Hubungan Etika dengan Ilmu Pengetahuan
A.
Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan
merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama
perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih
baik, mudah, murah, cepat dan aman, memberi
manfaat yang tidak kecil bagi manusia, untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dan
membantu manusia mangatasi sebagian masalah yang dihadapi.
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi
memiliki akibat positif dan juga banyak akibat negatif. Penggunaan teknologi
tanpa batas akhirnya membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Yang dibawa
oleh teknologi bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan
kehancuran, jika manusia tidak segera tahu cara membatasi diri. Dalam perkembangan
ilmu pengetahuan, perkembangan ilmiah dan teknologi mengubah banyak sekali
kehidupan manusia dan memunculkan masalah-masalah etis yang tidak pernah
terduga sebelumnya.
Dengan ungkapan etika dan Ilmu pengetahuan bagi manusia
akan memperkokoh dan memperkuat hubungan mikrosomos dan makrosomos.
Hubungan etika dan ilmu pengetahuan bagaikan dua sisi mata uang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Di samping itu apabila di kaji secara fitrah, etika manusia dan ilmu
pengetahuan pada hakikatnya berasal dari agama dan agama berasal dari
tuhan. Sebagai tantangan era global ini bagaimana mengintegrasikan etika dan
ilmu pengetahuan bagi kita semua sehingga terwujud hubungan sinergis,
sistematis dan fungsional bagi keduanya. Etika tidak menjauhkan ilmu
pengetahua, dan demikian juga ilmu pengetahuan tidak meninggalkan etika, tetapi
ilmuan yang beretika, dan beretika dengan ilmu.[1]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut maka rumusan
permasalan yang muncul dalam makalah ini sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian etika dan ilmu Pengetahuan?
2.
Bagaimana hubungan antara etika dengan ilmu
Pengetahuan?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian
Etika
Secara etimologi, istilah
etika dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Objek material etika
adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara
sadar dan bebas, sedangkan objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan
atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian,
perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas, tidak dapat
dikenai penilaian bernilai atau tidak bernilai.[2]
Etika merupakan salah satu
bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan aksiologi. Selain
etika yang termasuk dalam kajian aksiologis adalah estetika atau teori tentang
keindahan. Etika sering disamakan dengan moralitas, padahal berbeda. Moralitas
adalah nilai-nilai perilaku-perilaku orang atau masyarakat sebagaimana bisa
ditemukan dalam kehidupan real manusia sehari-hari, yang belum disistematisasi
sebagai suatu teori. Ketika perilaku-perilaku moral dirumuskan menjadi
teori-teori, maka ia disebut etika. Jadi etika secara umum bisa dikatakan sebagai teori-teori atau studi filosofis
tentang perilaku moral manusia, etika mencakup ppersoalan-persoalan tentang
hakikat kewajiban moral, prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia
ikuti, dan apa yang baik bagi manusia.[3] Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi,
etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan
bagaimana bila harus hidup, bukan lah etika melainkan moral. Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika
tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan
pandangan-pandangan moral secara kritis.
Jadi etika mengandung tiga pengertian, yaitu pertama kata etika dipakai dalam arti nilai-nilai/norma-norma moral yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua etika berarti kumpulan asas atau nilai moral, misalnya kode etik. Ketiga etika merupakan ilmu tentang baik buruk. Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap
baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali
tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis.
2.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Istilah
pengetahuan dipergunakan untuk menyebut ketika manusia mengenal sesuatu. Unsur
pengetahuan adalah yang mengetahui, diketahui, serta kesadaran tentang hal yang
ingin diketahuinya itu.[4] Pengetahuan
adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk
memahami objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek
tertentu. Ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Inggris science, yang
berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire
yang bererti mempelajari, mengetahui.[5]
Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami
perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Menurut
kamus New Collegiate Webster, definisi ilmu adalah pengetahuan yang dicapai
melalui studi/ praktek, atau pengetahuan yang meliputi kebenaran umum,
pengoperasian hukum umum, dan lain-lain. Diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah
dan berhubungan dengan dunia fisik. Ilmu mengacu pada sistem memperoleh pengetahuan dengan menggunakan
oberservasi dan eksperimentasi untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena
alam.[6]
Ilmu pengetahuan berarti suatu ilmu yang didapat dengan cara
mengetahui, yang dilakukan degan cara-cara yang tidak sekadar tahu.[7]
3.
