Kamis, 04 Desember 2014

Hubungan Etika dengan Ilmu Pengetahuan



Hubungan Etika dengan Ilmu Pengetahuan


A.    Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman, memberi manfaat yang tidak kecil bagi manusia, untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dan membantu manusia mangatasi sebagian masalah yang dihadapi.
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi memiliki akibat positif dan juga banyak akibat negatif. Penggunaan teknologi tanpa batas akhirnya membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Yang dibawa oleh teknologi bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan kehancuran, jika manusia tidak segera tahu cara membatasi diri. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmiah dan teknologi mengubah banyak sekali kehidupan manusia dan memunculkan masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Dengan ungkapan etika dan Ilmu pengetahuan bagi manusia akan memperkokoh dan memperkuat hubungan mikrosomos dan makrosomos. Hubungan etika dan ilmu pengetahuan bagaikan dua sisi mata uang tidak bisa dipisah-pisahkan. Di samping itu apabila di kaji secara fitrah, etika manusia dan ilmu pengetahuan  pada hakikatnya berasal dari agama dan agama berasal dari tuhan. Sebagai tantangan era global ini bagaimana mengintegrasikan etika dan ilmu pengetahuan bagi kita semua sehingga terwujud hubungan sinergis, sistematis dan fungsional bagi keduanya. Etika tidak menjauhkan ilmu pengetahua, dan demikian juga ilmu pengetahuan tidak meninggalkan etika, tetapi ilmuan yang beretika, dan beretika dengan ilmu.[1]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut maka rumusan permasalan yang muncul dalam makalah ini sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian etika dan ilmu Pengetahuan?
2.      Bagaimana hubungan antara etika dengan ilmu Pengetahuan?

C.    Pembahasan
1.      Pengertian Etika
Secara etimologi, istilah etika dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas, sedangkan objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas, tidak dapat dikenai penilaian bernilai atau tidak bernilai.[2]
Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan aksiologi. Selain etika yang termasuk dalam kajian aksiologis adalah estetika atau teori tentang keindahan. Etika sering disamakan dengan moralitas, padahal berbeda. Moralitas adalah nilai-nilai perilaku-perilaku orang atau masyarakat sebagaimana bisa ditemukan dalam kehidupan real manusia sehari-hari, yang belum disistematisasi sebagai suatu teori. Ketika perilaku-perilaku moral dirumuskan menjadi teori-teori, maka ia disebut etika. Jadi etika secara umum bisa dikatakan  sebagai teori-teori atau studi filosofis tentang perilaku moral manusia, etika mencakup ppersoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban moral, prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia ikuti, dan apa yang baik bagi manusia.[3] Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana bila harus hidup, bukan lah etika melainkan moral. Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis.
Jadi etika mengandung tiga pengertian, yaitu pertama kata etika dipakai dalam arti nilai-nilai/norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua etika berarti kumpulan asas atau nilai moral, misalnya kode etik. Ketiga etika merupakan ilmu tentang baik buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
2.      Pengertian Ilmu Pengetahuan
Istilah pengetahuan dipergunakan untuk menyebut ketika manusia mengenal sesuatu. Unsur pengetahuan adalah yang mengetahui, diketahui, serta kesadaran tentang hal yang ingin diketahuinya itu.[4] Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang bererti mempelajari, mengetahui.[5]
Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Menurut kamus New Collegiate Webster, definisi ilmu adalah pengetahuan yang dicapai melalui studi/ praktek, atau pengetahuan yang meliputi kebenaran umum, pengoperasian hukum umum, dan lain-lain. Diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah dan berhubungan dengan dunia fisik. Ilmu mengacu pada sistem memperoleh pengetahuan dengan menggunakan oberservasi dan eksperimentasi untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena alam.[6] Ilmu pengetahuan berarti suatu ilmu yang didapat dengan cara mengetahui, yang dilakukan degan cara-cara yang tidak sekadar tahu.[7]
3.      Hubungan antara Etika dengan Ilmu Pengetahuan
a.      Etika Keilmuan
Ketika berbicara etika dalam kaitannya dengan ilmu berarti menyangkut persoalan-persoalan nilai dalam ilmu baik isinya maupun penggunanya.
Problem ilmu bebas nilai atau tidak sebenarnya menunjukkan suatu hubungan antara ilmu dan etika. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ada tiga pandangan, setidaknya, tentang hubungan ilmu dan etika. Pendapat pertama mengatakan bahwa ilmu merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan konsisten dari ungkapan-ungkapan yang sifat bermakna atau tidak bermaknanya (meaningful or meaningless) dapat ditentukan. Ilmu dipandang sebagai semata-mata aktivitas ilmiah, logid, dan berbicara tentang fakta semata. Prinsip yang berlaku di sini adalah science for science. Pendapat kedua menyatakan bahwa etika memang dapat berperan dalam tingkah laku ilmuan seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan mengenai baik tidaknya penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada ilmu itu sendiri. Dengan kata lain memang ada tanggung jawab dalam diri ilmuan. Namun dalam struktur logis ilmu itu sendiri tidak ada petunjuk-petunjuk untuk putusan-putusan yang secara etis dipertanggungjawabkan. Etika baru dimulai ketika ilmu itu berhenti. Pendapat yang ketiga adalah bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah mensejahterakan manusia.[8]
Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan di kalangan masyarakat. Di samping itu, ilmu dan etika diharapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di lingkungan masyarakat sekitar agar dapat menjadi cindekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang baik/mulia.[9]Tidak jarang kita menemukan pernyataan yang mengillustrasikan erat kaitan antara ilmu dan etika, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang ilmuwan terdapat pada keindahan etikanya. Abu Zakaritta al-anbari berkata: ilmu tanpa etika bagaikan api tanpa kayu bakar, dan etika tanpa ilmu adalah seperti jiwa tanpa badan.[10]
Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, baik atau buruk. Dengan begitu dalam proses penilaiannya ilmu sangat berguna dalam menentukan arah dan tujuan masing-masing orang.[11] Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Etika sebagai ilmu ketertiban di mana pokok masalah moralitas dipelajari. Singkatnya ilmu tata susila adalah ilmu moralitas. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat seseorang. Masalah moral tidak dapat dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan juga mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral.[12]
Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja di buat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat di butuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang logika-rasional umum (common sense) di nilai menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan.[13]
b.      Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuan
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang merupakan bagian dari alam senantiasa berintegrasi dan menjadi pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, manusia harus senantiasa menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa lebih-lebih seorang ilmuan dengan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak.
Para ilmuan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut sikap ilmiah.[14] Karena sikap ilmiah diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping itu, ilmu tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan menjaga keseimbangan alam semesta ini. Serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuan menurut Abbas Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam, yaitu sebagai berikut:[15]
1.      Tidak ada rasa pamrih (disinterestedness)
2.      Bersikap selektif
3.      Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind).
4.      Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5.      Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan.
6.      Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (akhlak)
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif tersebut berlaku bagi semua ilmuan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem polotik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpang tujuan ilmu. Di samping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok ilmuan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan patuh terhadap norma etis yang berlaku bagi para ilmuan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serat ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah tentu jika pada diri para ilmuan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian objektivitas demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.[16]
D.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini hubungan antara etika dengan ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan yang bersifat tidak terbatas dalam penggunaannya hendaknya selalu berlandaskan pada etika yang berfungsi memberikan pertimbangan mengenai baik atau buruk, benar atau salah dari pemanfaatan ilmu, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu pengetahuan dalam realisasi pengembangannya. Ilmu pengetahuan dalam ajaran etika merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan. Etika berfungsi sebagai rambu-rambu prilaku, sehingga pemaknaan ilmu pengetahuan begitu indah dan damai untuk mewujudkan kesempurnaan dan bertanggung jawab.
Etika sangat penting bagi pengembangan ilmu. Karena ilmu itu diciptakan kemaslahatan umat manusia, ketika pengembangan ilmu tidak dibarengi dengan etika maka bayangkanlah risiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas yang berbahaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada jenderal-jenderal yang gila perang dan gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus. Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk.  Dengan belajar etika diharapkan kita dapat mengetahui dan memahami tingkah laku apa yang baik menurut suatu teori-teori tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah etika.











Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. “Relevansi Studi agama-agama dalam millennium ketiga: Mempertimbangkan kembeli metodologi dan filsafat keilmuan agama dalam upaaya memecahkan persoalan keagamaan kontemporer, Jurnal Ulumul qur’an No.5/VII/97 Jakarta: Cipta Prima Budaya,1997.

Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008.

Ermi Suhasti. Pengantar Filsafat Ilmu,  (Yogyakarta: Prajnya Media, 2012).

Mohammad Adib,  filsafat Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Nina W. Syam. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rikemata Media, 2010).

Nurani soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011).

Surajio, Ilmu filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008).

qodirassasaky.blogspot.com/2012/04/etika-dan-ilmu-pengetahuan.html (tanggal akses 28-11-2013)


[1] Abdullah, M. Amin. “Relevansi Studi agama-agama dalam millennium ketiga: Mempertimbangkan kembeli metodologi dan filsafat keilmuan agama dalam upaaya memecahkan persoalan keagamaan kontemporer, Jurnal Ulumul qur’an No.5/VII/97 Jakarta: Cipta Prima Budaya,1997.
[2] Nina W. Syam. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rikemata Media, 2010), hlm. 155
[3]Bachri Ghazali, dkk,  Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005), hlm. 120
[4] Nurani soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), hlm. 152
[5] Mohammad Adib,  filsafat Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 91.
[6] Ermi Suhasti. Pengantar Filsafat Ilmu,  (Yogyakarta: Prajnya Media, 2012). Hlm. 97-98
[7] Nurani soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), hlm. 152
[8] Fahmi Muqaddas, “Ilmu, Professionalisme dan Etika Profesi dalam Pandangan Islam”, dalam ESENSIA Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 2, Juli 2000: 168.
[9] Mohammad Adib,  filsafat Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm
[10] qodirassasaky.blogspot.com/2012/04/etika-dan-ilmu-pengetahuan.html (tanggal akses 28-11-2013)
[11] Mohammad Adib,  filsafat Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm,
[12]Mohammad Adib,  filsafat Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm
[13] Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008, hlm.1-5.
[14] Surajio, Ilmu filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm, 86.
[15] Surajio, Ilmu filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm, 86.
[16] Surajio, Ilmu filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm, 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar