Muhkam dan
Mutasyabih
A. Pendahuluan
Salah
satu persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah
kategorisasi muhkam-mutasyabih. Telaah
dan perdebatan di seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah
keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an. Perdebatan itu tidak
saja melibatkan sarjana-sarjana Muslim sendiri karena sarjana-sarjana Barat pun
ikut mewarnainya.
Di antara sarjana-sarjana Muslim yang cukup intens
membicarakan persoalan muhkam-mutasyabih adalah ‘Ali bin Hamzah Al-Kisa’I
(wafat antara tahun 179 H dan 192 H). Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn
Habib An-Naisaburi, pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat
Al-Qur’an kaitannya dan muhkam mutasyabih. Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an
adalah muhkam. Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih. Ketiga,
pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yakni
muhkam dan mutasyabih.
Sehubungan dengan persoalan tersebut, penulis akan
memaparkan mengenai definisi Muhkam dan Mutasyabih, Ihkam ‘Am dan Tasyabuh ‘Am,
Ihkam Khas dan Tasyabuh Khas, Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat
mutasyabihat, dan Pendapat para ulama tentang arti muhkam dan mutasyabih.
B. Pembahasan
1.
Definisi Muhkam dan Mutasyabih
a) Makna Muhkam
Alqur’an
seluruhnya muhkamah jika yang dimaksudkan dengan kemuhkamahannya adalah susunan
lafal Al-Qur’an dan keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada
sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam
segi maknanya. Dengan pengertian inilah Allah menurunkan Al-Qur’an sebagaimana yang
ditegaskan dalam firman-Nya: “Sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayatnya[1]
Muhkam secara bahasa berasal dari kata hakama-hukm, yang artinya
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Secara etimologi kata ‘muhkam’
berasal dari kata ‘ihkam’ yang berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan, dan pencegahan. Misalnya ungkapan:
احكم الأمر ,
berarti “ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan”. Kata al-hukm
berarti memutuskan antara dua perkara.Dengan demikian hakim adalah orang
yang berupaya mencegah kezaliman dan memisahkan anatara yang hak dengan yang
batil dan antara kebenaran dan kedustaan.[2]
Muhkam secara bahasa, berasal dari kata hakama-hukm yang artinya
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Hakim adalah orang yang mencegah
yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Jadi, muhkam adalah
sesuatu hal yang kokoh, jelas, dan fasih bertikai. Jadi, muhkam adalah sesuatu
hal yang kokoh, jelas. Dan fasih yang dengannya ia membedakan antara yang hak
dan batil.[3]
b) Makna Mutasyabih
Dan kita
dapat mengatakan bahwa seluruh Al-Qur’an adalah mutasyabihah, jika kita
kehendaki dengan kemutasyabihahannya, ialah kemutamatsilan (serupa atau
sebanding) ayat-ayatnya.[4]
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal
serupa dengan lainnya, yang biasanya dapat membawa kepada kesamaran antara
kedua hal itu. “Syubhah” ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal tidak
dapat dibedakan karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak.[5]
2. Ihkam ‘Am dan Tasyabuh ‘Am
Muhkam itu menurut bahasa terambil dari,-hakamutud daabah wa ahkamat,
artinya melarang. Hukum yaitu pemisah antara dua hal. Hakim melarang orang
zalim dan memisah antara dua orang yang bermusuhan. Membedakan yang hak dan
yang bathil, yang benar dan yang dusta. Dikatakan, Ahkamtuhu safihi ahkamtuhu.
Artinya aku menghukum orang jahat dan aku menghukumnya. Ahkamtu daabah wa ahkamtuhu . Aku menghukum kuda
itu dan aku telah menjatuhkan hukuman terhadapnya.Maksudnya, aku kekang mulut
kedua itu dengan kekang yang kuat supaya jangan lari. Pribahasa ini mempunyai
beberapa hikmah.Diantara hikmahnya yaitu orang yang mempunyai binatang itu
dapat mencegah apa yang tidak layak dikerjakannya. Muhkam artinya mengokohkan.
Ahkamul kalam artinya menguatkan pembicaraan itu dengan mengadakan yang
benar dari yang bohong. Orang ditunjuki dari kesesatan tentang segala tindakan
yang diperbuatnya.Karena itu menurut pengertian ini maka Al-Qur’an itu adalah
muhkam.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya
adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé&
¼çmçG»t#uä §NèO
ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©!
AOÅ3ym AÎ7yz ÇÊÈ
1. Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci[707], yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,
!9# 4 y7ù=Ï? àM»t#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇÊÈ
1. Alif laam raa[668]. Inilah ayat-ayat Al
Quran yang mengandung hikmah.
“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam”, maksudnya Al-Qur’an itu kata-katanya
kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dengan yang batil
dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan
al-ihkam al-‘amm atau muhkam dalam arti
umum.[6]
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari
dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari
dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan
diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak.Allah berfirman:
(#qè?é&ur ¾ÏmÎ/ $YgÎ7»t±tFãB (Al-Baqarah{2}:25)
Maksudnya Q.S. Al-Baqarah ayat 25 di atas, sebagian buah-buahan surga
itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan
hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan
keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan,
karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dalam pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah
mutasyabih, sebagaimana ditegaskan dalam ayat:
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]Ïptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B
Dengan
demikian, maka “Qur’an itu seluruhnya mutasyabih”, maksudnya Qur’an itu
sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan
keindahannya, dan sebagiaanya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula
maknanya. Inilah yang
dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak atau
umum sebagaimana di atas ini tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang
lain. Jadi, pernyataan “Qur’an itu seluruhnya muhkam” adalah dengan pengertian
itqan (kokoh, indah), yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan
sebagian yang lain.[7]
3.
Ihkam Khas dan Tasyabuh Khas
Dalam Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti
khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
7. Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran)
kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah
pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah
untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan
pendapat. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut:
1) Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui
maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
2) Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung
satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
3) Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat
diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih
tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[8]
Contoh-contoh muhkam di dalam Al-Qur’an ialah dengan nasikhnya,
halalnya,haramnya, hokum-hukum Allah, fardhunya, janji-janjinya dan ancamannya.
Bagi mutasyabuh dengan menasikhkannya, kaifiat nama-nama Allah dan
sifat-sifatnya yang dalam firman Allah berbunyi sebagai berikut:
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
5.
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy[913].
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$# ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4
`yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Zt 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR (
ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ
10.
bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka[1397],
Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu
akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah
Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
Dan selain dari itu. Dan permulaan
surat-surat itu dibuka dengan huruf –huruf mu’jam. Juga hakikat hari kemudian
dan peristiwa-peristiwa hari kiamat.[9]
4.
Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat mutasyabihat
Sebagaimana diketahui, pernah terjadi perbedaan pendapat dalam
mengartikan muhkam khas dan mutasyabuh khas. Juga terjadi perbedaan dalam
kemungkinan mengetahui tasyabuh itu. Perbedaan ini timbul karena orang berbeda
pendapat pada firman Tuhan yang berbunyi:
tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# ......... ÇÐÈ
3 (ال عمران:7)
7.
dan orang-orang yang mendalam ilmunya
Apakah
kalimat ini mubtada’, khabarnya yaitu يقولون . Huruf الواو adalah
Wawu istiknaf. Dan firman Allah
yang berbunyi:
u3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 (ال عمران:7)
7 Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.
Atau dia ma'thuf (معطوف) sedangkan (يقولون)adalah hal. Dan meletakkan wakaf pada firman Allah yang berbunyi:
tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# ......... ÇÐÈ
Menurut yang pertama (الاستئنا ف)
yang termasuk dalam golongan ini ialah Ubaiya bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, dan lain-lainnya.dari golongan sahabat, tabi’in dan orang-orang yang
hidup sesudahnya. Mereka itu berdasarkan keterangan dengan contoh yang dirawikan oleh hakim
dalam kitabnya Al-Mustadrik tentang Ibnu Abbas.Caranya dia membaca begini.
3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @
7.Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya itu mengatakan kami
beriman dengannya
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat
terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
a) Madzhab Salaf, yaitu para
ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah).
Kaum Salafi tidak mentakwil
ayat-ayat mutasyabihat menyangkut sifat Allah. Mereka cukup mengimani saja.
Imam Malik pernah ditanya tentang istiwa’ (duduknya Allah di atas ‘Arsy). Ia
mengatakan:
الاستواء
معلوم والكيف مجهول و السّوال عنه بدعة وأظنّك رجل سوء أخرجوه عنّى.
“ Istiwa’
adalah diketahui. Dan bagaimana (istiwa’ itu) adalah sesuatu yang tidak
diketahui. Bertanya tentangnya adalah bid’ah, dan aku menyangkamu (orang yang
bertanya) sebagai orang yang tidak baik. Keluarkan dia ini dariku. “[10]
b) Madzhab Khalaf, yaitu para
ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang
menyangkut i Allah sehinga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.[11]
5.
Pendapat para ulama tentang arti muhkam dan mutasyabih
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan pengertian
muhkamah dan mutasyabih, yakni sebagai berikut:
a) Ulama golongan Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah mengatakan lafal muhkam adalah lafal yang diketahui makna
maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan
dita’wilkan. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuan artinya
hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya.
Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, arti huruf-huruf
Muqaththa’ah.
b) Ulama golongan Hanafiyah
mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah
dinasakh (dihapuskan hukumnya). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang sama
maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia ataupun
tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil dalil).Sebab, lafal
mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui Allah SWT saja artinya.
Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.
c) Mayoritas ulama golongan
ahlul fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal
muhkam ialah lafal yang tidak bisa dita’wilkan kecuali satu arah/segi saja.
Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa
arah/segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah surge, neraka, dan
sebagainya.
d) Imam Ibnu Hanbal dan
pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri
sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang
lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal yang
mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya
bermacam-macam ta’wilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal yang
bermakna ganda (lafal musytarak), lafal yang asing (gharib), lafal yang berarti
lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e) Imamul Haramain, bahwa lafal
muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga
mudah dipahami arti dan maksudnya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang
makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika
disertai dengan adanya tanda-tanda/isyarat yang menjelaskannya.Contohnya
seperti lafal yang musytarak, mutlak, khafi (samar), dan sebagainya.
f) Imam Ath-Thibi mengatakan,
lafal muhkam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan
kemusykilan/kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam
(Ma’khuudzul Ihkaami) yang berarti baik/bagus. Contohnya seperti lafal yang
dhahir, lafal yang tegas, dan sebagainya. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah
sebaliknya, yakni yang sulit dipahami, sehingga mengakibatkan
kemusykilan/kesukaran. Contohnya seperti lafal musytarak, mutlak, dan
sebagainya.
g) Sebagian ulama berpendapat,
bahwa lafal muhkam ialah lafal yang ma’qul maknanya atau yang rasional artinya,
yakni lafal yang artinya mudah diterima akal pikiran, seperti kalimat أقيموا الصّلاة (Dirikanlah shalat). Kalimat itu mudah
dimengerti bahwa mendirikan shalat itu wajib, karena diperintahkan Allah.
Tetapi lafal mutasyabih ialah sebaliknya, yaitu lafal yang tidak masuk akal,
atau tidak mudah diterima akal pikiran. Contohnya seperti waktu-waktunya
shalat, jumlah rakaat tiap-tiap shalat, diwajibkannya puasa hanya khusus di
bulan Ramadan dan sebagainya.
Jadi, jika semua definisi
muhkam tersebut dirangkum, maka pengertian muhkam ialah lafal yang artinya dapat
diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena
susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal,
sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian mutasyabih
ialah lafal Al-Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal
manusia karena bisa dita’wilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri
sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan
disebabkan penunjukkan artinya tidak kuat, sehingga cukup diyakini adanya saja
dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah
SWT.[12]
C. Kesimpulan
dan Penutup
1)
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak
mungkin diganti atau diubah. Adapun mutasyabih adalah ungkapan makna lahirnya
samar.
2)
Ihkam ‘Am maksudnya adalah Al-Qur’an itu seluruhnya adalah
muhkam. Artinya
perkataan Al-Qur’an itu kokoh dan kuat, membedakan antara hak dan yang batil.
Sedangkan Tasyabuh ‘Am maksudnya Al-Qur’an seluruhnya mutasyabuh. Artinya
antara satu sama lain ayat-ayatnya itu serupa dalam segi kesempurnaan dan
kebaikannya. Yang
satu membenarkan yang satu lagi dalam segi arti.
3)
Ihkam Khas yakni apa yang telah diketahui
maksudnya, apa yang tidak mengandung selain dari satu bentuk, dan apa yang
berdiri sendirinya. Sedangkan Tasyabuh Khas yakni terserah kepada Allah dengan
ilmunya, yang mengandung beberapa bentuk, dan memerlukan penjelasan dengan
dikembalikan kepada lainnya.
4)
Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat
mutasyabihat, yakni timbul karena perbedaan pendapat pada Firman Allah Q.S. Ali
Imran ayat 7.
5)
Berdasarkan pendapat para ulama tentang arti
muhkam dan mutasyabih ini dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat
yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat
yang maknanya belum jelas.
Daftar
Pustaka
Abdul
Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Acep
Hermawan,Ulumul Qur’an, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011
Ahmad
Izzan, Ulumul Qur’an, Bandung:
Tafakur (Kelompok Humaniora, 2011
Manna’
Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2009
Mana’ul
Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995
Rosihin
Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung:Pustaka Setia, 2006
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2002
Usman,
Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009
[1] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2002), hlm.169
,Usman, Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.220
[3]
Ahmad
Izzan, Ulumul Qur’an, (Bandung:
Tafakur (Kelompok Humaniora), 2011), hlm.199
[4] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2002), hlm.169
[5] Ahmad
Izzan, Ulumul Qur’an, (Bandung:
Tafakur (Kelompok Humaniora), 2011), hlm.199
[6] Mana’ul Qathan,
Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta,PT Rineka Cipta, 1995), hlm.2
[7] Manna’ Khalil
al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. ( Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2009), hlm.304-305
[9] Mana’ul
Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, ( Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995),
hlm. 4-5
[10] Acep Hermawan,Ulumul
Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.146
[11] Rosihin Anwar,
Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia, 2006), hlm.133-134
[12] Abdul Djalal, Ulumul
Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm.240-243
Tidak ada komentar:
Posting Komentar