Hubungan antara
Etika dengan Ilmu Pengetahuan
a.
Etika Keilmuan
Ketika berbicara etika
dalam kaitannya dengan ilmu berarti menyangkut persoalan-persoalan nilai dalam
ilmu baik isinya maupun penggunanya.
Problem ilmu bebas nilai
atau tidak sebenarnya menunjukkan suatu hubungan antara ilmu dan etika. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa ada tiga pandangan, setidaknya, tentang hubungan
ilmu dan etika. Pendapat pertama mengatakan bahwa ilmu merupakan suatu
sistem yang saling berhubungan dan konsisten dari ungkapan-ungkapan yang sifat
bermakna atau tidak bermaknanya (meaningful or meaningless) dapat
ditentukan. Ilmu dipandang sebagai semata-mata aktivitas ilmiah, logid, dan
berbicara tentang fakta semata. Prinsip yang berlaku di sini adalah science
for science. Pendapat kedua menyatakan bahwa etika memang dapat
berperan dalam tingkah laku ilmuan seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan
mengenai baik tidaknya penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan
ilmu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada ilmu itu sendiri. Dengan kata lain
memang ada tanggung jawab dalam diri ilmuan. Namun dalam struktur logis ilmu
itu sendiri tidak ada petunjuk-petunjuk untuk putusan-putusan yang secara etis
dipertanggungjawabkan. Etika baru dimulai ketika ilmu itu berhenti. Pendapat
yang ketiga adalah bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu
saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah
mensejahterakan manusia.[8]
Ilmu dan etika sebagai
suatu pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku
penyimpangan dan kejahatan di kalangan masyarakat. Di samping itu, ilmu dan
etika diharapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di lingkungan masyarakat
sekitar agar dapat menjadi cindekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang baik/mulia.[9]Tidak
jarang kita menemukan pernyataan yang mengillustrasikan erat kaitan antara ilmu
dan etika, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang ilmuwan terdapat pada
keindahan etikanya. Abu Zakaritta al-anbari berkata: ilmu tanpa etika bagaikan
api tanpa kayu bakar, dan etika tanpa ilmu adalah seperti jiwa tanpa badan.[10]
Sebagai suatu subjek,
etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok
untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar,
baik atau buruk. Dengan begitu dalam proses penilaiannya ilmu sangat berguna
dalam menentukan arah dan tujuan masing-masing orang.[11] Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang,
dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan
dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi
manusia.
Etika sebagai ilmu
ketertiban di mana pokok masalah moralitas dipelajari. Singkatnya ilmu tata
susila adalah ilmu moralitas. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat seseorang. Masalah moral tidak dapat
dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk
menemukan kebenaran dan juga mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian
moral.[12]
Etika memberikan semacam
batasan maupun standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang
secara sistematik sengaja di buat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada
dan pada saat di butuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi
segala macam tindakan yang logika-rasional umum (common sense) di nilai
menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai
kegunaan khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan
martabat kemanusiaan.[13]
b. Sikap Ilmiah yang Harus
Dimiliki Ilmuan
Manusia sebagai makhluk
Tuhan yang merupakan bagian dari alam senantiasa berintegrasi dan menjadi pusat
dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam
ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, manusia harus
senantiasa menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak
pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa
lebih-lebih seorang ilmuan dengan senantiasa menjaga kelestarian dan
keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak.
Para ilmuan sebagai orang
yang profesional dalam bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral khusus
sebagai ilmuan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut sikap ilmiah.[14] Karena
sikap ilmiah diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat
objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuan bukanlah membahas tentang tujuan
dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari
prasangka pribadi. Di samping itu, ilmu tersebut dapat dipertanggungjawabkan
secara sosial untuk melestarikan dan menjaga keseimbangan alam semesta ini.
Serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras antara
kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu
dimiliki para ilmuan menurut Abbas Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam, yaitu
sebagai berikut:[15]
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterestedness)
2. Bersikap selektif
3. Adanya rasa percaya yang
layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar
pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction)
bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan
rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang
telah dilakukan.
6. Seorang ilmuan harus
memiliki sikap etis (akhlak)
Norma-norma umum bagi
etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif tersebut berlaku
bagi semua ilmuan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuan tidak boleh
terpengaruh oleh sistem budaya, sistem polotik, sistem tradisi, atau apa saja
yang hendak menyimpang tujuan ilmu. Di samping sikap ilmiah berlaku secara umum
tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik
berlaku bagi kelompok ilmuan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika
bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif
berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan patuh terhadap norma
etis yang berlaku bagi para ilmuan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan
serat ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan
diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan
yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah tentu jika pada diri
para ilmuan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian objektivitas demi kemajuan
ilmu untuk kemanusiaan.[16]
D.
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari makalah ini hubungan antara etika dengan ilmu pengetahuan
adalah ilmu pengetahuan yang bersifat tidak terbatas dalam penggunaannya
hendaknya selalu berlandaskan pada etika yang berfungsi memberikan pertimbangan
mengenai baik atau buruk, benar atau salah dari pemanfaatan ilmu, maka etika
menjadi acuan atau panduan bagi ilmu pengetahuan dalam realisasi
pengembangannya. Ilmu pengetahuan dalam
ajaran etika merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan. Etika berfungsi
sebagai rambu-rambu prilaku, sehingga pemaknaan ilmu pengetahuan begitu indah
dan damai untuk mewujudkan kesempurnaan dan bertanggung jawab.
Etika sangat penting
bagi pengembangan ilmu. Karena ilmu itu diciptakan kemaslahatan umat manusia,
ketika pengembangan ilmu tidak dibarengi dengan etika maka bayangkanlah risiko
bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas yang berbahaya, yang bergiat demi
penghambaannya kepada jenderal-jenderal yang gila perang dan gembong-gembong
kekaisaran industri yang rakus. Etika merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik
buruk. Dengan belajar etika diharapkan
kita dapat mengetahui dan memahami tingkah laku apa yang baik menurut suatu teori-teori
tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah etika.
Daftar
Pustaka
Abdullah, M.
Amin. “Relevansi Studi agama-agama dalam millennium ketiga: Mempertimbangkan
kembeli metodologi dan filsafat keilmuan agama dalam upaaya memecahkan
persoalan keagamaan kontemporer, Jurnal Ulumul qur’an No.5/VII/97
Jakarta: Cipta Prima Budaya,1997.
Asari
Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008.
Ermi Suhasti. Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Prajnya Media, 2012).
Mohammad Adib, filsafat
Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Nina W. Syam. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi,
(Bandung: Simbiosa Rikemata Media, 2010).
Nurani
soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011).
Surajio,
Ilmu filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008).
qodirassasaky.blogspot.com/2012/04/etika-dan-ilmu-pengetahuan.html
(tanggal akses 28-11-2013)
[1] Abdullah, M.
Amin. “Relevansi Studi agama-agama dalam millennium ketiga: Mempertimbangkan
kembeli metodologi dan filsafat keilmuan agama dalam upaaya memecahkan
persoalan keagamaan kontemporer, Jurnal Ulumul qur’an No.5/VII/97
Jakarta: Cipta Prima Budaya,1997.
[2] Nina W. Syam. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung:
Simbiosa Rikemata Media, 2010), hlm. 155
[3]Bachri Ghazali, dkk, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005), hlm. 120
[4] Nurani
soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), hlm. 152
[5] Mohammad Adib, filsafat Ilmu:
Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm 91.
[7] Nurani
soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), hlm. 152
[8] Fahmi
Muqaddas, “Ilmu, Professionalisme dan Etika Profesi dalam Pandangan Islam”,
dalam ESENSIA Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 2, Juli 2000:
168.
[9] Mohammad Adib, filsafat
Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm
[10] qodirassasaky.blogspot.com/2012/04/etika-dan-ilmu-pengetahuan.html
(tanggal akses 28-11-2013)
[11] Mohammad Adib, filsafat
Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm,
[12]Mohammad Adib, filsafat Ilmu:
Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm
[13] Asari Hasan, Etika
Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008, hlm.1-5.
[14] Surajio, Ilmu
filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm, 86.
[15] Surajio, Ilmu
filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm, 86.
[16] Surajio, Ilmu
filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm, 87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar