Desember 2008.
Wach, Joachim, The
Comparative Study of Religions, diterjemahkan oleh Djamannuri dengan judul
“Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengamalan Keagamaan. Cet. IV.
Jakarta: RajaGrafiondo Persada, 1994.
[1]Jaya.
Hanafi, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1989), hlm. 11.
[2] Ya’kub Hamzah,
Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu
1991), hlm. 10.
[3] Amsal Bachtiar,
Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 18.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2002), hlm.
9.
[5] Muhammad Abed al-Jabiri, Nalar
Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuan dan
Mempertahankan Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003), hlm. 22.
[6]Amin Abdullah, Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.
10.
[7] Abudin Nata, Metodologi
Studi islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 35.
[8] Ibid.,
hlm. 28.
[9] Mujtahid Abdul
Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1994), hlm. 3.
[10] Joachim Wach, The
Comparative Study of Religions, diterjemahkan oleh Djamannuri dengan judul
“Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengamalan Keagamaan. Cet. IV.
(Jakarta: RajaGrafiondo Persada, 1994) hlm. 13.
[11] Moh. Nurhakim,
Metodologi Studi Islam, (Malang: Umm Press, 2004), hlm. 17.
[12] M. Amin
Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Agama
dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelegius, (Yogyakarta: SUKA Press,
2003), hlm. 16.
[13] Taufik
Abdullah, dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar. Cet. II. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta,1990), hlm. 90.
[14] Noeng
Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I; (Yoyakata:
Rake Sarasin, 2000), hlm. 255.
[17] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 2009), hlm. 9-11.
[18] Muhammad In’am
Esha, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press,
2008), hlm. 2.
[19] Ibid.,
[20] Amin Abdullah,
Filsafat Teologi Islam di Era Potmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hlm. 3.
[21] Ibid.,
hlm. 87.
[22] Muhammad In’am
Esha, Telogi Islam.., hlm. 3.
[23] Ibid., hlm.
3.
[24] Ibid., hlm.
3-4.
[25] J.H. Meuleman,
Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.
9.
[26] Syafi’I
Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), hlm. 3.
[27] Muhammad In’am
Esha, Telogi Islam…, hlm. 5-6.
[28] Harun
Nasution, Teologi Islam.., hlm. 79-149.
[29]Amin Abdullah, Dinamika
Islam Cultural, (Bandung; Mizan, 2000), hlm. 53-55.
[30] Hassan Hanafi,
Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh. (Jakarta: P3M,
1991) hlm. 205.
[31] Chumaidi
Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 2000), hlm. 82.
[32] M. Amin
Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995), hlm. 36
[33] Muhammad In’am
Esha, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press,
2008), hlm. 13.
[34] Pola pikir inductive mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari
realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang
bisa ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya
diabstraksikan menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan,
dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Dalam pola pikir inductive
tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia
dalam dunia konkret ini dapat dijadikan sebagai bahan dasar ilmu pengetahuan,
tidak terkecuali ilmu kalam. Sangkot Sirait, Ilmu Kalam (Sebuah Kritik Epistemologi),
Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Jurnal Mukaddimah, Vol.
XIV,No. 25 Juli-Desember 2008, hlm.
257.
[36] Azyumardi Azra, Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 16.
[38] Ibid.,
[39] Ibid.,
[40] Fazlur Rahman,
Tema-Tema Pokok Al-Qur’an. Terj. Anas Mahudin (Bandung; Pustaka, 1983),
hlm. 4, 40,75.
[41] Amin Abdullah,
Dinamika Islam, ibid., hlm. 48-51.
[42] Michael
Amalados, Teologi Pembebasan Asia, (Yogkakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
hlm. 240.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar