Kamis, 04 Desember 2014

Muhkam dan Mutasyabih


Muhkam dan Mutasyabih


A.    Pendahuluan
Salah satu persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam-mutasyabih. Telaah dan perdebatan di seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja melibatkan sarjana-sarjana Muslim sendiri karena sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya.
Di antara sarjana-sarjana Muslim yang cukup intens membicarakan persoalan muhkam-mutasyabih adalah ‘Ali bin Hamzah Al-Kisa’I (wafat antara tahun 179 H dan 192 H). Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisaburi, pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an kaitannya dan muhkam mutasyabih. Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam. Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih. Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yakni muhkam dan mutasyabih.
Sehubungan dengan persoalan tersebut, penulis akan memaparkan mengenai definisi Muhkam dan Mutasyabih, Ihkam ‘Am dan Tasyabuh ‘Am, Ihkam Khas dan Tasyabuh Khas, Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat mutasyabihat, dan Pendapat para ulama tentang arti muhkam dan mutasyabih.
                                                   
B.     Pembahasan
1.      Definisi Muhkam dan Mutasyabih
a)      Makna Muhkam
Alqur’an seluruhnya muhkamah jika yang dimaksudkan dengan kemuhkamahannya adalah susunan lafal Al-Qur’an dan keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya. Dengan pengertian inilah Allah menurunkan Al-Qur’an sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya: “Sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayatnya[1]
Muhkam secara bahasa berasal dari kata hakama-hukm, yang artinya memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Secara etimologi kata ‘muhkam’ berasal dari kata ‘ihkam’ yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Misalnya ungkapan:
 احكم الأمر , berarti “ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan”. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua perkara.Dengan demikian hakim adalah orang yang berupaya mencegah kezaliman dan memisahkan anatara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan kedustaan.[2]
Muhkam secara bahasa, berasal dari kata hakama-hukm yang artinya memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Jadi, muhkam adalah sesuatu hal yang kokoh, jelas, dan fasih bertikai. Jadi, muhkam adalah sesuatu hal yang kokoh, jelas. Dan fasih yang dengannya ia membedakan antara yang hak dan batil.[3]

b)      Makna Mutasyabih
Dan kita dapat mengatakan bahwa seluruh Al-Qur’an adalah mutasyabihah, jika kita kehendaki dengan kemutasyabihahannya, ialah kemutamatsilan (serupa atau sebanding) ayat-ayatnya.[4]
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan lainnya, yang biasanya dapat membawa kepada kesamaran antara kedua hal itu. “Syubhah” ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak.[5]
2.      Ihkam ‘Am dan Tasyabuh ‘Am
Muhkam itu menurut bahasa terambil dari,-hakamutud daabah wa ahkamat, artinya melarang. Hukum yaitu pemisah antara dua hal. Hakim melarang orang zalim dan memisah antara dua orang yang bermusuhan. Membedakan yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang dusta. Dikatakan, Ahkamtuhu safihi ahkamtuhu. Artinya aku menghukum orang jahat dan aku menghukumnya. Ahkamtu  daabah wa ahkamtuhu . Aku menghukum kuda itu dan aku telah menjatuhkan hukuman terhadapnya.Maksudnya, aku kekang mulut kedua itu dengan kekang yang kuat supaya jangan lari. Pribahasa ini mempunyai beberapa hikmah.Diantara hikmahnya yaitu orang yang mempunyai binatang itu dapat mencegah apa yang tidak layak dikerjakannya. Muhkam artinya mengokohkan.
Ahkamul kalam artinya menguatkan pembicaraan itu dengan mengadakan yang benar dari yang bohong. Orang ditunjuki dari kesesatan tentang segala tindakan yang diperbuatnya.Karena itu menurut pengertian ini maka Al-Qur’an itu adalah muhkam.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz ÇÊÈ  
1. Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci[707], yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,
!9# 4 y7ù=Ï? àM»tƒ#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇÊÈ  
1. Alif laam raa[668]. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.
“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam”, maksudnya Al-Qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dengan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam  al-‘amm atau muhkam dalam arti umum.[6]
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak.Allah berfirman:
 (#qè?é&ur ¾ÏmÎ/ $YgÎ7»t±tFãB (Al-Baqarah{2}:25) 
Maksudnya Q.S. Al-Baqarah ayat 25 di atas, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dalam pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaimana ditegaskan dalam ayat:
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B

Dengan demikian, maka “Qur’an itu seluruhnya mutasyabih”, maksudnya Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiaanya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak atau umum sebagaimana di atas ini tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi, pernyataan “Qur’an itu seluruhnya muhkam” adalah dengan pengertian itqan (kokoh, indah), yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain.[7]

3.      Ihkam Khas dan Tasyabuh Khas
Dalam Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ  
7. Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut:
1)      Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
2)      Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
3)      Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[8]
Contoh-contoh muhkam di dalam Al-Qur’an ialah dengan nasikhnya, halalnya,haramnya, hokum-hukum Allah, fardhunya, janji-janjinya dan ancamannya. Bagi mutasyabuh dengan menasikhkannya, kaifiat nama-nama Allah dan sifat-sifatnya yang dalam firman Allah berbunyi sebagai berikut:
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ  
5. (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy[913].

¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ  
10. bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka[1397], Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Dan selain dari itu. Dan permulaan surat-surat itu dibuka dengan huruf –huruf mu’jam. Juga hakikat hari kemudian dan peristiwa-peristiwa hari kiamat.[9]
                                               
4.      Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat mutasyabihat
Sebagaimana diketahui, pernah terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan muhkam khas dan mutasyabuh khas. Juga terjadi perbedaan dalam kemungkinan mengetahui tasyabuh itu. Perbedaan ini timbul karena orang berbeda pendapat pada firman Tuhan yang berbunyi:
tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# ......... ÇÐÈ   3       (ال عمران:7)
7. dan orang-orang yang mendalam ilmunya

Apakah kalimat ini mubtada’, khabarnya yaitu يقولون . Huruf الواو adalah Wawu istiknaf. Dan firman Allah yang berbunyi:
u3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3       (ال عمران:7)
7   Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.

Atau dia ma'thuf (معطوف) sedangkan (يقولون)adalah hal. Dan meletakkan wakaf pada firman Allah yang berbunyi:
tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# ......... ÇÐÈ  
Menurut yang pertama (الاستئنا ف) yang termasuk dalam golongan ini ialah Ubaiya bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya.dari golongan sahabat, tabi’in dan orang-orang yang hidup sesudahnya. Mereka itu berdasarkan keterangan dengan contoh yang dirawikan oleh hakim dalam kitabnya Al-Mustadrik tentang Ibnu Abbas.Caranya dia membaca begini.
3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @
7.Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya itu mengatakan kami beriman dengannya
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
a)      Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah).
Kaum Salafi tidak mentakwil ayat-ayat mutasyabihat menyangkut sifat Allah. Mereka cukup mengimani saja. Imam Malik pernah ditanya tentang istiwa’ (duduknya Allah di atas ‘Arsy). Ia mengatakan:
الاستواء معلوم والكيف مجهول و السّوال عنه بدعة وأظنّك رجل سوء أخرجوه عنّى.
 “ Istiwa’ adalah diketahui. Dan bagaimana (istiwa’ itu) adalah sesuatu yang tidak diketahui. Bertanya tentangnya adalah bid’ah, dan aku menyangkamu (orang yang bertanya) sebagai orang yang tidak baik. Keluarkan dia ini dariku. “[10]
b)      Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut i Allah sehinga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.[11]
5.      Pendapat para ulama tentang arti muhkam dan mutasyabih
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan pengertian muhkamah dan mutasyabih, yakni sebagai berikut:
a)      Ulama golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengatakan lafal muhkam adalah lafal yang diketahui makna maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan dita’wilkan. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, arti huruf-huruf Muqaththa’ah.
b)      Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh (dihapuskan hukumnya). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang sama maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia ataupun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil dalil).Sebab, lafal mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui Allah SWT saja artinya. Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.
c)      Mayoritas ulama golongan ahlul fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang tidak bisa dita’wilkan kecuali satu arah/segi saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah surge, neraka, dan sebagainya.
d)     Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal yang mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam-macam ta’wilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal yang bermakna ganda (lafal musytarak), lafal yang asing (gharib), lafal yang berarti lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e)      Imamul Haramain, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga mudah dipahami arti dan maksudnya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika disertai dengan adanya tanda-tanda/isyarat yang menjelaskannya.Contohnya seperti lafal yang musytarak, mutlak, khafi (samar), dan sebagainya.
f)       Imam Ath-Thibi mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan/kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul Ihkaami) yang berarti baik/bagus. Contohnya seperti lafal yang dhahir, lafal yang tegas, dan sebagainya. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang sulit dipahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan/kesukaran. Contohnya seperti lafal musytarak, mutlak, dan sebagainya.
g)      Sebagian ulama berpendapat, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang ma’qul maknanya atau yang rasional artinya, yakni lafal yang artinya mudah diterima akal pikiran, seperti kalimat أقيموا الصّلاة  (Dirikanlah shalat). Kalimat itu mudah dimengerti bahwa mendirikan shalat itu wajib, karena diperintahkan Allah. Tetapi lafal mutasyabih ialah sebaliknya, yaitu lafal yang tidak masuk akal, atau tidak mudah diterima akal pikiran. Contohnya seperti waktu-waktunya shalat, jumlah rakaat tiap-tiap shalat, diwajibkannya puasa hanya khusus di bulan Ramadan dan sebagainya.

Jadi, jika semua definisi muhkam tersebut dirangkum, maka pengertian muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal Al-Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia karena bisa dita’wilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan disebabkan penunjukkan artinya tidak kuat, sehingga cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah SWT.[12]

C.    Kesimpulan dan Penutup
1)      Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Adapun mutasyabih adalah ungkapan makna lahirnya samar.
2)      Ihkam ‘Am maksudnya adalah Al-Qur’an itu seluruhnya adalah muhkam. Artinya perkataan Al-Qur’an itu kokoh dan kuat, membedakan antara hak dan yang batil. Sedangkan Tasyabuh ‘Am maksudnya Al-Qur’an seluruhnya mutasyabuh. Artinya antara satu sama lain ayat-ayatnya itu serupa dalam segi kesempurnaan dan kebaikannya. Yang satu membenarkan yang satu lagi dalam segi arti.
3)      Ihkam Khas yakni apa yang telah diketahui maksudnya, apa yang tidak mengandung selain dari satu bentuk, dan apa yang berdiri sendirinya. Sedangkan Tasyabuh Khas yakni terserah kepada Allah dengan ilmunya, yang mengandung beberapa bentuk, dan memerlukan penjelasan dengan dikembalikan kepada lainnya.
4)      Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat mutasyabihat, yakni timbul karena perbedaan pendapat pada Firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 7.
5)      Berdasarkan pendapat para ulama tentang arti muhkam dan mutasyabih ini dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas.
Daftar Pustaka

Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Acep Hermawan,Ulumul Qur’an, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011
Ahmad Izzan,  Ulumul Qur’an, Bandung: Tafakur (Kelompok Humaniora, 2011
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009
Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995
Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung:Pustaka Setia, 2006
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002
Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009





[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm.169
,Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.220

[3] Ahmad Izzan,  Ulumul Qur’an, (Bandung: Tafakur (Kelompok Humaniora), 2011), hlm.199
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm.169
[5] Ahmad Izzan,  Ulumul Qur’an, (Bandung: Tafakur (Kelompok Humaniora), 2011), hlm.199
[6] Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta,PT Rineka Cipta, 1995), hlm.2
[7] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. ( Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm.304-305
[8] Ibid, hlm.305-306
[9] Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, ( Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 4-5
[10] Acep Hermawan,Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.146
[11] Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia, 2006), hlm.133-134
[12] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm.240-243

Tidak ada komentar:

Posting Komentar